Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Biodiesel B40 Dimulai. Akankah Minyak Goreng Kembali Langka?

Program mandatori biodiesel B40 mulai berjalan per 1 Januari 2025. Ketersediaan bahan baku CPO menjadi tantangan. 

1 Januari 2025 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bahan bakar B40 setelah uji jalan kendaraan B40 di Jakarta, 27 Juli 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Koordinator Perekonomian memastikan program biodiesel B40 mulai berjalan per 1 Januari 2025.

  • Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan ketersediaan bahan baku dan rantai pasok menjadi tantangan.

  • Ekspor CPO diperkirakan berkurang sekitar 2 juta ton karena terserap untuk B40.

MENTERI Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan program mandatori biodiesel B40 mulai berjalan per 1 Januari 2025. B40 adalah campuran 40 persen biodiesel atau bahan bakar nabati (BBN) dengan 60 persen minyak solar. BBN yang digunakan dalam B40 berasal dari minyak sawit atau CPO. 

Politikus Partai Golkar itu mengklaim program biodiesel B40 akan memangkas emisi hingga 40 juta ton setara karbon dioksida (CO2). Menurut dia, negara tetangga seperti Malaysia pun memuji Indonesia karena berhasil berkontribusi besar dalam upaya mengurangi tingkat emisi secara global. 

Program ini menjadi sorotan karena dikhawatirkan mengganggu pasokan CPO untuk kebutuhan minyak goreng dan ekspor. Airlangga pun pernah menyebutkan implementasi B40 akan menyedot banyak pasokan CPO serta berisiko mempengaruhi suplai untuk kebutuhan pangan dan ekspor. Namun belakangan ia yakin pasokan CPO akan tetap mencukupi kebutuhan B40.

Adapun Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Yuliot Tanjung mengatakan ketersediaan bahan baku dan rantai pasok masih menjadi tantangan dalam penerapan mandatori B40. Ia pun meminta masukan dari Pertamina Patra Niaga dan badan usaha lain ihwal tantangan implementasi B40. 

Kementerian ESDM memperkirakan kebutuhan CPO untuk B40 mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun. "Angka tersebut mencakup distribusi ke seluruh Indonesia sehingga kesiapan dari sisi bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama," ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu, 28 Desember 2024. 

Artikel Lainnya di Edisi Ini:

Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) menyatakan sedang menyiapkan prasarana untuk penerapan biodiesel B40. "Nanti ada mode kilang yang harus kami sesuaikan,” kata VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso di gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara, 9 Desember 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fadjar berujar, target kuota B40 juga belum dibicarakan dan masih dalam tahap uji coba. Pertamina memperkirakan perlu waktu enam bulan untuk mempersiapkan penerapan B40. Perkiraan tersebut berkaca dari penerapan mandatori B35 setelah terbitnya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 208.K/EK.05/DJE/2022 pada 28 Desember 2022 tentang Implementasi Produk Biosolar B35.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kala itu PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Barat melakukan penyaluran perdana B35 pada 1 Juni 2023. Adapun saat ini Pertamina Patra Niaga baru menyiapkan dua kilang utama untuk mendukung produksi B40, yakni Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua. 

Kebutuhan CPO untuk B40, yang diperkirakan mencapai 15,6 juta kiloliter, lebih tinggi dibanding target penyaluran B35 pada 2024 yang sebesar 13,4 juta kiloliter. Hal itu menimbulkan kekhawatiran pelaku usaha kelapa sawit. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Eddy Martono mengatakan, jika produksi tetap stagnan seperti sekarang, pasokan CPO hanya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan B40.

"Artinya, ekspor CPO sudah pasti akan berkurang. Ada kemungkinan turunnya sekitar 2 juta ton karena mandatori B40," ujar Eddy kepada Tempo, Selasa, 31 Desember 2024. Terlebih Gapki mencatat produksi CPO Indonesia turun dari 50,1 juta ton pada 2023 menjadi 47,8 juta ton pada 2024.  

Jika ekspor CPO turun demi mendukung program biodiesel, menurut Eddy, pendapatan negara juga akan berkurang. Pasalnya, ekspor CPO merupakan penghasil devisa terbesar kedua setelah batu bara dengan nilai sekitar Rp 600 triliun. Ia juga memperkirakan berkurangnya suplai sawit Indonesia ke pasar global menyebabkan lonjakan harga minyak nabati. Sebab, Indonesia merupakan produsen terbesar CPO di dunia. Lonjakan harga minyak nabati juga dapat memicu inflasi di Indonesia.

Kekhawatiran akan dampak berkurangnya ekspor CPO Indonesia juga diungkapkan Pakistan Edible Oil Refiners Association (PEORA). Chairman PEORA Rasheed Jan Mohammad mengatakan kebijakan ini akan mempengaruhi Pakistan yang selama ini bergantung pada ekspor CPO dari Indonesia. 

Pengisian crude palm oil (CPO) pada truk tangki di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 4 Agustus 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Pakistan menggantungkan sekitar 90 persen kebutuhan minyak sawit mereka pada ekspor Indonesia. Rasheed mengatakan embargo ekspor CPO yang pernah dilakukan Indonesia pada 2022 menimbulkan krisis bagi Pakistan. “Jadi, menurut kami, minyak sawit harus tetap menjadi komoditas pangan, bukan komoditas bahan bakar,” ujarnya dalam acara 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, 8 November 2024.

Selain berpengaruh pada ekspor, implementasi program biodiesel menyebabkan konsumsi CPO untuk kebutuhan pangan dalam negeri menurun, termasuk minyak goreng. Gapki memproyeksikan konsumsi CPO untuk kebutuhan pangan pada 2024 sebesar 10,2 juta ton atau turun 1,1 persen dibanding pada 2023. Sedangkan pada periode yang sama, konsumsi untuk biodiesel meningkat 4,3 persen menjadi 11,1 juta ton. 
 
Dalam riset yang dilakukan oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Greenpeace, Satya Bumi, dan Koalisi Transisi Bersih, porsi minyak sawit yang digunakan untuk biodiesel akan menjadi faktor utama dalam peningkatan permintaan CPO di dalam negeri. Target campuran biodiesel menjadi 40 persen akan membuat permintaan meningkat menjadi 26,3 juta kiloliter. Jika target ditingkatkan lagi hingga 50 persen atau B50, permintaan bisa mencapai 32,9 juta kiloliter.

Karena itu, Kepala Departemen Advokasi SPKS Marselinus Andry berharap pemerintah mempertimbangkan ketersediaan lahan perkebunan sawit dan tingkat produksi saat menentukan target campuran biodiesel. Apalagi tingginya angka permintaan akan mendorong pembukaan kebun-kebun sawit baru. Ia menekankan proses pembukaan kebun sawit baru berisiko menambah deforestasi karena pengembangan kebun sawit sering melibatkan pembukaan lahan hutan. 

Senada dengan Marselinus, peneliti dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengatakan implementasi B40 tanpa upaya meningkatkan produktivitas sawit akan menimbulkan konversi hutan menjadi lahan pertanian. "Ekstensifikasi area perkebunan sawit ini bertolak belakang dengan semangat program biodiesel untuk menurunkan emisi karena hutan adalah carbon sink alami yang menyerap karbon," ujarnya.

Untuk meningkatkan produksi CPO, menurut Eliza, perlu dilakukan peremajaan pohon kelapa sawit atau intensifikasi. CORE mencatat saat ini ada sekitar 5 juta hektare tanaman sawit Indonesia yang sudah tidak menghasilkan (TM). Sementara itu, target peremajaan masih sangat rendah, kurang dari 10 persen dari total yang rusak tersebut.

Eliza juga merekomendasikan penggunaan minyak jelantah sebagai pengganti CPO untuk kebutuhan bahan baku B40. Menurut data dari Traction Energy, potensi ketersediaan minyak jelantah di Indonesia mencapai 1,2 juta kiloliter per tahun, yang berasal dari sumber seperti rumah tangga, kafe, dan usaha mikro. Minyak jelantah memiliki potensi untuk digunakan sebagai campuran biodiesel, dengan kapasitas pencampuran sekitar 10 persen. 

Dengan memanfaatkan minyak jelantah sebagai alternatif, menurut Eliza, angka permintaan CPO untuk biodiesel dapat dikurangi secara signifikan sehingga dapat menstabilkan pasokan dan harga CPO, baik untuk kebutuhan pangan, energi, maupun ekspor.

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, mengatakan program mandatori B40 memang berisiko mengganggu keseimbangan antara kebutuhan biodiesel dan konsumsi domestik. "Ini bisa berujung pada kelangkaan minyak goreng seperti yang terjadi sebelumnya," tuturnya.

Nailul menjelaskan, saat kebijakan biodiesel menyerap sebagian besar CPO lokal, harga CPO internasional meningkat. Pengusaha lebih memilih mengekspor CPO karena lebih menguntungkan sehingga pasokan dalam negeri berkurang. Ketika ekspor dihentikan, meskipun pemerintah mengatur larangan ekspor, stok CPO tetap terbatas, sehingga menyebabkan harga CPO dalam negeri jatuh, tapi harga minyak goreng tetap melonjak.

Dengan demikian, ia menekankan program B40 harus dilihat sebagai bagian dari kebijakan yang lebih holistik dan jangka panjang, termasuk pengelolaan ekspor CPO, ketersediaan minyak goreng, serta pemenuhan kebutuhan biodiesel. Ditambah penguatan regulasi yang lebih jelas dan transparan serta koordinasi yang baik antarsektor untuk mencegah kebijakan yang dapat merugikan masyarakat.

Oyuk Ivani S. berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Reporter di Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus