Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) Alvin Lie menyebutkan bahwa adanya alih kelola Bandara Halim Perdanakusuma kepada swasta yaitu PT Angkasa Transportindo Selaras (PT ATS) dapat bermanfaat bagi konsumen. Hal itu lantaran akan memunculkan persaingan antara swasta dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandara Halim Perdanakusuma sebelumnya dikelola TNI Angkatan Udara (AU) dan sempat dialihkan pengelolaannya ke salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT Angkasa Pura II (Persero) atau AP II. Kemudian pada 20 Juli 2022, alih kelola diberikan kepada PT ATS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama bandara ini menggunakan nama pejuang. Sebenarnya, nama lengkap Halim adalah Abdul Halim Perdanakusuma, lahir pada 18 November 1922 di Sampang, Madura. Ayahnya penulis sekaligus Patih dari Sampang bernama Haji Abdulgani Wongsotaruno, sedangkan ibunya Raden Ayu Aisah.
Dalam laman tni-au.mil.id, Halim menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS), lulus pada 1934. Ia melanjutkan ke sekolah menengah pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) lalu menempuh pendidikan Pamong Praja Hindia Belanda (MOSVIA) di kota Magelang.
Halim tak dapat melanjutkan pendidikannya di MOSVIA karena terganggu Perang Dunia kedua. Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan wajib militer di Belanda dan negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia. Akibatnya, Abdul Halim yang masih menempuh tingkat dua harus mengikuti wajib militer. Inilah pintu masuk Halim ke dunia militer.
Ia direkomendasikan oleh Angkatan Laut Hindia Belanda untuk bertugas di Royal Canadian Air Force dan Royal Air Force dengan pangkat Wing Commander. Ia juga mendapakan tugas tambahan untuk mengenderai pesawat tempur Lancaster dan Liberator.
Setelah Indonesia merdeka dan perang Pasifik berakhir, Abdul Halim pulang kembali ke Indonesia. Namun, ia dicurigai sebagai antek Pemerintahan Sipil Hindia Belanda atau NICA sehingga dijebloskan ke penjara Kediri.
Melihat pasukan Indonesia di Surabaya yang diserang sekutu Inggris, Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin memerintahkan untuk mengeluarkan Halim dari tahanan dan kembali kepada keluarganya di Sumenep, ibu kota karesidenan Madura. Kabar itu disambut baik oleh Komodor Udara R. Soerjadi yang segera memerintahkan untuk menghubungi dan mengajak Halim agar turut mengabdi kepada perjuangan.
Tanpa basa-basi, ia bergabung dan mulai bertugas sebagai perwira operasi udara yang bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi udara. Saat itu, tugasnya antara lain menerjunkan pasukan udara, menyelenggarakan pembinaan wilayah, sampai mengatur serangan. Ia juga mengemban tugas sebagai instrukur navigasi di sekolah penerbangan yang didiirikan dan dipelopori oleh Agustinus Adisutjipto yang di kemudian hari namanya juga dipakai sebagai nama Bandara Yogyakarta.
Momen yang paling menarik dari kisah Halim ketika memimpin serangan balasan Agresi Belanda 1. Keberhasilan atas penyerangan ini melambungkan nama Angkatan Udara RI, dan menyulut kemarahan Belanda. Akibatnya Belanda melancarkan serangan terhadap pesawat Dakota VT-CLA yang mengakibatkan tiga komodor muda udara gugur.
Salah satu korban dari agresi militer itu adalah Adisutjipto sehingga Halim menggantikan posisinya sebagai Wakil Kepala Staf AURI. Selama menjabat, ia sempat diperintahkan untuk menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera untuk menembus pertahanan Belanda. Ia bersama Iswahjudi (menjadi nama Lapangan Udara di Madoun, Jawa Timur) berangkat menembus pangkalan-pangkalan militer Belanda.
Kerja sama itu membuahkan hasil yang baik. Halim mampu mengumpulkan dana dengan bentuk emas dari rakyat untuk membeli pesawat Avro Anson. Pesawat itu dibeli dengan 12 kilogram emas murni dan diberi nomor registrasi ‘RI-003’.
Melansir p2k.unkris.ac.id, RI-003 mulai digunakan Halim dan opsir udara I Ishwahjudi untuk pergi ke Muangthai atau Thailand pada 1947. Misinya adalah menjual barang yang dikirim dari dalam negeri berhasil memasukan kumpulan barang dari Singapura ke daerah Indonesia menembus blokade udara Belanda.
Naasnya, ia dan rekannya terjebak dalam cuaca buruk di daerah Perak, Malaysia. Kabut sangat tebal sehingga menutup pandangan Halim. Pesawat mereka terjatuh di pantai Labuhan Bilik Besar.
Kabar itu tersebar hingga sampai ke polisi Lumut dari dua orang warga Cina penebang kayu bernama Wong Fatt dan Wong Kwang. Di Indonesia, peristiwa itu diumumkan secara resmi oleh Kasau Komodor Soerjadi Soerjadarma di Markas Besar AURI di Jalan Terban Taman, Yogyakarta.
Halim dimakamkan secara Islam pada 19 Desember 1947. Jenazahnya disemayamkan di Masjid Adki dengan diselimuti bendera merah putih. Ia meninggalkan istrinya Koesdalinah yang sedang mengandung empat bulan. Puteranya juga berkarir di TNI AU.
Halim mendapat banyak penghargaan setelah gugur. Salah satunya namanya digunakan sebagai nama Pangkalan Udara Cililitan berdasarkan Surat Penetapan Kasau tanggal 17 Agustus 1952. Namanya juga menjadi nama jalan dan Halim dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI tahun 1975.
FATHUR RACHMAN