SUDAH beberapa bulan ini pengecer tekstil dari Jambi, dan
Lampung tak lagi muncul di toko milik Mulyadi di Pintu Kecil,
Jakarta Kota. Menghadapi situasi kurang menyenangkan itu,
Mulyadi turun meninjau. Pengecer di Jambi mengeluh daya beli
konsumen-kebanyakan petani karet -- mendadak merosot tak lama
sesudah harga karet jatuh. Keluhan serupa juga muncul di Lampung
omset penjualan tekstil turun tajam hampir bersamaan dengan
merosotnya harga kopi di pasar internasional.
Mulyadi akhirnya tahu: penjualan tekstil menurun di wilayah yang
konsumennya punya penghasilan pokok berkebun karet, kopi, dan
lada. Pasar di wilayah itu, dengan kata lain, gampang sekali
kena pengaruh resesi dunia. Tapi grosir tekstil bahan celana itu
tak menyerah. Dalam usaha meningkatkan penjualan, dia membanting
harga bahan celana kasar dari Rp 1.050 jadi Rp 750 per yard. Dia
juga memberi hadiah jam untuk setiap pembelian beberapa seri
setiap seri sekitar 250 yard) tekstil.
Toh hasilnya tetap jeblok setiap hari Mulyadi, 40 tahun, hanya
bisa menjual dua seri tekstil, padahal awal tahun lalu dia bisa
menghabiskan 20 seri. "Sesungguhnya dengan membanting harga, dan
memberi hadiah itu keuntungan yang saya peroleh makin tipis,"
katanya. "Tapi biarlah yang penting barangnya tetap jalan."
Banting harga hingga 40% juga dilakukan Lien Ning Sien, pemilik
Toko Tekstil Modern, Bandung. Sejak Agustus lalu, dia mengaku
omset penjualannva merosot 70%. Begitu juga Toko Sejahtera,
Bandung, yang dalam keadaan normal setiap hari rata-rata
dikunjungi 50 pembeli. Tapi sejak tiga bulan terakhir toko itu
hanya dimasuki 10-15 orang. "Itu pun kebanyakan cuma lihat-lihat
saja," kata Haris, pemilik Toko Sejahtera.
Menghadapi situasi suram semacam itu seorang pedagang tekstil di
Jl. Asia Afrika, Bandung, secara berangsur mengisi tokonya
dengan celana jeans jadi. "Kalau terus-terusan cuma dagang
tekstil bisa bangkrut," kata pedagang keturunan India yang sudah
menjajakan tekstil selama 30 tahun.
Kelesuan juga membayangi Gang Ribal, Jakarta Kota, pusat grosir
makanan kaleng dan buah-buahan eks impor. Seorang grosir di situ
memperkirakan omset penjualannya tahun ini turun 30% dibanding
tahun lalu. Untuk tetap memperlancar peredaran barang, dan
menegah usaha penipuan, grosir makanan kaleng eks impor itu
masih memberi kredit maksimal Rp 1,5 juta kepada pembeli.
Suasana seperti itu belakangan ini juga dirasakan oleh PT
Borsumij Wehry Indonesia, distributor berbagai makanan kaleng
(antara lain susu Cap Bendera, Pronas, dan kembang gula Trebor),
serta obat-obatan. Terjadi penurunan antara 5-10% dari sejumlah
obat-obatan yang didistribusikannya itu. Dibanding tahun lalu,
penjualan tahun ini memang kurang begitu baik," kata Jim
Wiryawan, Direktur Pemasaran BWI.
Secara garis besar Jim mengatakan bahwa melemahnya omset
penjualan barang yang ditangani BWI berkaitan erat dengan besar
kecilnya APBN yang ditetapkan pemerinh. Maksudnya tentu, iika
jumlah rupiah yang dibelanjakan lewat anggaran rutin, dan
pembangunan semakin besar, kebutuhan orang akan barang-barang
primer--seperti susu kalengan, dan makanan kalengan--kelak
bertambah pula. "Jadi apabila APBN meningkat, pembelian barang
kebutuhan sehari-hari meningkat pula," katanya.
Anggaran rutin APBN 1982/83 hanya Rp 7 trilyun, turun dari Rp
7,5 trilyun APBN sebelumnya. Kendati anggaran pembangunan pada
tahun berjalan ini dianggarkan Rp 8,6 trilyun (sebelumnya Rp 6,3
trilyun), pemerintah tampaknya tidak akan membelanjakan seluruh
dana itu -- mengingat pendapatan utama dari minyak merosot.
karena itulah besar dugaan pemerintah akan melakukan
penghematan agak luar biasa. Jika hal itu terjadi, rupiah yang
sampai ke tangan pegawai negeri, tentu tidak akan besar.
Akibatnya jelas daya beli mereka terhadap sejumlah kebutuhan
pokok jadi melemah.
Tapi kelesuan perdagangan makanan ternyata tak terasa di tingkat
pengecer tertentu yang berhadapan langsung dengan kelompok
masyarakat yang berduit. "Sejak tiga bulan terakhir masih
ramai," ujar Steve Sondakh, Manajer Pemasaran Grup Hero yang
membawahkan 8 super market di Jakarta. "Saya kira kalaupun ada
kelesuan itu mungkin terjadi di daerah," katanya.
Mungkin karena penduduknya yang 8,3 juta banyak menggantungkan
pada hasil karet, dan kopi yang harganya sedang jatuh, maka
konsumsi gula pasir penduduk Sumatera Utara sejak awal tahun ini
cenderung turun. "Setiap orang Sumatera Utara yang biasanya
menghabiskan 10 ons setiap bulan, kini hanya menghabiskan 7
ons," kata Haji Abdul Manan Muis, Ketua Asosiasi Penyalur Gula
Sum-Ut. Padahal untuk wilayah itu setiap bulan dialokasikan
11.450 ton gula.
Agak mengherankan, industri mobil (automotive) juga terserang
demam. Untuk kendaraan pribadi, pihak PT Toyota Astra Motor
(TAM), misalnya, sudah meramalkan akan terjadi penurunan
penjualan sekitar 15% tahun ini. Pasar untuk kendaraan pribadi
itu terasa semakin ketat ketika berbagai merk--seperti Lancer
(Mitsubishi), Laser (Ford), Peugeot 505, Mazda 323, dan Renault
18--turun secara beruntun tahun ini.
Situasi ini rupanya disadari oleh PT Multi-France Motor, agen
tunggal Renault, yang bulan lalu memperkenalkan Renault 18.
"Jenis Renault 18 itu kalau keadaan normal idealnya berharga
sekitar Rp 15 juta. Tapi toh dilempar ke pasar sekitar Rp 11
juta," kata Sondakh yang tampaknya mengikuti perkembangan
harga-harga mobil.
Kendati demikian, pasar mobil bekas di Pecenongan tetap kencang.
Bahkan menurut Nader Thaher, Direktur Utama Bursa Mobil Jakarra,
mobil berharga Rp 1,5--5 juta justru barlyak peminatnya.
Peminat mobil mewah seperti Volvo, dan Mercedes-Benz, katanya,
juga masih ada. "Saya juga bingung jika dikatakan dunia usaha
lesu, tapi mobil di atas Rp 25 juta masih ada saja pembelinya,"
tambahnya.
Tak demikian dengan motor. Penjualan sepeda motor Suzuki tahun
ini, menurut Soebronto Laras, Presdir PT Indohero, agen tunggal
dan perakit kendaraan itu, tidak begitu baik. "Mungkin ini
akibat resesi," katanya menduga. Dia meramalkan akan terjadi
penurnnan sekitar 20% dalam penjualan motor Suzuki. Karena
itulah "produksinya pun harus dikurangi 30%," katanya.
YANG masih menjadi tanda tanya, apakah benar melemahnya kegiatan
perdagangan, dan industri di beberapa sektor itu juga
mempengaruhi pemakaian bahan bakar minyak? Sejak pemerintah
menaikkan harga sahan sakar Minyak Januari tahun ini, pemakaian
BBM menunjukkan penurunan rata-rata 16% di bawah jumlah yang
dicadangkan pemerintah setiap harinya. Kendati peranan BBM dalam
pertumbuhan ekonomi cukup besar, hingga kini belum terjawab Juga
pertanyaan-pertanyaan benarkah penurunan pemakaian BBM merupakan
indikasi kuat lesunya ekonomi Indonesia ?
Untuk menghadapi kelesuan semacam itu, Dr. Pande Raja Silalahi,
ekonomi CSIS, di majalah Eksekutif, menyarankan agar pemerintah
lebih mengarahkan pengeluarannya hingga merangsang permintaan
dalam negeri. Pengeluaran yang dapat menghasilkan pengaruh
ganda, tulisnya, sangat tepat untuk didahulukan. "Kelesuan pasar
dapat terjadi sebagai akibat pertambahan penawaran yang lebih
cepat dari pertambahan permintaan," katanya. Ketidakseimbangan
seperti ini dapat terjadi, dan penyesuaian akan berjalan lebih
seret terlebih bila pertambahan produksi yang dilakukan dengan
meningkatkan kapasitas lebih bersifat padat modal daripada padat
tenaga kerja."
Dari serangkaian kejadian itu jelas bahwa petani karet, dan kopi
cukup limbung terpukul resesi yang melanda negara-negara
industri. Pada gilirannya kelak juga pegawai negeri. Karena
itulah Presiden Soeharto ketika memberikan pidato pada upacara
pengambilan sumpah anggota DPR dan MPR yang baru, pekan lalu
perlu memperingatkan "Sampai saat ini belum ada tanda-tanda
bahwa resesi ekonomi dunia akan mereda, malahan resesi yang
sekarang ini jauh lebih buruk dari resesi yang pernah terjadi
sebelumnya. Resesi yang berkepanjangan ini tentu mempunyai
pengaruh yang tidak menguntungkan kelanjutan pembangunan kita."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini