Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Banting harga di mana-mana

Kelesuan memukul perdagangan makanan, tekstil dan industri mobil. omset penjualan tekstil turun tajam hampir bersamaan dengan merosotnya kopi, karet dan lada di pasar internasional.(eb)

9 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH beberapa bulan ini pengecer tekstil dari Jambi, dan Lampung tak lagi muncul di toko milik Mulyadi di Pintu Kecil, Jakarta Kota. Menghadapi situasi kurang menyenangkan itu, Mulyadi turun meninjau. Pengecer di Jambi mengeluh daya beli konsumen-kebanyakan petani karet -- mendadak merosot tak lama sesudah harga karet jatuh. Keluhan serupa juga muncul di Lampung omset penjualan tekstil turun tajam hampir bersamaan dengan merosotnya harga kopi di pasar internasional. Mulyadi akhirnya tahu: penjualan tekstil menurun di wilayah yang konsumennya punya penghasilan pokok berkebun karet, kopi, dan lada. Pasar di wilayah itu, dengan kata lain, gampang sekali kena pengaruh resesi dunia. Tapi grosir tekstil bahan celana itu tak menyerah. Dalam usaha meningkatkan penjualan, dia membanting harga bahan celana kasar dari Rp 1.050 jadi Rp 750 per yard. Dia juga memberi hadiah jam untuk setiap pembelian beberapa seri setiap seri sekitar 250 yard) tekstil. Toh hasilnya tetap jeblok setiap hari Mulyadi, 40 tahun, hanya bisa menjual dua seri tekstil, padahal awal tahun lalu dia bisa menghabiskan 20 seri. "Sesungguhnya dengan membanting harga, dan memberi hadiah itu keuntungan yang saya peroleh makin tipis," katanya. "Tapi biarlah yang penting barangnya tetap jalan." Banting harga hingga 40% juga dilakukan Lien Ning Sien, pemilik Toko Tekstil Modern, Bandung. Sejak Agustus lalu, dia mengaku omset penjualannva merosot 70%. Begitu juga Toko Sejahtera, Bandung, yang dalam keadaan normal setiap hari rata-rata dikunjungi 50 pembeli. Tapi sejak tiga bulan terakhir toko itu hanya dimasuki 10-15 orang. "Itu pun kebanyakan cuma lihat-lihat saja," kata Haris, pemilik Toko Sejahtera. Menghadapi situasi suram semacam itu seorang pedagang tekstil di Jl. Asia Afrika, Bandung, secara berangsur mengisi tokonya dengan celana jeans jadi. "Kalau terus-terusan cuma dagang tekstil bisa bangkrut," kata pedagang keturunan India yang sudah menjajakan tekstil selama 30 tahun. Kelesuan juga membayangi Gang Ribal, Jakarta Kota, pusat grosir makanan kaleng dan buah-buahan eks impor. Seorang grosir di situ memperkirakan omset penjualannya tahun ini turun 30% dibanding tahun lalu. Untuk tetap memperlancar peredaran barang, dan menegah usaha penipuan, grosir makanan kaleng eks impor itu masih memberi kredit maksimal Rp 1,5 juta kepada pembeli. Suasana seperti itu belakangan ini juga dirasakan oleh PT Borsumij Wehry Indonesia, distributor berbagai makanan kaleng (antara lain susu Cap Bendera, Pronas, dan kembang gula Trebor), serta obat-obatan. Terjadi penurunan antara 5-10% dari sejumlah obat-obatan yang didistribusikannya itu. Dibanding tahun lalu, penjualan tahun ini memang kurang begitu baik," kata Jim Wiryawan, Direktur Pemasaran BWI. Secara garis besar Jim mengatakan bahwa melemahnya omset penjualan barang yang ditangani BWI berkaitan erat dengan besar kecilnya APBN yang ditetapkan pemerinh. Maksudnya tentu, iika jumlah rupiah yang dibelanjakan lewat anggaran rutin, dan pembangunan semakin besar, kebutuhan orang akan barang-barang primer--seperti susu kalengan, dan makanan kalengan--kelak bertambah pula. "Jadi apabila APBN meningkat, pembelian barang kebutuhan sehari-hari meningkat pula," katanya. Anggaran rutin APBN 1982/83 hanya Rp 7 trilyun, turun dari Rp 7,5 trilyun APBN sebelumnya. Kendati anggaran pembangunan pada tahun berjalan ini dianggarkan Rp 8,6 trilyun (sebelumnya Rp 6,3 trilyun), pemerintah tampaknya tidak akan membelanjakan seluruh dana itu -- mengingat pendapatan utama dari minyak merosot. karena itulah besar dugaan pemerintah akan melakukan penghematan agak luar biasa. Jika hal itu terjadi, rupiah yang sampai ke tangan pegawai negeri, tentu tidak akan besar. Akibatnya jelas daya beli mereka terhadap sejumlah kebutuhan pokok jadi melemah. Tapi kelesuan perdagangan makanan ternyata tak terasa di tingkat pengecer tertentu yang berhadapan langsung dengan kelompok masyarakat yang berduit. "Sejak tiga bulan terakhir masih ramai," ujar Steve Sondakh, Manajer Pemasaran Grup Hero yang membawahkan 8 super market di Jakarta. "Saya kira kalaupun ada kelesuan itu mungkin terjadi di daerah," katanya. Mungkin karena penduduknya yang 8,3 juta banyak menggantungkan pada hasil karet, dan kopi yang harganya sedang jatuh, maka konsumsi gula pasir penduduk Sumatera Utara sejak awal tahun ini cenderung turun. "Setiap orang Sumatera Utara yang biasanya menghabiskan 10 ons setiap bulan, kini hanya menghabiskan 7 ons," kata Haji Abdul Manan Muis, Ketua Asosiasi Penyalur Gula Sum-Ut. Padahal untuk wilayah itu setiap bulan dialokasikan 11.450 ton gula. Agak mengherankan, industri mobil (automotive) juga terserang demam. Untuk kendaraan pribadi, pihak PT Toyota Astra Motor (TAM), misalnya, sudah meramalkan akan terjadi penurunan penjualan sekitar 15% tahun ini. Pasar untuk kendaraan pribadi itu terasa semakin ketat ketika berbagai merk--seperti Lancer (Mitsubishi), Laser (Ford), Peugeot 505, Mazda 323, dan Renault 18--turun secara beruntun tahun ini. Situasi ini rupanya disadari oleh PT Multi-France Motor, agen tunggal Renault, yang bulan lalu memperkenalkan Renault 18. "Jenis Renault 18 itu kalau keadaan normal idealnya berharga sekitar Rp 15 juta. Tapi toh dilempar ke pasar sekitar Rp 11 juta," kata Sondakh yang tampaknya mengikuti perkembangan harga-harga mobil. Kendati demikian, pasar mobil bekas di Pecenongan tetap kencang. Bahkan menurut Nader Thaher, Direktur Utama Bursa Mobil Jakarra, mobil berharga Rp 1,5--5 juta justru barlyak peminatnya. Peminat mobil mewah seperti Volvo, dan Mercedes-Benz, katanya, juga masih ada. "Saya juga bingung jika dikatakan dunia usaha lesu, tapi mobil di atas Rp 25 juta masih ada saja pembelinya," tambahnya. Tak demikian dengan motor. Penjualan sepeda motor Suzuki tahun ini, menurut Soebronto Laras, Presdir PT Indohero, agen tunggal dan perakit kendaraan itu, tidak begitu baik. "Mungkin ini akibat resesi," katanya menduga. Dia meramalkan akan terjadi penurnnan sekitar 20% dalam penjualan motor Suzuki. Karena itulah "produksinya pun harus dikurangi 30%," katanya. YANG masih menjadi tanda tanya, apakah benar melemahnya kegiatan perdagangan, dan industri di beberapa sektor itu juga mempengaruhi pemakaian bahan bakar minyak? Sejak pemerintah menaikkan harga sahan sakar Minyak Januari tahun ini, pemakaian BBM menunjukkan penurunan rata-rata 16% di bawah jumlah yang dicadangkan pemerintah setiap harinya. Kendati peranan BBM dalam pertumbuhan ekonomi cukup besar, hingga kini belum terjawab Juga pertanyaan-pertanyaan benarkah penurunan pemakaian BBM merupakan indikasi kuat lesunya ekonomi Indonesia ? Untuk menghadapi kelesuan semacam itu, Dr. Pande Raja Silalahi, ekonomi CSIS, di majalah Eksekutif, menyarankan agar pemerintah lebih mengarahkan pengeluarannya hingga merangsang permintaan dalam negeri. Pengeluaran yang dapat menghasilkan pengaruh ganda, tulisnya, sangat tepat untuk didahulukan. "Kelesuan pasar dapat terjadi sebagai akibat pertambahan penawaran yang lebih cepat dari pertambahan permintaan," katanya. Ketidakseimbangan seperti ini dapat terjadi, dan penyesuaian akan berjalan lebih seret terlebih bila pertambahan produksi yang dilakukan dengan meningkatkan kapasitas lebih bersifat padat modal daripada padat tenaga kerja." Dari serangkaian kejadian itu jelas bahwa petani karet, dan kopi cukup limbung terpukul resesi yang melanda negara-negara industri. Pada gilirannya kelak juga pegawai negeri. Karena itulah Presiden Soeharto ketika memberikan pidato pada upacara pengambilan sumpah anggota DPR dan MPR yang baru, pekan lalu perlu memperingatkan "Sampai saat ini belum ada tanda-tanda bahwa resesi ekonomi dunia akan mereda, malahan resesi yang sekarang ini jauh lebih buruk dari resesi yang pernah terjadi sebelumnya. Resesi yang berkepanjangan ini tentu mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan kelanjutan pembangunan kita."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus