KABAR baik buat batik. Mulai 1981 ini GKBI (Gabungan Koperasi
Batik Indonesia) bakal menembus pasaran Afrika, meskipun masih
harus melalui perantara Eropa. Sejak April lalu GKBI telah
melakukan penjualan batik dengan sebuah perusahaan swasta
Prancis, meliputi 1,2 juta yard tiap tahun untuk jangka waktu
lima tahun. Kontrak tahap pertama bernilai US$ 3 juta telah
ditandatangani antara GKBI dengan swasta Prancis itu.
"Ini jumlah minimal, yang secara periodik akan ditinjau tiap
tahun," kata Manajer Pemasaran GKBI Rustam Aksam. Maksudnya,
jumlah ekspor bisa lebih dari itu seandainya kontrak lancar. Dia
masih merahasiakan siapa persisnya perantara Prancisnya itu.
Tapi penjajakan kerjasama itu telah ia lakukan setahun lalu.
Ia pun tahu si Prancis yang akan memasarkan batik-batik
Indonesia itu ke Afrika, terutama Nigeria, penghasil minyak di
Afrika Barat. "Pengiriman ke Prancis hanya transit, berhenti di
bondedwarehouse sana, lantas diteruskan kepada pedagang lain
untuk pasaran Afrika," tuturnya.
Pilih Kasih
Nigeria merupakan negara konsumen batik yang potensial.
Berpenduduk sekitar 72 juta, rata-rata penghuni negeri hitam
yang kaya ini membutuhkan 6 yard kain bermotif batik untuk
pakaian sehari-hari, yang disampirkan dan dililitkan ke tubuh
serupa gaun. Negeri ini kabarnya telah melarang impor tekstil.
Namun para pedagang batik asal Eropa toh mampu menembus pasaran.
Soalnya, tentu saja karena ada permintaan yang cukup kencang
dari sana.
Sejak biaya produksi dan harga bahan baku naik di Eropa, para
pedagang MEE tadi terpaksa berpaling ke Asia. Mereka mencari
sumber bahan dagangan yang lebih murah, agar penguasaan pasar
mereka di Afrika tetap terjamin.
Oleh Indonesia kesempatan ini sulit dimanfaatkan, terutama
karena Indonesia belum menjalin hubungan bilateral dengan
sebagian besar negeri Afrika Barat. Dan seperti kata Rustam,
"pembinaan pasarnya sudah lama dikerjakan oleh pengusaha Eropa
tadi." Lagi pula jarak antara Eropa dengan Afrika Barat termasuk
dekat.
Kontrak ini merupakan yang terbcsar bagi GKBI. Selama 1980 GKBI
hanya sempat mengekspor tak lebih dari 200 ribu yard, bernilai
sekitar US$ 500 ribu. Antara lain ke AS, Jepang, Australia, dan
Prancis. "Tak sampai 5% dari seluruh ekspor batik Indonesia saat
itu," ujarnya. Berdasarkan data dari BPEN (Badan Pengembangan
Ekspor Nasional), ekspor batik Indonesia selama tahun 1979
bernilai kurang lebih US$ 30 juta atau sekitar 58% dari seluruh
ekspor barang kerajinan Indonesia yang sebesar US$ 51,6 juta.
Pesanan dari Prancis itu tentu saja ingin dinikmati seluruh
anggota GKBI, terdiri dari 40 koperasi primer (39 di Jawa dan
hanya 1 di Sumatera yaitu di Padang) dan meliputi 8.700
pengusaha/pengrajin batik.
Mungkinkah GKBI membagi rata rezeki ini? "Tentu, kami usahakan
ada pemerataan," kata H. Badruddin, Ketua Umum GKBI, di
kantornya pekan lalu. Tapi, diakuinya pula, pemerataan tersebut
tidak bisa sekaligus. "Karena, tidak semua anggota kondisinya
konstan, ada yang lesu dan ada yang baik," sambungnya.
Pesanan untuk pasaran Afrika itu ukurannya khusus, lebar 120 cm
dan panjang 6 yard tiap lembarnya. Motif batiknya pun berbeda
dengan biasanya. "Mengerjakan batik model Afrika itu saya akui
agak rumit, tapi saya yakin bisa," ujar Tjokroharmono, salah
seorang pengusaha batik di Solo Toh ia tak berminat memproduksi
batik model Afrika, dan lebih senang membuat batik pesanan pasar
saa.
Mengapa? "Selain memilih kualitas, GKBI juga sering memilih
perusahaan yang dekat dengan pengurusnya," kata Khabib
Pramuharjono, pemilik perusahaan batik Asmara di Yogya. Kesan
serupa juga dikemukakan anggota koperasi primer M.F. Rohman
dari perusahaan batik Nulaba, Pekalongan.
Khabib mengaku dulu memang pernah memasarkan hasil produksinya
melalui GKBI, sebanyak 1.000 meter tiap bulan. Namun, sejak 1974
ia mencari "lubang" sendiri. Kini 40% dari 6 ribu meter batik
yang ia hasilkan tiap bulan, terserap ke Amerika Serikat dan
Australia.
Banyak anggota yang lebih senang memasarkan sendiri batik mereka
sampai ke luar negeri, tanpa melalui GKBI.Itu diakui oleh H.
Badruddin. "Secara umum baru sekitar 30% anggota yang kebagian
jatah order GKBI selama ini," ujarnya. Tapi ia membantah adanya
pilih kasih dalam membeli produksi anggotanya. "Tidak benar kami
hanya membeli dari anggota tertentu saja," katanya.
Pada prinsipnya, kata Badruddin lagi, GKBI selalu mengusahakan
pemerataan kepada seluruh anggota. Dan dalam rangka itulah
pihaknya sekarang ini tengah merencanakan lokakarya di berbagai
daerah..
Khusus untuk pesanan Prancis ini GKBI baru mempercayakan kepada
sebagian anggotanya dari primer di Solo, Pekalongan, dan
Jakarta. "Baru mereka yang terbukti bersedia dan mampu
mengerjakan," kata Rustam. "Dan yang penting bagi kita, pasar
harus dibina dulu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini