Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Batik koneksi prancis

Gkbi mendapat order batik dari prancis. batik-batik tersebut akan dipasarkan ke afrika, terutama nigeria. sebagian besar anggota gkbi lebih senang memasarkan sendiri batik-batik mereka keluar negeri.(eb)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR baik buat batik. Mulai 1981 ini GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) bakal menembus pasaran Afrika, meskipun masih harus melalui perantara Eropa. Sejak April lalu GKBI telah melakukan penjualan batik dengan sebuah perusahaan swasta Prancis, meliputi 1,2 juta yard tiap tahun untuk jangka waktu lima tahun. Kontrak tahap pertama bernilai US$ 3 juta telah ditandatangani antara GKBI dengan swasta Prancis itu. "Ini jumlah minimal, yang secara periodik akan ditinjau tiap tahun," kata Manajer Pemasaran GKBI Rustam Aksam. Maksudnya, jumlah ekspor bisa lebih dari itu seandainya kontrak lancar. Dia masih merahasiakan siapa persisnya perantara Prancisnya itu. Tapi penjajakan kerjasama itu telah ia lakukan setahun lalu. Ia pun tahu si Prancis yang akan memasarkan batik-batik Indonesia itu ke Afrika, terutama Nigeria, penghasil minyak di Afrika Barat. "Pengiriman ke Prancis hanya transit, berhenti di bondedwarehouse sana, lantas diteruskan kepada pedagang lain untuk pasaran Afrika," tuturnya. Pilih Kasih Nigeria merupakan negara konsumen batik yang potensial. Berpenduduk sekitar 72 juta, rata-rata penghuni negeri hitam yang kaya ini membutuhkan 6 yard kain bermotif batik untuk pakaian sehari-hari, yang disampirkan dan dililitkan ke tubuh serupa gaun. Negeri ini kabarnya telah melarang impor tekstil. Namun para pedagang batik asal Eropa toh mampu menembus pasaran. Soalnya, tentu saja karena ada permintaan yang cukup kencang dari sana. Sejak biaya produksi dan harga bahan baku naik di Eropa, para pedagang MEE tadi terpaksa berpaling ke Asia. Mereka mencari sumber bahan dagangan yang lebih murah, agar penguasaan pasar mereka di Afrika tetap terjamin. Oleh Indonesia kesempatan ini sulit dimanfaatkan, terutama karena Indonesia belum menjalin hubungan bilateral dengan sebagian besar negeri Afrika Barat. Dan seperti kata Rustam, "pembinaan pasarnya sudah lama dikerjakan oleh pengusaha Eropa tadi." Lagi pula jarak antara Eropa dengan Afrika Barat termasuk dekat. Kontrak ini merupakan yang terbcsar bagi GKBI. Selama 1980 GKBI hanya sempat mengekspor tak lebih dari 200 ribu yard, bernilai sekitar US$ 500 ribu. Antara lain ke AS, Jepang, Australia, dan Prancis. "Tak sampai 5% dari seluruh ekspor batik Indonesia saat itu," ujarnya. Berdasarkan data dari BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional), ekspor batik Indonesia selama tahun 1979 bernilai kurang lebih US$ 30 juta atau sekitar 58% dari seluruh ekspor barang kerajinan Indonesia yang sebesar US$ 51,6 juta. Pesanan dari Prancis itu tentu saja ingin dinikmati seluruh anggota GKBI, terdiri dari 40 koperasi primer (39 di Jawa dan hanya 1 di Sumatera yaitu di Padang) dan meliputi 8.700 pengusaha/pengrajin batik. Mungkinkah GKBI membagi rata rezeki ini? "Tentu, kami usahakan ada pemerataan," kata H. Badruddin, Ketua Umum GKBI, di kantornya pekan lalu. Tapi, diakuinya pula, pemerataan tersebut tidak bisa sekaligus. "Karena, tidak semua anggota kondisinya konstan, ada yang lesu dan ada yang baik," sambungnya. Pesanan untuk pasaran Afrika itu ukurannya khusus, lebar 120 cm dan panjang 6 yard tiap lembarnya. Motif batiknya pun berbeda dengan biasanya. "Mengerjakan batik model Afrika itu saya akui agak rumit, tapi saya yakin bisa," ujar Tjokroharmono, salah seorang pengusaha batik di Solo Toh ia tak berminat memproduksi batik model Afrika, dan lebih senang membuat batik pesanan pasar saa. Mengapa? "Selain memilih kualitas, GKBI juga sering memilih perusahaan yang dekat dengan pengurusnya," kata Khabib Pramuharjono, pemilik perusahaan batik Asmara di Yogya. Kesan serupa juga dikemukakan anggota koperasi primer M.F. Rohman dari perusahaan batik Nulaba, Pekalongan. Khabib mengaku dulu memang pernah memasarkan hasil produksinya melalui GKBI, sebanyak 1.000 meter tiap bulan. Namun, sejak 1974 ia mencari "lubang" sendiri. Kini 40% dari 6 ribu meter batik yang ia hasilkan tiap bulan, terserap ke Amerika Serikat dan Australia. Banyak anggota yang lebih senang memasarkan sendiri batik mereka sampai ke luar negeri, tanpa melalui GKBI.Itu diakui oleh H. Badruddin. "Secara umum baru sekitar 30% anggota yang kebagian jatah order GKBI selama ini," ujarnya. Tapi ia membantah adanya pilih kasih dalam membeli produksi anggotanya. "Tidak benar kami hanya membeli dari anggota tertentu saja," katanya. Pada prinsipnya, kata Badruddin lagi, GKBI selalu mengusahakan pemerataan kepada seluruh anggota. Dan dalam rangka itulah pihaknya sekarang ini tengah merencanakan lokakarya di berbagai daerah.. Khusus untuk pesanan Prancis ini GKBI baru mempercayakan kepada sebagian anggotanya dari primer di Solo, Pekalongan, dan Jakarta. "Baru mereka yang terbukti bersedia dan mampu mengerjakan," kata Rustam. "Dan yang penting bagi kita, pasar harus dibina dulu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus