TARGET penerimaan pajak 1987-88 tercapai juga, alhamdulillah. Memang pernah Dirjen Pajak Salamun A.T., yang sudah bertugas sejak 1980 itu, tampak bimbang. Sehingga, kalau ditanya soal penerimaan, biasanya ia menjawab, "Insya Allah tercapai." Nyatanya, bahkan, target itu terlampaui. Coba lihat angka dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1987-88, yan menetapkan target penerimaan pajak Rp 7,3 trilyun. Tapi pekan lalu, Salamun mengumumkan bahwa penerimaan 1987/88, per 31 Maret 1988, mencapai Rp 7,669 trilyun. "Itu berarti 4,7% di atas angka anggaran yang ditetapkan," tuturnya dalam nada haru. Ia kini lega. Penampilannya pun kelihatan lebih segar, seperti baru saja meletakkan beban yang amat berat. Tak percuma ia mengorbankan banyak waktu, berkampanye agar wajib pajak mengerti seluk-beluk perpajakan. Kesadaran dan kepatuhan wajib pajaklah yang, menurut Salamun, ikut menentukan tercapainya sasaran pajak. Di samping, itu, pelayanan aparat pajak dinilainya juga membaik. "Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berpartisipasi," ucapnya. Salamun tetap ramah tatkala menjelaskan angka penerimaan yang dibangun dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan pajak lainnya - termasuk Bea dan Meterai. Selain PPh, penerimaan pajak ternyata melampaui perkiraan RAPBN 1987/88. Mengapa PPh meleset? "Mungkin ada wajib pajak yang membayar lebih kecil daripada yang seharusnya dibayarkan," jawab Salamun kepada TEMPO. Hal itu bisa terjadi karena tak seluruh Surat Pemberitahuan (SPT) PPh - yang diisi wajib pajak - diteliti cermat oleh petugas pajak. Apalagi bila pengisian SPT-nya (sesuai dengan asas "self assessment") dan pembayarannya, dilakukan langsung oleh pengusaha, yang memotong gaJi buruhnya. Sementara itu, buruh tak punya NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sendiri, hingga tak tahu persis berapa pajak yang harus ia setorkan. Atau adakah setorannya kelebihan. Tampaknya, undang-undang perpajakan baru, 1983, belum bisa menambal lubang-lubang kebocoran. Meskipun begitu, perkiraan penerimaan PPN 1987-88 sebesar Rp 3,5 trilyun ternyata terlampaui sekitar Rp 318 milyar. Tapi, "Itu tidak seluruhnya merupakan penerimaan cash," kata Salamun. Sebab, sebagian penerimaan itu, Rp 389 milyar, merupakan subsidi pemerintah, seperti untuk pembangunan perumahan sederhana, makanan ternak, kertas koran, taksi. Sedangkan PBB, yang penerimaannya Rp 34 milyar lebih besar dari target yang Rp 274 milyar, ternyata berbeda dengan jumlah yang masuk ke kas negara. Penyebabnya, menurut Salamun, masih ada sekitar Rp 89 milyar tersangkut di Kantor Pemda. Maklum, perangkat pemungutan PBB dari wajib pajak, yang sebagian besar di pedesaan, cukup dihadang berbagai rintangan. "Kalau petani mesti menyetor ke kas negara, jauh, jadi besar biayanya," kata Salamun. Karena itu, mereka biasanya menyetor lewat jalur kelurahan. Setoran pajak itu, ternyata, bukan hanya dari tagihan pajak pada tahun anggaran berjalan. Tapi kata Salamun, ada sebagian dari setoran PBB yang merupakan tunggakan tahun 1986, malah juga bayaran atas tunggakan Ipeda - sebelum PBB berlaku. Pada penerimaan PPN dan PPh, kalau dirinci lebih teliti, maka angkanya ternyata bicara lain. Seperti dikatakan Salamun, dalam angka penerimaan total, tercakup uang wajib pajak Rp 376 milyar. Uang ini merupakan pengembalian atas kelebihan bayaran pajak, atau restitusi, baik PPh maupun PPN yang belum dikembalikan. Maka, jika uang restitusi ini ditarik (dari jumlah Rp 7,669 trilyun), penerimaan tinggal Rp 7,293 trilyun, atau berkurang sekitar Rp 32 milyar dari target yang ditetapkan. Itu berarti target tidak tercapai. Kok jadi begini? Kunci masalahnya terletak pada pembukuan. Sebab, masih ada penerimaan pajak yang bersumber dari kontrak-kontrak dengan pihak luar negeri. Jumlahnya sekitar Rp 100 milyar. Itu tidak bisa masuk sebelum pembukuan Ditjen Pajak ditutup (31 Maret), karena uang yang berada di Bank Indonesia (BI) itu belum cair. "Kalau penyetoran dari BI itu tepat, penerimaan pajak bahkan surplus," ujar Salamun. Kalau begitu, tidak perlu khawatir. Lagi pula, masih banyak cara untuk meningkatkan penerimaan pajak, mengingat pada RAPBN 1988/89 ini sasarannya sekitar Rp 9,1 trilyun, atau meningkat 24% dari RAPBN yang baru lalu. Obyek pajaknya ditambah, seperti PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) pada minibus Suzuki, Daihatsu, Jetstar, Kijang - yang mulai berlaku awal April ini. Akibatnya - seperti dikatakan Ketua Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) Soebronto Laras - pabrikan mobil harus membayar sekitar Ro 10 milyar per bulan. Ini dianggap berat. Sebab, "Sekarang ini jualan mobil, bayarannya bisa empat bulan kemudian," katanva. Gaikindo lantas melayangkan sepucuk surat ke Ditjen Pajak, agar setoran PPnBM bisa dibayar 3 bulan setelah mobil laku. Menurut Salamun, cara setoran PPnBM itu sebenarnya sudah punya aturan cukup luwes. Ternyata, pembayaran PPnBM itu punya tenggang waktu sampai 74 hari. Berarti hanya selisih 15 hari dari jadwal yang diusulkan Gaikindo. Selain obyek pajak, wajib pajak pun bisa dijaring lebih banyak. Setidaknya dengan laju penambahan yang sama dengan tahun lalu - tiap hari bertambah 1.515 wajib pajak - maka dari 2.7 juta wajib pajak per 1 Januari 1987, kini diperkirakan bisa terjaring 3,1 juta orang. Namun, Salamun mengkhawatirkan, pencarian wajib pajak baru malah bisa menimbulkan erosi, karena semakin asal-asalan saja mengisi SPT-nya. Supaya tidak gagal, jumlah dan kualitas aparat perpajakan harus ditingkatkan, terutama untuk menangani pemeriksaan, seperti yang terjadi pada 40 ribu kasus yang kurang beres pembayarannya waktu lalu. Untuk mengamankan penerimaan tahun anggaran berjalan ini, Salamun akan minta via Departemen Dalam Negeri - agar gubernur setiap provinsi bersedia memperlancar penerimaan pajak. Para gubernur diharapkan mau memberikan data mikro, seperti nama-nama eksportir di wilayahnya. Dengan demikian, petugas pajak lebih mudah bertugas di lapangan. "Ini yang belum kami dapatkan dari semua gubernur," katanya. Toh Salamun tidak perlu terlalu pesimistis. Mungkin akan ada obyek pajak baru, jika bunga deposito, kelak, dipungut PPh-nya. Suhardjo Hs., Budiono Darsono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini