SEBUAH kabar buruk, yang disiarkan kantor berita Antara, muncul akhir pekan lalu. Mumpung belum dimulai, begitu kira-kira bunyi berita tersebut, proyek pabrik petrokimia di Cilacap sebaiknya ditinjau kembali. Alasannya bukan karena rakyat di sana -- yang tanahnya tergusur -- melakukan protes ke Departemen Dalam Negeri, melainkan ini semata-mata karena alasan teknologi. Sebab, MW Kellogg, yang lisensinya dipegang oleh Shell Overseas Investment BV, kini sedang dituntut oleh Yukong Petrochemical, sebuah perusahaan kimia di Korea Selatan. Yukong menuntut di pengadilan internasional London, menurut Antara, karena kilangnya -- yang dibangun oleh Kellogg -- tidak bisa beroperasi dengan maksimal. Akibatnya, pabrik petrokimia ini hanya bisa berproduksi di bawah 70% dari kapasitas terpasang, 400 ribu ton per tahun. Nah, kalau hal serupa terjadi juga pada PT Indonesia Petrochemical Industries (IPI), demikian nama pabrik di Cilacap itu kelak, bisa dibayangkan betapa beratnya beban yang akan ditanggung. Soalnya, IPI ini benar-benar merupakan sebuah proyek raksasa. Kapasitas terpasangnya pun tiga kali lipat lebih besar dibanding dengan milik Yukong. Maka, tidak terlalu mencengangkan kalau investasinya direncanakan akan menghabiskan US$ 1,7 milyar, atau sekitar Rp 3,2 trilyun. Itulah sebabnya, begitu mendengar berita yang kurang menguntungkan, Shell langsung melakukan pengecekan ke Korea. Jawabnya, ternyata, benar. Kilang milik Yukong rewel, alias tidak bisa berproduksi secara maksimal. Hanya saja, Yukong membantah kalau pihaknya diberitakan telah menuntut Kellogg. Namun. lepas dari soal menuntut atau tidak, kasus Yukong tampaknya tidak sampai menggoyahkan investor yang menanamkan uangnya di IPI. Artinya, teknololgi Kellog tetap akan dipakai dalam membangun kilang di Cilacap. Alasannya, "Kami sudah lama menjalin kerja sama dengan mereka, dan telah terbukti reputasinya cukup bagus," kata G.H. Whitehead, direktur komersial Shell di Indonesia. Memang, jaminan seperti itu sangat diperlukan oleh para pemegang saham IPI karena, seperti dikemukakan sebuah sumber, pemakaian teknologi Kellogg ini tidak murah. Dari transaksi lisensinya saja, kata sumber tersebut, Shell menerima komisi tidak kurang dari 30 juta dolar. Entah benar, entah tidak. Namun, yang pasti, IPI boleh dikatakan bukan proyek yang mulus. Sebelum munculnya protes para pemilik tanah di Cilacap, misalnya, terjadi perang urat saraf di antara para calon pemegang saham. Pasalnya, masing-masing menginginkan pembagian yang lebih besar. Untung, soal itu bisa selesai dengan damai. Akhirnya diputuskan Shell menguasai saham mayoritas (54%). C. Itoh, Mitsubishi, Pertamina, Bimantara, dan IFC masing-masing mendapat 8%,. 8%, 15%, 12%, dan 3%. Selesai? Belum. Setelah masalah pembagian saham, muncul persoalan lain yang tak kalah rawannya, yakni soal pendanaan. Maka, wajar kalau untuk perencanaannya saja IPI menghabiskan waktu bertahun-tahun. Kini, selain soal tanah, proyek raksasa ini tampaknya sudah bisa dimulai. Kalau proyek itu sudah beroperasi (diperkirakan pertengahan 1993), barulah pemerintah Indonesia boleh bernapas lega. Sebab, dengan memanfaatkan limbah minyak dari Pertamina, IPI bisa menghemat devisa -- yang biasa digunakan untuk mengimpor bahan baku plastik -- sebesar US$ 1 milyar per tahun. Budi Kusumah, Moebanoe Moera, dan Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini