ADA Hari Kesehatan pekan lalu, ~J ada anjuran tidak merokok. Namun, ~ apa yang dilakukan pabrik rokok PT HM Sampoerna hari itu sungguh bertolak belakang. Senin pekan lalu, pabrik asap yang baru terjun di pasar modal ini, untuk kedua kalinya, mengekspor produknya berupa rokok putih ke Uni Soviet. Sebuah upaya memindahkan polusi ke negeri orang? Tentu saja tidak. Seperti perusahaan bisnis lainnya, di Negeri Beruang Merah ini Sampoerna mengejar devisa. Dari 500 juta batang yang diekspornya, sejak Oktober lalu hingga Januari 1991, Sampoerna merencanakan meraih dolar senilai Rp 8 milyar. Tidak begitu banyak, memang. Namun, kalau melihat persaingan di pasar lokal yang terasa semakin ketat, tidak bisa dibantah lagi, ekspor merupakan salah satu jalan keluar yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi, "Ekspor ke Soviet ini ada kemungkinan akan semakin meningkat di tahun 1991," kata A. Ilham dan Bambang Soelistyo, dua eksekutif Sampoerna. PT HM Sampoerna yang sekarang memang lain dengan Sampoerna empat tahun lalu. Sejak puncak pimpinannya diambil alih oleh generasi ketiga, Putera Sampoerna, pabrik rokok ini tampak lebih lincah. Pertengahan Mei lalu, misalnya, selain telah mengambil alih 80~0 saham Joo Lan (salah satu pabrik rokok di Ipoh, Malaysia), Sampoerna juga mulai merintis pendirian pabrik asap senilai US$ 20 juta di kawasan industri Selangor. Memang bukan Sampoerna saja yang mengincar pasar ekspor. Pada tahun 1970an, Bentoel membuka jalan ke Amerika Serikat. Setelah itu, kretek yang diproduksi di Malang ini merembes ke Swiss, Arab Saudi, Hong Kong, Singapura, Malaysia, Jepang, Vietnam, dan Australia. Dan hasilnya, tahun lalu Bentoel berhasil meraih US$ 1 juta. "Kami yakin, tahun ini nilai ekspor kami bisa berlipat ganda," kata Yani, salah seorang direktur Bentoel. Hanya saja, jangan heran kalau di negara-negara tujuan seperti yang disebut di atas, Anda tidak menemukan rokok merek Sampoerna ataupun Bentoel. Sebab, sesuai dengan permintaan, kedua merek tersebut tak dipakai di sana. Produk Sampoerna di Soviet, misalnya, memakai nama Crown. Sedangkan nama yang dipa kai ~Bentoel ada tiga: Kuta, Jakarta, dan Challenger. Menyusul Bentoel, yang juga melenggang di pasar ekspor adalah Gudang Garam (GG) dan Djarum. Dimulai sejak 1973, kedua raksasa kretek tersebut telah berhasil menembus pasar di banyak negara. Produk GG, misalnya, kini dipasarkan di 16 negara. Sedangkan asap Djarum sudah berembus di 12 negara. Nilai ekspornya lumayan besar. Pokoknya, di atas US$ 2 juta setahun. Langkah yang diambil Sampoerna dan GG boleh jadi merupakan sebuah upaya mendekati pasar. Seperti dikemukakan beberapa raja kretek, mencari pembeli di pasar ekspor bukanlah perkara gampang. Apalagi kampanye antirokok kini sedang "mewabah" di hampir segenap penjuru dunia. Sungguh, ge~akan antirokok ini merupakan tantangan yang tidak bisa disepelekan. Buktinya, pada 1984, ketika Amerika gencar memerangi rokok. Waktu itu, ekspor Bentoel -- salah satu contohnya -- langsung anjlok dari US$ 2 juta menjadi tinggal US$ 200 ribu saja. Namun, untunglah, melalui kampanye tandingan -- seperti yang dilakukan Bentoel dan Sampoerna, yang menghabiskan dana sekitar Rp 1 milyar pada 1985 -- pasar ekspor kembali membaik. Setelah itu, hasil ekspor asap pun kembali melambung. Tahun lalu, contohnya, dari ekspor rokok putih dan kretek, Indonesia berhasil meraih US$ 60,2 juta. Sedangkan pada semester pertama 1990 yang baru lalu, Biro Pusat Statistik mencatat ekspor asap senilai US$ 32 juta. Budi Kusum~ah, Jalil H~akim, ~Bandelan ~Amarudin, d~an Z~ed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini