BERPERAWAKAN sedang dengan rambut putih abu-abu, Profesor Yoshihara Kunio telah menggugah perhatian banyak peserta seminar karena pendapatnya yang mengatakan bahwa, kalau negara-negara ASEAN ingin maju, mereka harus menomorsatukan teknologi dan ilmu di samping meningkatkan industri. "Memang teknologi bukan segala-galanya, " demikian Kunio, "tapi kemajuan di bidang ini akan mendorong perkembangan di sektor-sektor lain." Kunio yang menyebut dirinya sebagai pengagum kapitalisme itu juga mengingatkan bahwa perusahaan di ASEAN harus semakin kuat dan kukuh karena, kalau tidak, ruang gerak mereka akan terbatas. "Bisnis itu seperti Olimpiade," kata Kunio. "Di situ Anda tidak punya pilihan lain, kecuali berkompetisi dengan lawan-lawan Anda." Bekerja pada Pusat Studi Asia Tenggara di Universitas Kyoto, Jepang, Kunio mulai mencuat namanya di Indonesia sejak bukunya yang berjudul The Rise of Ersatz Capitalism in South East Asia diterbitkan pada tahun 1988. Berikut ini petikan wawancara Isma Sawitri dengan Profesor Kunio. Dari daftar orang-orang kaya Asia yang diproyeksikan oleh Christianto Wibisono (Direktur PDBI, seorang pembicara dalam seminar), terlihat bahwa akumulasi modal terjadi pada pengusaha Cina perantauan yang sukses di Indonesia, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Mengapa pengusaha Jepang yang sukses tidak bisa sekaya mereka? Karena pajak. Ya, saya tidak mengatakan pajak di Indonesia bukan apa-apa dibandingkan pajak di Jepang, tetapi pungutan pajak membatasi akumulasi modal seperti yang mungkin terjadi di negeri Anda. Maksud Anda, pajak pendapatan, bukan? Di Indonesia ada ketentuan, 30% dari income terkena pajak. Di Jepang, income tax juga 30%. Namun, selain pajak ada faktor lain, yakni kompetisi yang sangat ketat dalam dunia bisnis. Di Indonesia pengusaha seperti Liem dan William bisa dihitung tapi di Jepang banyak. Dalam persaingan yang tidak begitu ketat, adalah wajar jika Liem bisa menonjol. Sebaliknya di Jepang. Apa yang terjadi menurut saya adalah, kompetisi yang begitu ketat mendorong setiap pengusaha terus-menerus berupaya keras agar bisa survive. Dalam proses itu, mereka tidak bisa lain harus terus-menerus mengembangkan diri. Hal itu tak mungkin terjadi tanpa mengerahkan seluruh dana yang ada. Ketika perusahaan semakin besar mereka memerlukan dana dari masyarakat. Pada tahap akhir Anda lihat mereka menjadi public company. Apakah proses yang sama bisa terjadi pada perusahaan keluarga yang banyak terdapat di Indonesia? Ya, tapi bersabarlah. Dalam dua atau tiga generasi, bisnis keluarga yang besar-besar akan hilang. Hal ini memerlukan proses dan oleh karena itu deregulasi mesti diteruskan. Saya rasa tidak salah kalau saya katakan, deregulasi yang dilaksanakan sampai tingkat tertentu kini juga telah membawa hasil yang menggembirakan. Memang tidak mudah, tapi Anda mesti jalan terus. Deregulasi sudah merupakan arah yang tepat. Saya memahami bila bisnis keluarga yang besar-besar itu menimbulkan rasa cemburu, tetapi Anda juga sebaiknya jujur. Satu kenyataan yang tidak kurang pentingnya ialah, perusahaan keluarga itu juga sudah menyumbangkan sesuatu bagi perekonomian Indonesia. Tadi Anda mengatakan arah deregulasi itu sudah tepat. Dapatkah hal ini diuraikan lebih rinci? Ada tiga hal penting yang bisa saya anjurkan. Pertama, deregulasi harus secara konsisten dilaksanakan. Kedua, Indonesia mesti serius meningkatkan penguasaannya atas teknologi. Dewasa ini berperan sebagai penghasil barang-barang pertanian saja tidak cukup. Karena itu, Indonesia memasuki bidang tekstil, pengolahan hasil hutan, lalu menggarap industri baja dan kimia. Semua itu memerlukan penguasaan atas teknologi. Daripada membuka banyak sekolah ilmu sosial, saya pikir lebih tepat bila Indonesia memusatkan diri pada pencetakan tenaga-tenaga terampil, dengan membuka lebih banyak sekolah kejuruan dan politeknik. Ketiga, sudah waktunya, saya kira, melupakan isu Cina. Sejauh yang menyangkut teknologi, peserta seminar banyak yang sependapat dengan Anda. Tapi isu Cina? Anda tahu mereka bukan sekadar isu. Yang saya maksud ialah, jangan membesar-besarkan hal itu. Di Filipina, peran perantau Cina hanya menimbulkan sedikit masalah. Di Muangthai boleh dikatakan tak ada masalah sama sekali. Indonesia lain. Sependapatkah Anda kalau dikatakan, masalah Cina di Indonesia lebih kultural sifatnya daripada ekonomis? Masalahnya bukan masalah budaya. Tantangan Indonesia sekarang adalah bagaimana menjadi lebih baik daripada Muangthai dan Malaysia. Saya tidak terlalu yakin bahwa Muangthai sudah cukup sukses pembangunannya seperti yang banyak diberitakan media massa. Malaysia sebenarnya menghadapi problem rasial yang saya kira lebih rumit. Sementara itu, Indonesia sebenarnya punya peluang untuk membuat kemajuan ekonomi yang berarti. Kalau kemajuan itu tidak seperti yang diharapkan, saya rasa masalahnya bukan kultural, tapi terlalu sedikit politikus yang mau berbuat untuk kepentingan rakyat. Ya, mengapa tidak kembali pada sejarah dan berpikir tentang kejayaan Sriwijaya dan Majapahit? Dapatkah soal politikus dan rakyat itu dijabarkan lagi? Maksud saya, pemerintah hendaknya percaya pada kemampuan rakyat untuk mengambil inisiatif. Dengan itu, pemerintah dapat melakukan deregulasi lebih jauh. Dan juga bukakan peluang bagi mereka. Barulah roda ekonomi bisa bergerak lebih cepat. Selain deregulasi, juga diperlukan desentralisasi. Dengan demikian, daerah-daerah lebih terbuka untuk hubungan ekonomi dengan dunia luar. Biarkan Medan, Semarang, Surabaya, dan kota-kota lain tumbuh sebagai pusat-pusat bisnis di samping Jakarta. Kalau desentralisasi ini bisa dilaksanakan, lebih banyak rakyat yang bisa berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini