Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT koordinasi Bank Indonesia dengan para bankir di mar-kas bank sentral di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, pertengahan bulan lalu, terasa istimewa. Tak hanya dihadiri jajaran pimpinan puncak 15 bank papan atas, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun ikut nimbrung meramaikan ”hajatan” itu.
Kalla bahkan menjadi tokoh sentral. Meski rapat dipimpin Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, seorang bankir yang turut hadir mengatakan, orang nomor dua di Republik ini sangat mendominasi pembicaraan. Tanpa tedeng aling-aling, ia kembali ”mendamprat” kalangan perbankan. Mampetnya keran penyaluran kredit bank menjadi pemantik kegusarannya.
Regulasi bank sentral yang terlalu ketat dinilai Kalla sebagai salah satu biang keladi. Akibatnya, ratusan triliun rupiah duit bank-bank ngendon di sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menikmati suku bunga tinggi. ”Bank-bank ini mau enaknya saja,” ujar bankir itu menirukan ucapan Kalla. Bayangkan, jumlah duit yang diparkir di SBI hingga awal Maret lalu mencapai Rp 230 triliun!
Dari situ, perbankan bisa menikmati bunga Rp 20-an triliun dalam setahun, meski cuma tidur mendengkur. Sindiran juga merembet ke soal kebijakan BI terkait dengan konsep satu debitor. Dengan konsep ini, jika satu nasabah kreditnya macet di satu bank, di bank lain pun akan dianggap macet. ”Ini seperti zaman Orde Baru saja, karena bapaknya PKI, semua keluarga dianggap PKI,” ujarnya.
Pulang dari rapat di markas peng-awas bank itu, Kalla rupanya belum cukup lega. Dua pekan kemudian, kecaman lebih keras kembali terlontar dari mulutnya. ”Ini (di SBI) terjadi peram-pokan luar biasa,” katanya di rapat pimpinan nasional Kamar Dagang dan Industri, akhir Maret lalu.
Ia pun lantas menyindir Bank Central Asia (BCA), yang menjadi penyimpan duit terbesar di SBI, sebesar Rp 30 triliun. Maklum, bank swasta terbesar ini telah banyak menikmati uang negara, termasuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan obligasi rekapitalisasi. ”Bagaimana negara tidak hancur kalau begini semua?” ujarnya geram.
Buat pemerintah, kucuran kredit perbankan memang amat diharapkan untuk menjadi stimulus perekonomian. Tanpa ini, pertumbuhan ekonomi jelas tak akan lincah bergerak. Jika ini terus berlanjut, jelas persoalan gawat. Sebab, rapor pemerintah di bidang ekonomi sejauh ini dinilai masih merah menyala. Pengangguran dan angka kemiskinan masih membubung.
Celakanya, waktu yang tersisa tidak banyak lagi buat duet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kalla. Sudah separuh jalan mereka lewati masa lima tahun kepemimpinannya yang akan berakhir pada 2009. Menteri Koordinator Perekonomian Boediono pun mengingatkan, 2008 merupakan tahun terakhir bagi pemerintah sekarang untuk membangun ekonomi. Sebab, pada akhir tahun itu, semua pihak akan tersita perhatiannya pada Pemilu 2009, yang bakal banyak menyedot energi para elite politik.
UPAYA Kalla ternyata tak bertepuk sebelah tangan. BI, pekan lalu, memutuskan untuk kesekian kalinya melonggarkan regulasi kredit perbankan. Pada awal bulan ini, dua pekan setelah rapat dengan Wakil Presiden, bank sentral merombak Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/2/2005 menjadi PBI No. 9/6/2007 tentang Kualitas Aktiva Produktif Bank Umum. ”Ini upaya BI untuk terus peka terhadap kompleksnya masalah pembiayaan sektor riil,” ujar Burhanuddin pekan lalu.
Inti dari perubahan PBI itu antara lain menyangkut tiga pilar kualitas kredit, yakni prospek industri, kondisi keuangan, dan kemampuan membayar utang, yang tak lagi menjadi acuan pengucuran kredit. Di aturan baru, bank cukup mengacu pada kemampuan debitor membayar pokok dan bunga utang. Artinya, meski usaha merugi, selama utang dibayar, mereka bisa diberi pinjaman baru.
Bagi debitor kategori ini, pinjaman baru bukan hanya sampai Rp 500 juta. Plafonnya bisa dinaikkan menjadi Rp 20 miliar, bila dikucurkan oleh bank-bank yang dinilai memiliki sistem pengendalian risiko sangat memadai seperti BCA. Sedangkan bagi bank yang pengendalian risikonya bisa diandalkan, pinjaman yang bisa dikucurkan maksimal Rp 10 miliar.
Yang lebih penting adalah soal penyeragaman klasifikasi (uniform classification system) bagi kredit sindikasi. Bank wajib menyeragamkan kualitas kredit satu debitor atau proyek yang sama, untuk kredit di atas Rp 10 miliar. Sebaliknya, bank tidak wajib menyamakan kualitas kredit debitor yang memiliki beberapa proyek berbeda atau terdapat pemisahan tegas atas arus kas masing-masing proyek.
Dengan kebijakan relaksasi itu, BI berharap kredit bisa tumbuh 20 persen atau Rp 150 triliun untuk mengejar target pertumbuhan tahun ini. Target itu sangat mungkin dicapai, karena debitor usaha kecil-menengah (UKM) mencakup 60 persen dari total kredit bank sebesar Rp 833 triliun. ”Mereka potensial mendapatkan percepatan penyaluran dana,” ujar Direktur Perencanaan Strategis BI, Budi Mulya, pekan lalu.
Menanggapi keluarnya keputusan ba-ru BI itu, sejumlah pihak menduga ini buah kompromi bank sentral akibat derasnya tekanan politik dari pemerintah. Menurut sumber Tempo di pemerintah, kalau BI tetap ngotot mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi dan tetap memperketat prosedur penyaluran kredit, bisa-bisa dituding mengikat kaki pemerintah dan tak mendukung upaya pemerintah mengejar target pertumbuhan ekonomi. Karena itu, jalan tengahnya melonggarkan aturan kredit, meski sebatas untuk usaha kecil-menengah.
Benar-tidaknya sinyalemen ini memang tak ada jawaban tegas. Meski begitu, Direktur Pengaturan Bank BI, Halim Alamsyah, mengakui dalam pertemuan dengan Wakil Presiden, soal itu memang dibicarakan. ”Tapi kelonggaran ini sudah direncanakan sejak awal, karena BI juga ingin mengurangi dana parkir di SBI,” tuturnya.
Seorang pejabat BI membisikkan, bank sentral memang mulai cemas atas beban bunga SBI yang dipikulnya. Ada versi lain yang memaparkan data terakhir dana bank yang disimpan di SBI yang kini mencapai Rp 280 triliun. Padahal, dari hitung-hitungan internal, BI hanya mampu menanggung beban atas simpanan aman tersebut hingga maksimal Rp 330 triliun. ”Lebih dari itu, BI bisa kewalahan,” ujarnya.
Lantas, seberapa ampuh kebijakan relaksasi ini akan berdampak terhadap pengucuran kredit? Sebagian kalangan pesimistis bakal membuahkan hasil, jika sektor riil tetap tak bergerak dan tidak segera dibenahi. Salah satu buktinya, meski kucuran kredit telah disodorkan bank, para pengusaha tak jadi mencairkan dana pinjamannya.
Rata-rata hanya 60 persen kredit yang dicairkan nasabah. Berdasarkan data hingga Januari lalu, nilai komitmen kredit yang tak jadi diambil itu mencapai Rp 179 triliun. ”Jadi, tak semua masalah bersumber di perbankan,” kata Direktur Utama BNI, Sigit Pramono.
Deputi Direktur Hukum BI, Oey Hoei Tiong, juga melihat kebijakan bank sentral bukan solusi utama untuk mendongkrak kucuran kredit perbankan. ”Percuma regulasi terus dilonggarkan dan suku bunga terus diturunkan,” katanya. Bisa jadi, lantaran pertimbangan itu pula, BI pun bulan ini tak lagi menurunkan suku bunga patokan bank sentral, BI rate, dan tetap mempertahankannya di level 9 persen.
Melihat semua kenyataan itu, analis perbankan Mirza Adityaswara berpendapat, semuanya kembali berpulang pada pembenahan sektor riil. Ia juga mewanti-wanti, jangan sampai pemerintah mengambil jalan pintas dengan memberikan tekanan politik kepada bank-bank, khususnya bank milik negara, untuk mengucurkan kredit. ”Pengucuran kredit karena tekanan politik sangat berisiko,” ujarnya.
Heri Susanto
Agar Kredit Tak Seret
TAK mau kecolongan dua kali, Bank Indonesia tampil ”galak” setelah krisis ekonomi memporak-porandakan negeri ini pada 1997/1998 lalu. Aturan kredit diperketat. Akibatnya, tak jarang bank sentral dituding menjadi penyebab seretnya kucuran kredit perbankan. Namun, dalam tiga tahun terakhir, BI mulai berubah. Secara bertahap, aturan kredit dilonggarkan. Selain soal kualitas kredit, relaksasi juga terkait dengan aturan penyeragaman kredit. Berikut ini beberapa tahap relaksasi regulasi BI.
20 Januari 2005 PBI Nomor: 7/2/PBI/2005
Penyeragaman Kredit
- Kolektibilitas atau kualitas kredit dari beberapa bank seragam antara satu bank dan bank lain.
- Penilaian kolektibilitas mengacu pada kualitas terendah yang diberikan oleh bank tertentu.
- Penilaian berlaku untuk debitor perorangan, perusahaan, grup, atau proyek yang memperoleh kredit dari sindikasi bank.
- Penilaian tidak berlaku bagi debitor atau proyek dengan nilai pinjaman di bawah Rp 500 juta.
Kualitas Kredit Kualitas kredit ditetapkan berdasarkan penilaian tiga pilar: prospek usaha, kinerja keuangan debitor, dan kemampuan membayar.
30 Januari 2006 PBI Nomor: 8/2/PBI/2006
Penyeragaman Kredit
- Penyeragaman kualitas kredit berlaku bagi debitor atau proyek dengan nilai pinjaman lebih dari Rp 500 juta.
- Tidak termasuk kualitas kredit terendah adalah kredit yang ditetapkan berdasarkan faktor risiko negara Republik Indonesia serta kredit yang telah dihapus tagih.
30 Maret 2007 PBI Nomor: 9/6/PBI/2007
Penyeragaman Kredit
- Penyeragaman kualitas kredit berlaku bagi debitor atau proyek dengan nilai pinjaman lebih dari Rp 10 miliar.
- Penyeragaman kualitas kredit berlaku bagi debitor atau proyek dengan nilai pinjaman Rp 500 juta – Rp 10 miliar untuk 50 debitor terbesar bank.
- Penyeragaman tidak diwajibkan bagi kualitas kredit satu debitor yang memiliki beberapa proyek berbeda atau terdapat pemisahan yang tegas atas arus kas masing-masing proyek.
Kualitas Kredit
- Kualitas kredit ditetapkan hanya berdasarkan ketepatan membayar pokok dan bunga pinjaman.
- Ketentuan berlaku untuk kredit maksimal Rp 500 juta.
- Bagi bank dengan sistem pengendalian risiko sangat memadai, ketentuan berlaku bagi pinjaman UKM hingga Rp 20 miliar.
- Bagi bank yang pengendalian risikonya bisa diandalkan, ketentuan berlaku bagi pinjaman UKM Rp 500 juta - Rp 10 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo