HARGA dan kuota produksi minyak OPEC tidak berubah. Untuk mencegah turunnya harga patokan, OPEC akan mengganjal dengan menyesuaikan tingkat produksi 13 anggotanya pada setiap musim. Jadi, jika musim panas tiba di belahan Utara, produksi anggota negara-negara pengekspor minyak ini akan dipotong. Sebaliknya, kalau musim dingin tiba, kuota produksi itu akan digenjot naik secukupnya. Dalam sidang konsultatif di Wina, pekan lalu, 13 menteri perminyakan OPEC juga sepakat menghentikan praktek-praktek tidak sehat yang bisa menekan harga minyak di pasar bebas. Misalnya, anggota tidak lagi boleh memberi potongan harga, dan melakukan imbal beli (barter) dengan komoditi lain. "Saya kira, jika kami bisa menyetop pemberian potongan harga dan barter, tingkat produksi akan membaik segera," ujar Sheik Ahmad Yamani, menteri perminyakan Arab Saudi. Kuota produksi OPEC, seperti disepakati 13 anggotanya, sekarang ini 16 juta barel sehari. Tapi tingkat produksi itu cenderung menurun terus memasuki kuartal kedua tahun ini. Dan ketika musim panas tiba di belahan Utara, Juni lalu, tingkat produksinya tinggal 13,9 juta barel - terendah selama 20 tahun sejarahnya. Besar dugaan, bila musim panas nanti memasuki puncaknya di bulan Juli-Agustus, tingkat produksi itu akan lebih rendah. Keruwetan menentukan alokasi tentu akan muncul jika Arab Saudi, sebagai produsen penentu (swing producer), tidak mau lagi menurunkan tingkat produksinya. Produsen terkemuka OPEC ini, biasanya, baru menentukan alokasi produksinya secara sukarela, sesudah 12 anggota lainnya mengajukan tingkat produksi minyak yang dianggap cukup aman untuk menjaga stabilitas neraca pembayaran dan anggaran belanja masing-masing. Karena itu, sejak 1983, produksi Saudi cenderung mengecil. Bulan Juli ini, produksinya diperkirakan tinggal 2,2 juta sampai 2,3 juta barel sehari. Ekspornya dari terminal utama Ras Tannura kini hanya 1 juta barel. Padahal, ketika zaman minyak jaya, 1980, dari sini tiap hari diekspor 9 juta barel lebih. Sialnya lagi, anggaran pendapatan dan belanja negeri itu, untuk tahun fiskal 1985-1986 ini, didasarkan pada tingkat produksi minimal 3,85 juta barel. Situasi seperti itu juga dihadapi anggota OPEC lain, seperti Indonesia, Iran, Irak, dan Nigeria. Perdebatan di ruang sidang, memang, sering terjadi berlarut-larut karena tiap-tiap anggota harus tarik urat meminta kuota tinggi untuk mengamankan kepentingan nasionalnya. Bisa dimengerti jika dalam pertemuan di Wina itu soal produksi dan harga tidak dijadikan masalah pokok pembicaraan. "Kali ini kami membicarakan soal pendapatan, tingkat pendapatan yang aman," ujar Mana Said al-Oteiba, menteri perminyakan Persatuan Emirat Arab. Sasaran itu jelas hanya bisa dicapai bila setiap anggota OPEC tunduk dan disiplin mematuhi alokasi kuotanya. Tapi tidak semua anggota, dengan alasan mengamankan anggaran belanja dan neraca pembayaran, mau mematuhi ketentuan itu. Suatu saat Iran dan Nigeria, misalnya, diberitakan memberikan potongan harga. Arab Saudi malah pernah menggegerkan karena membeli sejumlah pesawat Boeing 747 yang ditukar dengan jutaan barel minyak. Serangkaian pelanggaran itu, pada akhirnya, menyebabkan pasar bebas kebanjiran minyak. Situasi itu, tentu, berakibat kurang menguntungkan: harga minyak resmi OPEC dan non-OPEC tertekan hebat karena harga minyak di pasar bebas bisa dibeli sekitar US$ 2 sampai US$ 3 lebih murah. Apa boleh buat, produsen seperti Norwegia terpaksa menurunkan harga minyaknya sampai US$ 4, sejak September tahun lalu. Harga minyak ringannya kini hanya sekitar US$ 26,50 per barel. Dan Januari lalu, OPEC terpaksa menurunkan harga minyak Arabian Light Crude (ALC), dari US$ 29 jadi US$ 28. Turunnya ALC, yang sebelumnya digunakan sebagai penentu harga patokan itu, memang tidak menguntungkan. Para pembeli minyak di Jepang, misalnya, terus-menerus menekan Indonesia agar memberikan potongan harga. Melalui Far East Oil Trading Co. (FEOT), mereka minta agar Pertamina memberikan potongan antara US$ 0,50 dan US$ 1 per barel. Ada tanda-tanda, memang, minyak Indonesia terdesak cukup berat di negeri itu karena tertekan minyak eks RRC, dan juga karena tindakan diversifikasi yang dilakukan pembangkit listrik di sana. Pembangkit tenaga listrik di sana kini lebih suka menggunakan tenaga nuklir dan LNG karena alasan ekonomi. Maka, tak heran, permintaan akan BBM untuk pembangkit listrik berkurang banyak. Situasi itu akhirnya menyebabkan 47 pengilangan, yang mampu mengolah 4,97 juta barel minyak mentah jadi BBM, hanya bekerja 65% dari kapasitas terpasang. Efisiensi akan dilakukan dengan cara mengurangi jumlah pengilangan itu hingga kapasitas terpasangnya tinggal 4,08 juta barel. Kapan langkah itu akan dilakukan tak dijelaskan MITI. Tapi, cepat atau lambat, tindakan efisiensi itu akan mempengaruhi ekspor minyak Indonesia ke sana. Dari Januari sampai April tahun ini saja ekspor minyak dari sini menunjukkan fluktuasi yang mendebarkan: Januari 1,9 juta kiloliter (10,4%) dari seluruh impor Februari 2,4 juta kiloliter (13%) Maret 2,1 juta kiloliter (11%) dan April 1,9 juta kiloliter (11,7%). Dalam keadaan seperti itu posisi Minas makin terdesak di sana. Padahal, dengan tingkat harga US$ 27,40, di masa lalu Minas merupakan pengumpul devisa cukup besar. Tumpuan di sana kini tampaknya akan diandalkan pada Sumatran Medium Crude dan Cinta, yang harganya lebih murah. Tidak apa, asal permintaannya cukup kencang. Eddy Herwanto Laporan Seiichi Okawa (Tokyo) & Reuter
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini