SAMBIL membungkukkan tubuhnya, petenis ceking berambut pirang itu melepaskan servis. Bola meluncur deras ke arah kiri lawannya. Sang lawan, Kevin Curren, 27, petenis Amerika kelahiran Afrika Selatan, mencoba mengembalikan bola. Tapi, bola hanya menyentuh ujung raketnya dan mental ke arah penonton. Itulah. Ketegangan panjang selama 3 jam 18 menit yang mencekam sekitar 17.000 penonton final tunggal putra kejuaraan tenis di lapangan rumput Wimbledon, Inggris, Minggu petang pekan lalu, berakhir. Sorak pun gemuruh. Tak syak lagi, Boris Becker dari Jerman Barat, anak muda yang semula tak dipandang itu menorehkan namanya sebagai juara dunia baru di Wimbledon. Becker juara tunggal termuda dalam 109 tahun sejarah kejuaraan tenis paling bergengsi di dunia itu. Petenis yang baru berusia 17 tahun itu semula sungguh diabaikan. Ia tak termasuk unggulan. Dan ternyata Becker, yang menerima hadiah uang sekitar Rp 200 juta - dari sekitar Rp 2,5 milyar yang dibagi-bagikan di kejuaraan itu kali ini - adalah orang Jerman pertama yang bisa menjuarai Wimbledon. Tak heran kalau pemuda yang tak tamat sekolah menengah ini luar biasa gembira dengan prestasinya itu. Luapan kegembiraan itu kentara sekali terlihat beberapa saat setelah ia berhasil menundukkan Curren yang sebelumnya sudah menumbangkan dua jago tenis dunia, John McEnroe dan Jimmy Connors di perempat final dan di semifinal. Begitu pemain Afrika itu - yang baru Maret lalu resmi jadi warga negara AS - gagal mengembalikan servisnya, Becker kontan mengangkat kedua tangannya ke udara. Lalu, ia berteriak girang seraya memandang berkeliling ke arah ribuan penonton yang mengelu-elukannya. "Ini gelar pertama yang kuperoleh di Wimbledon. Dan aku berharap, ini bukan kemenangan yang terakhir," kata Becker. Sebenarnya, tahun lalu ia telah muncul sebagai peserta termuda, 16 tahun, di kejuaraan dunia ini, tapi gagal. Dalam sejarah Wimbledon selama ini, pemain putra termuda yang bisa mencapai semifinal barulah McEnroe. Ia tampil di kejuaraan ini pada 1977 dalam usia 18 tahun. Tapi baru tiga tahun kemudian petenis AS yang dijuluki "Si Pemberang" ini - karena ia sering marah-marah di pelbagai turnamen dan kejuaraan - merebut mahkota juara. Sebenarnya, "Si Pemberang"itu - yang tiga kali (1981, 1983, dan 1984) jadi pemain tunggal putra terkuat di dunia itu - diseeded di tempat pertama. Ia dijagokan bakal mempertahankan gelarnya dalam Kejuaraan Wimbledon 1985 ini. Hanya Jimmy Connors (AS), juara Wimbledon 1974 dan 1982 Ivan Lendl (Cekoslovakia), juara Prancis Terbuka 1985 dan Mats Wilander (Swedia), juara Australia Terbuka 1984 yang disebut-sebut bakal membayang-bayanginya. Ketiga petenis andalan ini oleh Panitia Unggulan di cantumkan masing-masing sebagai unggulan (seeded) kedua, ketiga, dan keempat. Tapi bola memang bundar, tak selalu bisa ditebak larinya. Perkiraan panitia unggulan rupanya meleset. Belakangan, ternyata, hampir semua pemain yang diunggulkan berguguran sebelum semifinal. Ada delapan unggulan utama yang kalah di babak-babak awal kejuaraan yang diikuti 160 petenis itu. Dan kekalahan yang paling disorot adalah yang menimpa John McEnroe. Bahkan, bujangan berusia 26 tahun ini - yang beberapa bulan lalu pernah disebut Byonn Borg, juara lima kali tunggal putra Wimbledon, sebagai pemain yang "sulit dikalahkan" dalam satu dua tahun mendatang dilecehkan sebagai "juara yang habis". Pers Inggris umumnya menuding dia dengan agak gemas. Lalu dicari-carilah biang keroknya. Kata pers, kemunduran prestasi jutawan tenis yang bulan lalu juga jadi pecundang di Kejuaraan Prancis Terbuka itu, antara lain, karena hubungan asmaranya dengan Aktris Tatum O'Neal, putri aktor terkenal Ryan O'Neal. "Tenis sudah nomor dua buat McEnroe. Dia kini menjadikan cinta di atas segalanya. Karena itu ia tak bakal bisa jadi juara lagi," kata koran di sana untuk McEnroe. Bujangan ini tak sepenuhnya membantah kritikan-kritikan itu. Mengaku "sudah mulai tua", ia hanya menilai putusan yang menghubung-hubungkan prestasinya yang mulai merosot dengan kasus percintaannya kurang begitu tepat. "Yang benar adalah bahwa kekuatan di nomor tunggal putra sekarang ini sudah mulai berubah," katanya, sambil memuji "penampilan mengesankan" Boris Becker dan Kevin Curren yang telah mengalahkannya. Di tunggal putra, perubahan pelan-pelan tampaknya memang sedang terjadi. Hal ini jelas tak menular ke nomor tunggal putri ketika Martina Navratilova, 28, untuk keenam kalinya - empat di antaranya mempertahankan gelar - menjuarai Piala Wimbledon. Di final, sehari sebelum Becker jadi juara, "Si Komputer" ini membalas kekalahannya bulan lalu di Kejuaraan Prancis Terbuka dari saingan senegaranya (AS), Christ Evert Lloyd, 31. Ini pertemuan ke-66 kedua jago itu. Dan Navratilova, yang kini berkaca mata, tetap unggul - 34 kali menang dan 32 kalah. Ketika menonton final putra yang dimenangkan Becker, wanita asal Cekoslovakia ini mengutarakan ambisinya untuk menjuarai lebih dari enam kali Piala Wimbledon. "Semoga saya masih bisa mengembangkan permainan saya. Ini target yang realistis," katanya. Belum ada komentar para pengamat tenis terhadap ambisi perempuan yang kini menempati peringkat pertama dari 20 petenis wanita yang dicatat Asosiasi Tenis Dunia (WTA) sebagai pengumpul uang terbanyak di dunia saat ini. Tapi nama Martina Navratilova terasa tenggelam. Penggemar tenis, agaknya, terpukau pada kejutan yang baru dibuat Boris Becker, anak muda yang sempat jadi "penghangat" padang rumput Wimbledon yang beberapa kali diguyur hujan lebat. Padahal, Becker baru tahun lalu terjun ke tenis profesional internasional. Sebagai pemain yang memiliki servis tajam, pukulan voli yang amat terarah, serta seorang penjelajah yang tak segan jungkir balik seperti seorang pemain sirkus di lapangan, ia cepat menarik perhatian. Dengan gayanya itu, ia sempat disindir sebagai "petenis sirkus". Toh, Si Jangkung ini, tak peduli. "Itu sudah gaya main saya, biarlah," katanya tenang. Dengan gaya permainan seperti itu, ia mulai kerap disebut-sebut para pengamat tenis, ketika bisa menempatkan diri pertama kali di Kejuaraan Terbuka Australia di Melbourne, November 1984. Sebulan setelah itu, anak muda yang suka model rambut pendek ini lagi-lagi jadi pembicaraan. Ia berhasil menjuarai kejuaraan yunior internasional Queens Club di Birmingham, Inggris. Lewat kemenangan inilah ia kemudian bisa ikut Kejuaraan Wimbledon 1985. LAHIR di Leimen, sebuah kota kecil berpenduduk sekitar 17.000 jiwa di luar Heidelberg, Becker mulai bermain tenis dalam usia tujuh tahun. Ia belajar tenis dari ayahnya, Karl Heinz, seorang arsitek yang menggemari tenis. Sang ayah pula yang setiap hari selama beberapa tahun "melekatkan candu" tenis pada anaknya yang bertubuh kurus itu. Di rumah mereka, yang dilengkapi sebuah lapangan tenis kecil, Becker hampir setiap hari diajari tenis. Dalam usia belasan tahun, Becker masuk klub tenis Blue-White di Leimen. Di klub ini dia kemudian berkenalan dengan Gunther Bosch dan Ion Tiriac. Kedua pelatih inilah yang kemudian membuat Becker tambah tergila-gila pada tenis. Sampai akhirnya dengan diketahui orangtuanya - ia memutuskan tak melanjutkan sekolah menengahnya. Dalam usia sekitar 15 tahun, remaja yang suka hidup sederhana ini memilih tenis sebagai tumpuan hari depannya. Tekad itu dijalankannya dengan disiplin ketat. Memilih Gunther Bosch dan Ion Tiriac - yang kedua ini pernah menangani Guillermo Vilas, pemain andalan Argentina yang pernah pacaran dengan Puteri Caroline dari Monaco - sebagai pelatihnya, ia berlatih setiap hari di klubnya. Baru, pelan-pelan, setelah mengikuti pelbagai pertandingan di seputar Jerman Barat, Becker - tinggi 187 cm dan berat sekitar 79 kg itu - ke luar kandang. Kini, sang juara Wimbledon sungguh jadi pujaan orang Jerman Barat. Sehari setelah ia menjadi juara, pelbagai koran di negerinya menjadikan berita kemenangannya sebagai berita utama. Potret Becker terpampang besar-besar di halaman depan banyak koran. Dan tak kurang presiden Jerman Barat Richard von Weizsaecker mengirimkan kawat ucapan terima kasih kepadanya atas "kejutan musim panas". Pesta penyambutan, tak ayal, tampak sudah disiapkan penduduk dan khusus penggemar tenis di negeri itu guna menyambut "Si Anak Ajaib" yang baru jadi kampiun dunia. Di markas klubnya di Leimen, ratusan paket sudah terkumpul buat juara baru Wimbledon ini. "Kami mau buat pesta besar menyambut dia, begitu dia sampai di sini," kata Kurt Weber, ketua Klub Blue-White bersemangat. Namun, untuk sementara pesta tertunda. Becker, yang didampingi kedua orangtuanya ketika bertanding di Wimbledon, belum akan pulang. "Saya mau main-main dulu di rumah kami di Monaco, dan baru pulang beberapa hari lagi," kata pahlawan yang konon tak banyak tingkah itu - berlawanan dengan McEnroe, si juara yang tersisihkan. Marah Sakti Laporan kantor-kantor Berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini