Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat maraton di lantai dasar kantor Direktorat Kelaik-udaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan, kompleks Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu, 25 September lalu, rupanya bablas sampai hari berganti. Rapat dimulai saat matahari masih bersinar terik, sekitar pukul 14.00. Saat persamuhan berakhir, waktu menunjukkan pukul 3 dinihari.
Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Avirianto memanggil direksi dan komisaris PT Sriwijaya Air ihwal status operasi maskapai berlogo ru-yi ala Cina ini. Dua komisaris, yakni Hendry Lie—juga merupakan pemegang saham—dan Jefferson Irwin Jauwena, memenuhi undangan. Begitu pula seluruh jajaran direksi Sriwijaya. “Saya sampai pagi dengan staf dari Direktorat Angkutan Udara mengurai satu per satu permasalahannya,” kata Avirianto, Kamis, 26 September lalu.
Pertemuan ini adalah tindak lanjut atas sejumlah laporan mengenai sengketa manajemen antara Sriwijaya Air dan Garuda Group. Di tengah sengketa itu, direksi Sriwijaya Air melayangkan hasil penilaian risiko dan potensi gangguan (hazard identification and risk assessment/HIRA) penerbangan kepada Kementerian Perhubungan. “Hasil HIRA mereka merah dan hampir berhenti beroperasi. Beberapa penerbangan dibatalkan,” tutur Avirianto.
Di tengah lesunya industri penerbangan domestik, otoritas tak ingin Sriwijaya Air mendadak berhenti beroperasi. Maskapai berumur hampir 16 tahun ini melayani lebih dari 11 juta penumpang tahun lalu. Menurut Avirianto, meski hasil penilaian risiko dan potensi gangguan Sriwijaya masuk zona merah, regulator memberikan waktu transisi perbaikan kepada manajemen selama tiga bulan ke depan. “Operasinya kami jaga, manajemen risiko juga sudah ada sehingga tidak terjadi chaos.”
Dokumen HIRA Sriwijaya Air dengan nomor SJ-F-DV-14-02 berjudul “Peringatan Rencana Kontingensi Korporasi” yang diperoleh Tempo menunjukkan lima identifikasi gangguan dan penilaian risiko maskapai diblok merah dengan kategori 4A-5A. Efek gangguan terlihat dengan adanya perubahan jadwal, penundaan dan pembatalan penerbangan, serta penurunan produktivitas maskapai. Dari segi teknis, berkurangnya bantuan peralatan pemeliharaan dan perbaikan pesawat yang berkualitas menambah beban operasi. Selain itu, jumlah pesawat Sriwijaya yang bisa diterbangkan makin berkurang.
Dokumen tersebut juga memperlihatkan tipisnya likuiditas Sriwijaya sehingga menyebabkan tertundanya banyak pembayaran yang dapat berdampak terhentinya seluruh pelayanan perusahaan. Seorang petinggi Sriwijaya menyebut kas perusahaan tersisa Rp 10 miliar bulan ini.
Padahal perusahaan memerlukan sedikitnya US$ 2-3 juta atau sekitar Rp 42,5 miliar per bulan untuk perawatan teknis pesawat. Tak aneh jika potensi gangguan keselamatan dan keamanan kian meningkat karena kondisi ini, seperti tertulis dalam dokumen HIRA.
Avirianto mengatakan otoritas mengkaji mitigasi risiko agar Sriwijaya tak berhenti beroperasi. Kabar berhentinya operasi Sriwijaya Air muncul setelah beredar surat elektronik dari manajemen kepada karyawan maskapai, pekan lalu. Untuk menghindari dampak lebih besar dari dihentikannya dukungan perawatan oleh PT GMF AeroAsia Tbk—anak usaha PT Garuda Indonesia (Persero)—juga berdasarkan hasil audiensi dengan Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara perihal adanya potensi penyetopan operasi, surat itu meminta karyawan menutup reservasi untuk jadwal penerbangan 27 September. Langkah itu ditempuh agar pembatalan penerbangan tidak makin menumpuk.
Direktur Komersial Sriwijaya Air Rifai Taberi membantah kabar tersebut. “Informasi stop operasi itu tidak benar. Hingga saat ini Sriwijaya Air dan Nam Air masih beroperasi melayani pelanggan dan reservasi pun masih tetap kami buka,” ucapnya, Kamis, 26 September lalu.
Usul penyetopan operasi sebetulnya muncul dari kajian internal manajemen. Dengan hasil penilaian risiko dan potensi gangguan yang kritis, direksi Sriwijaya tak ingin mengambil risiko menerbangkan armada. Apalagi layanan mesin dan teknisi pemeliharaan pesawat dari GMF AeroAsia dicopot satu per satu dari Sriwijaya per 24 September lalu.
Direktur Utama Sriwijaya Air Joseph Adriaan Saul, yang saat itu statusnya dinonaktifkan oleh pemegang saham Sriwijaya, meminta Kementerian Perhubungan menyatakan stop operasi sementara untuk maskapai tersebut. Namun, dalam rapat di Direktorat Kelaikudaraan, pemegang saham menolak dan meminta operasi tetap dijalankan secara terbatas.
Joseph meminta pemegang saham memastikan keuangan Sriwijaya cukup untuk beberapa bulan ke depan apabila ingin tetap beroperasi. “Saya minta ada suntikan dana baru,” ucapnya. Jika tak ada suntikan dana, dia memilih pelayanan Sriwijaya dihentikan dengan alasan keamanan penerbangan berbasis dokumen HIRA.
Perdebatan itu buntu. Avirianto mengatakan manajemen sulit membuat keputusan karena Sriwijaya tak memiliki direktur utama definitif saat itu. Joseph Saul diberhentikan pemegang saham sehari sebelumnya. Kala itu, status jabatannya nonaktif. Namun, berdasarkan akta perusahaan yang diakui Kementerian Perhubungan, dia tetap bertanggung jawab pada masa transisi sampai ada direktur utama definitif yang disahkan otoritas. “Karena itu, saya minta pemegang saham menunjuk -leader masa transisi,” ujar Avirianto. “Saya kasih waktu sampai jam 12 malam.”
Per Kamis, 26 September lalu, hingga tiga bulan ke depan, Jefferson Irwin Jauwena menjabat Direktur Utama Sriwijaya Air dengan diskresi dari Direktorat Kelaikudaraan. Jefferson pernah menjadi direktur di anak usaha Sriwijaya, Nam Air. “Dia yang akan bertanggung jawab untuk masa percobaan ke depan,” kata Avirianto.
PERDEBATAN tentang masa depan Sriwijaya Air meruncing setelah muncul ramai-ramai dualisme kepemimpinan dalam tubuh maskapai swasta berkode SJ ini. Pemegang saham, keluarga Lie, mempreteli satu per satu komisaris dan direktur yang ditetapkan dari hasil penandatanganan kerja sama operasi dengan Garuda Group. Kerja sama itu muncul ketika Sriwijaya menyatakan kesulitan membayar utang kepada beberapa badan usaha milik negara sekitar Rp 2,5 triliun pada akhir Oktober 2018. Keluarga Lie menyerahkan manajemen kepada direksi Garuda Group.
Dengan kerja sama operasi, yang belakangan diubah namanya menjadi kerja sama manajemen, Sriwijaya dan Garuda sepakat menyetujui susunan komisaris dan direktur baru. Garuda Group menempatkan tiga pejabatnya di level komisaris dan lima orang di kursi direksi.
Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Sriwijaya Air Pritanto Ade Saputro mengungkapkan, masuknya tim Garuda ke manajemen Sriwijaya membuat tata kelola perusahaan meningkat. Selama 16 tahun berdiri, maskapai swasta ini baru pertama kali memiliki rancangan kerja dan anggaran perusahaan pada Januari lalu. “Tingkat kesejahteraan meningkat, kepercayaan pelanggan naik, semuanya serba transparan,” kata Pritanto.
Vice President Corporate Strategy Sriwijaya Air Endang Wahyudarti menyebutkan perusahaan berhasil mengantongi kenaikan laba operasi sebelum pajak sebesar 88 persen sepanjang Januari-Juli 2019. Tingkat kepercayaan agen perjalanan online- juga membaik, terlihat dari deposit yang mereka setorkan di Sriwijaya mencapai Rp 150 miliar per pekan. “Januari kami sempat untung Rp 36 miliar,” tuturnya.
Saat kondisi kas mulai cerah, pemegang saham dan direksi mulai membahas pembagian management fee. Dalam perjanjian kerja sama disebutkan bahwa Citilink—kepanjangan tangan Garuda Group—berhak mendapat hak pengelolaan sebesar 5 persen dari pendapatan operasional bersih.
Inilah yang menjadi awal sengketa. Pemegang saham dan direksi berbeda pendapat mengenai pembagian hak ini. Muncul usul angka baru 3 persen, masing-masing 1,5 persen untuk Garuda dan pemegang saham. “Tapi ditolak pemegang saham. Padahal Garuda mengakomodasi,” ujar Vice President Human Capital Sriwijaya Air Agus Setiawan.
Hingga Juni lalu, Sriwijaya masih rutin membayar utang-utang layanan kepada Garuda Group. Namun perbaikan kinerja ini tak menghentikan sengketa. Medio Agustus, pemegang saham mengangkat Komisaris Utama Jusuf Manggabarani serta Direktur Legal dan Kepatuhan Anthony Raimond Tampubolon. Jusuf adalah mantan Wakil Kepala Kepolisian RI, sementara Tampubolon bekas Hakim Tinggi Militer Utama Jakarta. “Ini tanpa setahu direksi dan Citilink,” kata Pritanto.
Menurut Pritanto, selain menempatkan dua jenderal, pemegang saham memangkas kewenangan direksi. Hingga 9 September lalu, pemegang saham mempreteli direktur perwakilan Garuda Group, termasuk menonaktifkan Direktur Utama Joseph Adriaan Saul. Sebelum memimpin Sriwijaya, Joseph menjabat General Manager Garuda Indonesia di Bali. “Ini bentuk wanprestasi,” ucap Pritanto.
Sejak saat itu, matahari kembar muncul di kantor Sriwijaya. Pemegang saham mengangkat Tampubolon sebagai pelaksana tugas direktur utama, orang yang berhak mengambil keputusan perusahaan. Namun, menurut akta dan surat izin angkutan udara niaga berjadwal yang diakui Kementerian Perhubungan, Joseph yang masih bertanggung jawab terhadap seluruh pelayanan perusahaan.
Tampubolon enggan menjelaskan kondisi perusahaan di tangannya. “Terima kasih atas perhatiannya. Sriwijaya masih berkonsolidasi ke dalam. Nanti saya hubungi kembali,” ucapnya. Adapun Joseph menyayangkan pencopotan perwakilan Garuda Group di Sriwijaya oleh pemegang saham. “Ini tindakan semena-semena,” tuturnya. “Jika tanpa Garuda, kepercayaan agen dan pelanggan bisa menghilang.”
Komisaris sekaligus pemilik saham Sriwijaya, Chandra Lie, juga enggan menerangkan duduk perkara sengketa perusahaan. “Saya sudah pensiun, silakan hubungi humas,” kata mantan Direktur Utama Sriwijaya tersebut.
Di tengah sengketa itu, GMF AeroAsia terus menagih pembayaran dan mencabut layanan. Agensi perjalanan online mulai mengurangi deposit karena sengketa tersebut. Adapun jumlah pesawat Sriwijaya yang bisa beroperasi normal tak lebih dari sebelas. Padahal tunggakan pembayaran dan bunga tagihan terus berjalan. “Makanya kami awasi satu per satu suku cadang serta liabilitas pesawatnya supaya transisi perlahan ke agen lain dan tidak ada penyetopan operasi,” kata Avirianto.
PUTRI ADITYOWATI
Pecah Kongsi di Tengah Jalan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo