Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dalam Impitan Beban Utang

Sejumlah perusahaan meminta komitmen penyelesaian utang Sriwijaya Air. Garuda Indonesia Group akan meminta pembayaran tunai untuk setiap layanan yang diberikan.

28 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pesawat Sriwijaya Air mengisi avtur dari truk tangki Pertamina di Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, Agustus 2012./ Dok. TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknisi GMF AeroAsia mencopot satu per satu mesin pesawat yang terpasang di armada Sriwijaya Air mulai Rabu, 25 September lalu. Anak perusahaan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk di bidang pemeliharaan dan perbaikan pesawat itu terpaksa mengambilnya karena Sriwijaya tak kunjung membayar biaya sewa. Total ada lima unit mesin yang dilepas dari empat pesawat Sriwijaya. Salah satu pesawat menggunakan dua mesin sewaan.

“Sedang dilakukan di hanggar GMF Cengkareng, Banten,” kata Direktur Teknik PT Sriwijaya Air Romdani Ardali Adang, Jumat, 27 September lalu. Ia menjelaskan, keempat pesawat tersebut sudah tidak bisa diterbangkan. Tapi, Romdani memastikan, kondisi mesin GMF masih bagus. Adapun mesin Sriwijaya Air dalam perbaikan (overhaul).

Penarikan mesin tersebut menindaklanjuti surat yang dilayangkan manajemen GMF AeroAsia. Surat bertanggal 23 September 2019 yang ditandatangani Direktur GMF I Wayan Susena itu berisi rencana penarikan lima mesin jenis CFM 56-7B yang disewa Sriwijaya Air. Kelimanya dipasang dalam waktu berbeda pada tahun ini, yakni 29 Mei, 18 Juli, 20 Juli, dan 21 Agustus.

Mesin-mesin tersebut terpasang di pesawat Sriwijaya Air dengan registrasi PK-CLT, PK-CMO, dan PK-CMQ serta dua mesin di pesawat beregistrasi PK-CMR. “Sampai saat ini GMF belum menerima pembayaran atas biaya engine pesawat yang disewakan kepada Sriwijaya Group,” demikian informasi yang tertulis dalam surat tersebut.

GMF AeroAsia memiliki perjanjian jangka panjang untuk pemeliharaan dan perbaikan pesawat dengan Sriwijaya Air, termasuk Nam Air—anak usaha Sriwijaya Group. Kerja sama serupa dijalin dengan beberapa maskapai lain, seperti Lion Air, Air Atlanta, Biman Bangladesh Airlines,  Air China, China Airlines, China Southern, Virgin Australia, Malaysian Airlines, dan Singapore -Engineering Co.

Kebijakan pencopotan mesin itu adalah buntut perselisihan kerja sama manajemen (KSM) antara Garuda Indonesia Group—melalui PT Citilink Indonesia—dan pemegang saham Sriwijaya Air. Kisruh pembagian management fee menyebabkan pemilik maskapai mencopot tiga anggota direksi, termasuk direktur utama, yang merupakan perwakilan Garuda Indonesia. Maskapai milik pemerintah itu pun membalas dengan mencabut logo Garuda Indonesia yang tertempel di semua pesawat Sriwijaya, Rabu, 25 September lalu.

Kerja sama manajemen itu semula dimaksudkan untuk menyelamatkan Sriwijaya, yang kolaps. Kinerja keuangan perusahaan tersebut merah karena menggendong utang yang besar. Total nilainya sekitar Rp 3 triliun. Kewajiban kepada GMF AeroAsia, misalnya, berdasarkan laporan keuangan triwulan ketiga 2018 perusahaan, sebesar US$ 9,33 juta (lebih dari Rp 130 miliar) berupa utang jangka panjang. Pinjaman itu digunakan untuk pengerjaan perbaikan atau overhaul sepuluh mesin CFM 56-3. Rencananya, pembayaran diangsur selama 36 bulan.

Sebelumnya, Sriwijaya Air masih memiliki kewajiban sebesar US$ 6,28 juta dan Rp 119,77 miliar (sekitar US$ 8,7 juta). Dengan begitu, total utang Sriwijaya Air ke GMF AeroAsia mencapai US$ 24,3 juta (lebih dari Rp 340 miliar).

Utang itu kemudian diambil alih PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk pada Juli 2018 melalui fasilitas open account fi-nancing (OAF). OAF merupakan fasilitas pembiayaan melalui anjak piutang yang diberikan BNI kepada Citilink sebesar US$ 13,18 juta dan Sriwijaya Group senilai Rp 236,64 miliar (sekitar US$ 16,73 juta).

Selain berutang kepada Garuda Group, Sriwijaya Air memiliki kewajiban ke sejumlah badan usaha milik negara lain. Asosiasi Serikat Pekerja Sriwijaya Air memperkirakan utang kepada PT Pertamina (Persero) lebih dari Rp 900 miliar.

 


Kebijakan pencopotan mesin itu adalah buntut perselisihan kerja sama manajemen antara Garuda Indonesia Group—melalui PT Citilink Indonesia—dan pemegang saham Sriwijaya Air.


 

Tapi, dalam surat bernomor 037/H10530/2019-S4, September 2019, Pertamina meminta Sriwijaya Group segera melunasi utang sebesar Rp 791,44 miliar. Juru bicara Pertamina, Arya Dwi Paramita, tak bisa memberikan konfirmasi mengenai hal ini karena sifatnya bisnis (business to business).

Ada pula liabilitas kepada Angkasa Pura I (Persero) dan Angkasa Pura II (Persero), perusahaan negara di bidang kebandar-udaraan. Juru bicara Angkasa Pura II, Yado Yarismano, mengatakan kantor cabang perusahaan melayangkan surat peringatan kepada manajemen Sriwijaya Air agar segera memenuhi sisa utang berjalan (outstanding loan). “Sriwijaya melakukan pembayaran secara berkala,” ujarnya tanpa bersedia menyebutkan nilai utang yang dimaksud.

Sedangkan juru bicara Angkasa Pura I, Awaluddin, mengatakan utang berjalan Sriwijaya Air tak sampai Rp 50 miliar. Itu pun sudah diselesaikan pada Maret lalu. Karena itu, ia menambahkan, saat ini perseroan mengelompokkan Sriwijaya ke mitra kategori lancar.

Vice President Corporate Strategy Sriwijaya Air Endang Wahyudarti menjelaskan, perusahaan memiliki kemampuan membayar utang setelah dikelola dengan KSM. Ia menyebutkan, sepanjang Desember 2018 hingga Juni 2019, kewajiban kepada Pertamina telah berkurang sebanyak 16,86 persen. Sedangkan utang kepada BNI turun 2,39 persen dan kepada GMF AeroAsia berkurang 32,48 persen. Secara keseluruhan, kewajiban turun sekitar 18,25 persen.

Juru bicara Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan, mengatakan perseroan mendapat tugas dari Kementerian BUMN untuk membantu mengatasi kesulitan keuangan di tubuh Sriwijaya Air. Pemerintah juga mempertimbangkan 6.000 pekerja yang bernaung di bawah Sriwijaya Group. Berdasarkan pertimbangan itulah kerja sama dibentuk. “Dari total utang, KSM telah membayar Rp 436 miliar,” ucapnya, Jumat, 27 September lalu.

Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi GMF AeroAsia, per 30 Juni 2019, piutang perusahaan di Sriwijaya Air tercatat senilai US$ 52,5 juta. Perusahaan mengenakan bunga atas keterlambatan pembayaran utang sebesar 0,1 persen per hari dari total yang belum dibayarkan.

Ikhsan menjelaskan, perusahaan-perusahaan di bawah Garuda Group telah melayangkan surat kepada Sriwijaya Air. Isinya, meminta komitmen manajemen menyelesaikan utang-utang tersisa. “Sekarang Sriwijaya sudah tidak dalam kendali KSM lagi sehingga kami membutuhkan komitmen bagaimana penyelesaiannya,” tuturnya. Ia menambahkan, kondisi sekarang berbeda dengan ketika maskapai masih di tangan KSM. Saat itu pembayaran utang bisa dimonitor. “Dengan KSM, kami bisa menjamin bahwa utang-utang maskapai ke berbagai BUMN akan bisa dibayar.”

Ke depan, perusahaan di bawah Garuda Group, seperti GMF AeroAsia dan Gapura Angkasa, akan tetap memberikan pelayanan kepada semua pengguna, termasuk Sriwijaya Air. Ikhsan memastikan perseroan tidak akan menutup akses layanan kepada Sriwijaya Group. Tapi Garuda akan meminta mekanisme pembayaran tunai (cash--based). Sebelumnya, Sriwijaya bisa menunda pembayaran selama periode tertentu. Alasannya, tidak ada jaminan kepastian atau kelancaran pembayaran dengan bubarnya KSM. Apalagi tidak ada lagi perwakilan Garuda Group di manajemen maskapai.

RETNO SULISTYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus