Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersengat Kekeringan di Bumi Selatan

Harga susu melambung dipicu penurunan pasokan bahan baku dunia. Puluhan ribu balita perlu diselamatkan.

9 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK biasanya, ibu-ibu di berbagai kota dalam sebulan terakhir ini getol memborong susu formula. Di Solo, Jawa Tengah, misalnya, seorang ibu mencangking pulang empat kaleng susu 900 gram buat anaknya yang masih berumur tiga tahun. Padahal, dalam sebulan biasanya paling banter cuma butuh dua kaleng.

Di Kediri, Jawa Timur, lonjakan pembelian susu membuat beberapa toko swalayan terpaksa membatasi pembelian. ”Hanya boleh membeli maksimal tiga kaleng tiap merek,” begitu pengumuman yang terpampang di sebuah toko. Di Madiun, juga Jawa Timur, pasokan dari pedagang grosir ke pengecer bahkan sempat tersendat. Biasanya, barang dikirimkan saban Sabtu, tapi hingga akhir Juni lalu tidak muncul. Padahal, stok di toko sudah habis.

Bukan lantaran lagi tajir (istilah anak muda untuk bilang kaya), para ibu ini lantas memborong susu. Penyebabnya adalah harga asupan pokok para balita ini sudah sebulan terakhir merangkak naik 5–7 persen. Merebaknya rumor bahwa harga akan terus membubung membuat mereka pun tambah panik. Inilah kali pertama persoalan susu mengguncang Indonesia.

Untuk meredamnya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Selasa pagi pekan lalu, buru-buru mengumpulkan para pengusaha susu. Ada Industri Pengolah Susu, Asosiasi Produsen Makanan Bayi, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, juga pedagang retail skala besar seperti Carrefour, Giant, dan Makro.

Sehari sebelumnya, mereka telah dipanggil ke Departemen Perindustrian. Rapat dipimpin Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan, Benny Wahyudi. Inti pertemuan sama, pemerintah menanyakan kenaikan harga susu, pasokan, dan stok bahan baku. ”Intinya, Pak Benny bertanya kenapa soal kenaikan harga susu bisa sampai heboh begini,” kata seorang peserta rapat yang tidak bersedia disebut namanya.

Sekretaris Perusahaan PT Sari Husada, Yenny Rahmawati, mengatakan bahwa harga susu produksinya memang dinaikkan 4 persen sejak April lalu. Kebijakan itu terpaksa diambil akibat kenaikan harga bahan baku impor dari Australia. ”Malah harga dari sana sudah naik sejak Desember 2006 dari biasanya US$ 2.100 menjadi US$ 4.500 per ton,” ujarnya.

Mengimpor bahan baku seperti laktosa, butter milkpowder, dan skimmed milkpowder, menurut Yenny, tetap menjadi pilihan perusahaan, sebab ada jaminan kualitas dan kuantitas. Susu segar produksi lokal sejatinya juga bisa diolah menjadi bahan baku, tetapi biaya pengolahannya lebih mahal ketimbang impor langsung. Mau tak mau, impor tetap jadi pilihan. Konsekuensinya, ya menaikkan harga eceran produk.

Gonjang-ganjing kenaikan harga susu segar dunia bermula dari bencana kekeringan yang melanda belahan bumi selatan sejak tahun lalu. Australia, pemasok 70 persen bahan baku susu Indonesia, mengalami kekeringan terburuk dalam 100 tahun terakhir. Akibatnya, produksi susu cairnya anjlok 11 persen menjadi 9 miliar liter setahun.

Negeri pengekspor susu terbesar ketiga di dunia—setelah Selandia Baru dan Uni Eropa—itu pun mengurangi suplai ke pasar dunia. Sedangkan pasokan dari Uni Eropa merosot lantaran kebijakan subsidi ekspor bahan baku susu dicabut. Itu sebabnya, meski produksinya meningkat 24,5 persen, Selandia Baru tak mampu memenuhi lonjakan permintaan dunia, terutama dari Cina, Asia Tenggara, dan Timur Tengah.

Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, Thomas Dharmawan, potensi kenaikan harga bahan baku akibat kekeringan, sesungguhnya, telah tercium sejak akhir tahun lalu. Dalam diskusi Kamar Dagang dan Industri, Oktober 2006, diperkirakan harga pangan seperti gandum dan kedelai pun turut meroket.

Makanya, Thomas saat itu mengusulkan langkah antisipasi kepada pemerintah, misalnya dengan membuka keran impor bahan baku susu dari negara lain. ”Jangan sampai Australia kekeringan seperti sekarang, kita kelabakan. Ini artinya tidak ada ketahanan pangan,” ujarnya.

Sayangnya, pemerintah tak cukup tanggap. Namun, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Ardiansyah Parman, optimistis pasokan dalam negeri tak akan kekurangan. Apalagi konsumsi per kapita Indonesia hanya 7–8 kilogram setahun. ”Diharapkan harga dunia akan turun dengan berakhirnya kekeringan di Australia,” katanya.

Meski begitu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari tampaknya tak mau ambil risiko. Ia berencana membagikan 87 ton makanan penunjang ASI (bubur) dan 128 ton biskuit melalui 3.673 posyandu. Jumlah itu diperkirakan cukup untuk menutup kebutuhan 64 ribu balita usia 6–24 bulan dari keluarga berpendapatan rendah selama 30 hari.

Retno Sulistyowati, Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus