PARA karyawan Bank of Tokyo boleh merasa senang awal April ini.
Terhitung sejak tanggal itu, gaji para karyawan non staf bank
asing itu, sesuai dengan tuntutan SB-nya, akhirnya dinaikkan
dengan 35%. Ini merupakan langkah maju bagi bank Jepang itu,
sekalipun tak sampai berlaku surut sejak awal Januari lalu.
Bank-bank asing lainnya, termasuk yang Amerika, belum lagi
mengikuti jejak Bank of Tokyo. Mereka umumnya sudah menaikkan
gaji para karyawan non stafnya, tapi cuma antara 12-15%. Maka
tuntutan para SB pun masih berlangsung. Pekan lalu tuntutan
minta tambah gaji, dengan memasang plakat dan stiker, terjadi di
Algemene Bank Nederland, setelah beberapa waktu sebelumnya
timbul di berbagai bank asing di Jakarta.
Tapi wajarkah sebetulnya tuntutan itu yang timbul setelah
Kenop-15? Kalau saja orang menyimak neraca rugi laba berbagai
bank asing, apa yang dipinta buruhnya itu memang masuk akal.
Laporan rugi-laba bank-bank asing itu untuk periode sampai 31
Desember 1978 menunjukkan bahwa sebagian besar laba mereka
terjadi pada semester kedua, periode di mana devaluasi rupiah
terjadi.
Ambillah laba The Hongkong and Shanghai Banking Corporation,
yang selama 1978 mencapai Rp 1,9 milyar. Itu berarti tiga kali
lipat labanya pada 1977. Dari jumlah laba itu, Rp 1,5 milyar
diperolehnya selama setengah tahun kedua.
Banyak Yang Lari
Selama tengah tahun kedua itu pula The Chartered Bank yang
berinduk di London meraih laba sebelum pajak Rp 1,4 milyar,
dibandingkan laba Rp 1,9 milyar yang diperolehnya untuk seluruh
1977. Tapi yang agaknya paling menyolok dalam pengumpulan laba
pada 1978 adalah Citibank. Laba kotornya pada 1978 mencapai Rp
5,9 milyar. Setahun sebelumnya masih Rp 2 milyar. Enam bulan
pertama 1978 laba Citibank baru Rp 1,5 milyar. Tapi pada
setengah tahun kedua melonjak menjadi Rp 4,4 milyar. Hanya Bank
of Tokyo yang tampaknya tidak mengalami kejutan laba seperti
yang lain. Namun begitu sepertiga dari laba bank Jepang itu
sebesar Rp 2,7 milyar terjadi pada kwartal terakhir 1978, di
bulan-bulan Kenop itulah.
Faktor utama di belakang meningkatnya laba bank-bank asing ini
selama semester dua 1978 adalah pendapatannya dari transaksi
devisa. Untuk Citibank misalnya, pendapatannya dari transaksi
devisa sampai Juni 1978 baru Rp 296 juta, tapi enam bulan
berikutnya melonjak hampir Rp 4 milyar. Ini dimungkinkan karena
pada saat devaluasi terjadi, persediaan valuta asing mereka
cukup besar, sedangkan jumlah yang diborong oleh publik yang
panik dengan kurs baru juga cukup besar.
Laba mereka terus akan meningkat cepat selama 1979. Tapi kali
ini berasal dari sumber lain. Kredit yang diberikan bank-bank
asing kepada nasabahnya sejak 15 Nopember juga melonjak, dan
pertambahannya relatif jauh lebih besar dari bank-bank milik
pemerintah sekalipun.
Selama empat bulan antara akhir Oktober 1978 dan akhir Pebruari
1979, kredit yang diberikan bank-bank asing bertambah Rp 51
milyar, jumlah yang hampir sama dengan kredit yang mereka
keluarkan untuk seluruh 1978. Dibanding pada posisi akhir
Oktober 1978, maka kredit yang mereka berikan sampai akhir
Pebruari berarti naik 33%. Sekalipun volume kredit bank-bank
pemerintah lebih dari 16 kali lipat volume kredit bank-bank
asing di Jakarta, namun pada waktu yang sama, kredit yang
diberikan bank-bank pemerintah hanya naik dengan 3%,
sepersepuluh tingkat kenaikan kredit bank-bank asing.
Fakta ini menunjukkan bahwa segera sesudah devaluasi, pemerintah
lewat bank-banknya melakukan kebijaksanaan kredit yang ketat
untuk mengerem inflasi. Di lain pihak, dunia usaha memerlukan
penambahan modal kerja yang besar, terutama mereka yang harus
menutup transaksi impor. Tapi pengusaha-pengusaha itu tidak bisa
memperoleh tambahan kredit dari bank-bank pemerintah.
Kemungkinan besar, banyak di antara mereka yang lari
meninggalkan bank pemerintah dan menjadi nasabah bank asing atau
bahkan bank swasta nasional.
Agak di luar dugaan, bank swasta nasional yang kecil itu sanggup
memenuhi permintaan tambahan modal kerja nasabahnya. Kredit yang
diberikannya sampai akhir Pebruari 1979 meningkat Rp 36 milyar,
atau 10% dibanding posisi pada akhir Oktober 1978. Dengan kata
lain ketika bank-bank pemerintah menutup pintu untuk nasabahnya
yang memerlukan tambahan kredit, bankbank asing dan swasta
memberi uluran tangan kepada nasabahnya. Tapi karena volume
kredit mereka masih terlalu kecil dibanding dengan seluruh
volume kredit yang beredar, peranan mereka dalam mengatasi
kemacetan kegiatan usaha sesudah devaluasi tidak begitu terasa.
Tapi bagi mereka yang sudah berhubungan dengan bank asing atau
swasta, sedikitnya mereka bisa merasakan apa artinya menjadi
nasabah bank non-pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini