Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berkah Buat Bank Asing

Kenop-15 ternyata memberi berkah buat bank asing dan laba mereka diperkirakan akan cepat meningkat selama 1979. Sumber utama pendapatannya dari transaksi devisa. (eb)

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA karyawan Bank of Tokyo boleh merasa senang awal April ini. Terhitung sejak tanggal itu, gaji para karyawan non staf bank asing itu, sesuai dengan tuntutan SB-nya, akhirnya dinaikkan dengan 35%. Ini merupakan langkah maju bagi bank Jepang itu, sekalipun tak sampai berlaku surut sejak awal Januari lalu. Bank-bank asing lainnya, termasuk yang Amerika, belum lagi mengikuti jejak Bank of Tokyo. Mereka umumnya sudah menaikkan gaji para karyawan non stafnya, tapi cuma antara 12-15%. Maka tuntutan para SB pun masih berlangsung. Pekan lalu tuntutan minta tambah gaji, dengan memasang plakat dan stiker, terjadi di Algemene Bank Nederland, setelah beberapa waktu sebelumnya timbul di berbagai bank asing di Jakarta. Tapi wajarkah sebetulnya tuntutan itu yang timbul setelah Kenop-15? Kalau saja orang menyimak neraca rugi laba berbagai bank asing, apa yang dipinta buruhnya itu memang masuk akal. Laporan rugi-laba bank-bank asing itu untuk periode sampai 31 Desember 1978 menunjukkan bahwa sebagian besar laba mereka terjadi pada semester kedua, periode di mana devaluasi rupiah terjadi. Ambillah laba The Hongkong and Shanghai Banking Corporation, yang selama 1978 mencapai Rp 1,9 milyar. Itu berarti tiga kali lipat labanya pada 1977. Dari jumlah laba itu, Rp 1,5 milyar diperolehnya selama setengah tahun kedua. Banyak Yang Lari Selama tengah tahun kedua itu pula The Chartered Bank yang berinduk di London meraih laba sebelum pajak Rp 1,4 milyar, dibandingkan laba Rp 1,9 milyar yang diperolehnya untuk seluruh 1977. Tapi yang agaknya paling menyolok dalam pengumpulan laba pada 1978 adalah Citibank. Laba kotornya pada 1978 mencapai Rp 5,9 milyar. Setahun sebelumnya masih Rp 2 milyar. Enam bulan pertama 1978 laba Citibank baru Rp 1,5 milyar. Tapi pada setengah tahun kedua melonjak menjadi Rp 4,4 milyar. Hanya Bank of Tokyo yang tampaknya tidak mengalami kejutan laba seperti yang lain. Namun begitu sepertiga dari laba bank Jepang itu sebesar Rp 2,7 milyar terjadi pada kwartal terakhir 1978, di bulan-bulan Kenop itulah. Faktor utama di belakang meningkatnya laba bank-bank asing ini selama semester dua 1978 adalah pendapatannya dari transaksi devisa. Untuk Citibank misalnya, pendapatannya dari transaksi devisa sampai Juni 1978 baru Rp 296 juta, tapi enam bulan berikutnya melonjak hampir Rp 4 milyar. Ini dimungkinkan karena pada saat devaluasi terjadi, persediaan valuta asing mereka cukup besar, sedangkan jumlah yang diborong oleh publik yang panik dengan kurs baru juga cukup besar. Laba mereka terus akan meningkat cepat selama 1979. Tapi kali ini berasal dari sumber lain. Kredit yang diberikan bank-bank asing kepada nasabahnya sejak 15 Nopember juga melonjak, dan pertambahannya relatif jauh lebih besar dari bank-bank milik pemerintah sekalipun. Selama empat bulan antara akhir Oktober 1978 dan akhir Pebruari 1979, kredit yang diberikan bank-bank asing bertambah Rp 51 milyar, jumlah yang hampir sama dengan kredit yang mereka keluarkan untuk seluruh 1978. Dibanding pada posisi akhir Oktober 1978, maka kredit yang mereka berikan sampai akhir Pebruari berarti naik 33%. Sekalipun volume kredit bank-bank pemerintah lebih dari 16 kali lipat volume kredit bank-bank asing di Jakarta, namun pada waktu yang sama, kredit yang diberikan bank-bank pemerintah hanya naik dengan 3%, sepersepuluh tingkat kenaikan kredit bank-bank asing. Fakta ini menunjukkan bahwa segera sesudah devaluasi, pemerintah lewat bank-banknya melakukan kebijaksanaan kredit yang ketat untuk mengerem inflasi. Di lain pihak, dunia usaha memerlukan penambahan modal kerja yang besar, terutama mereka yang harus menutup transaksi impor. Tapi pengusaha-pengusaha itu tidak bisa memperoleh tambahan kredit dari bank-bank pemerintah. Kemungkinan besar, banyak di antara mereka yang lari meninggalkan bank pemerintah dan menjadi nasabah bank asing atau bahkan bank swasta nasional. Agak di luar dugaan, bank swasta nasional yang kecil itu sanggup memenuhi permintaan tambahan modal kerja nasabahnya. Kredit yang diberikannya sampai akhir Pebruari 1979 meningkat Rp 36 milyar, atau 10% dibanding posisi pada akhir Oktober 1978. Dengan kata lain ketika bank-bank pemerintah menutup pintu untuk nasabahnya yang memerlukan tambahan kredit, bankbank asing dan swasta memberi uluran tangan kepada nasabahnya. Tapi karena volume kredit mereka masih terlalu kecil dibanding dengan seluruh volume kredit yang beredar, peranan mereka dalam mengatasi kemacetan kegiatan usaha sesudah devaluasi tidak begitu terasa. Tapi bagi mereka yang sudah berhubungan dengan bank asing atau swasta, sedikitnya mereka bisa merasakan apa artinya menjadi nasabah bank non-pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus