Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

"Paket" Indonesia Lumayan Gede

Sidang OPEC di Jenewa menunjukan bahwa harga minyak di pasaran tetap ada di tangan penjual dan Indonesia menaikkan harga minyaknya. Produksi rata-rata Indonesia 1,6 juta barel seharinya. (eb)

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALI Ardalan, Menteri Perekonomian dan Keuangan Iran yang sekarang kabarnya tak banyak bicara selama sidang anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC) di Jenewa pekan lalu. Tapi Hasan Nazih, direktur pengelola National Iran Oil Co. yang mendampinginya dalam pertemuan dua hari itu (26-27 Maret), diam-diam mulai cepat juga bicara soal dunia minyak. Nazih berhasil meyakinkan sidang bahwa negerinya yang baru saja dilanda revolusi mulai bulan depan akan mampu memompa 4 juta barrel sehari, dan sekitar 3 juta barrel akan disediakan untuk ekspor. Namun itu tak berarti kenaikan harga berhasil direm. Dan sidang yang sedianya dimaksudkan bersifat konsultatif, secara aklamasi disetujui menjadi sidang OPEC luar biasa. Kesempatan baik ini tak disia-siakan ke-13 anota OPEC, terutama yang tergolong sayap 'keras'. Adalah Aljazair, Lybia dan Irak yang mendesak agar harga dinaikkan dengan 30øh. Tapi serta merta ditolak wakil dari Uni Emirat Arab. Zaki Yamani, Menteri Minyak Arab Saudi yang berwibawa itu dikabarkan lebih banyak diam selama pertemuan luar biasa itu. "Tapi kalau Emirat Arab bersuara, orang pun tahu itu pula yang menjadi suara Saudi," kata Wijarso, pimpinan delegasi Indonesia ke Jenewa. Tapi Arab Saudi ternyata tak membendung kenaikan itu sepenuhnya. Dan sidang pun, setelah berdebat dua hari, akhirnya menyetujui kenaikan sebanyak 9%, menjadi US$ 14,54 per barrel untuk harga patokan minyak ringan Arab Saudi (Arabian Light Crude), berlaku sejak 1 April ini. Tapi di samping itu sidang juga memutuskan suatu harga tambahan (surcharge) yang boleh dipasang para eksportir minyak itu, dan berkisar antara 55 sen dollar sampai $ 4 se barrel, di atas harga patokan tadi. Yang Terpukul Keputusan yang membolehkan tambahan harga itu memang masuk akal. Akibat krisis minyak Iran ramailah pasaran spot, yakni pasaran minyak yang di luar kontrak. Beberapa maskapai minyak asing pun tak menyia-nyiakan suasana yang serba 'mumpung' itu, yang membuat harga se barrel minyak dalam spot market membubung antara $ 18-$ 20. Maka untuk mencegahnya, sidang luar biasa di Jenewa itu menyetujui adanya tambahan harga. Apakah para anggota OPEC dan maskapai-maskapai minyak asing akan mematuhinya masih harus dilihat dalam waktu dekat ini. Tapi bagaimana dengan Indonesia yang memang tak punya pasaran spot? Menteri Pertambangan dan Enerji Dr. Subroto kepada pers pekan lalu tampaknya tak ingin mengesankan bahwa Indonesia kali ini sungguh memanfaatkan hasil keputusan Jenewa. "Indonesia tak akan melakukan tambahan harga itu," kata Subroto. Kenapa tidak? "Karena kenaikan harga yang kita tentukan sudah merupakan suatu paket." Paket yang dimaksudkan Subroto kali ini lumayan juga besarnya. Minyak Minas, sebagai patokan harga minyak mentah Indonesia ternyata naik dengan 12,58%, dari $ 13,90 perbarrel menjadi $ 15,65 per barrel. Produksi rata-rata Indonesia sehari masih bertahan 1,6 juta barrel, dan sekitar 1,1 juta barrel dari jumlah itu diekspor. Dan jenis Minas yang produksinya sekitar 700.000 barrel sehari, mewakili 50% ekspor minyak mentah Indonesia. Selebihnya yang menonjol adalah minyak mentah Attaka, termasuk Bekapai dan Badak yang masuk kategori Attaka, naik dari $ 14.95 menjadi $ 17 per barrel. Lalu Arjuna naik dengan $ 2,05 sebarrel, Cinta punya perusahaan IIAPCO naik dengan $ 1.70 per barrel dan jenis Walio yang naik dari $ 13,65 menjadi $ 15,40 se barrel. Dibandingkan dengan sebelumnya, di mana Minas crude cuma naik 2,58%, dari $ 13,55 menjadi $ 13,90 per barrel, kenaikan yang sekarang memang jauh lebih besar. Namun begitu beberapa pengamat beranggapan sesungguhnya yang harus diambil sebagai patokan oleh para penentu harga minyak Indonesia bukannya $ 13,90 yang berlaku kwartal pertama tahun ini (1 Januari-31 Maret). Tapi dari harga Oktober yang merupakan tahap keempat dan terakhir dari keputusan OPEC di Abu Dhabi. Kenaikan bertahap sesuai dengan keputusan Abu Dhabi adalah naik 5% untuk kwartal pertama, disusul kenaikan 3,8% untuk kwartal berikutnya yang berlaku 1 April, lalu 2,3% pada 1 Juli dan akhirnya 2,7% pada 1 Oktober. "Kalau ukuran Oktober yang dipakai, maka kenaikan harga patokan Indonesia bukan $ 15,65, tapi $ 15,77 se barrel untuk Minas crude," kata sebuah sumber di Migas. Dengan kenaikan ekstra yang sekarang pun bukan mustahil akan membuat jengkel pembeli di Jepang dan Pantai Barat AS. Seperti kata Menperdagkop Radius Prawiro pekan lalu, hasil OPEC di Jenewa akan membuat "impor minyak Masarakat Ekonomi Eropa naik dengan $ 5 milyar, pendapatan ekspornya menurun dengan $ 2,5 milyar, inflasi naik dengan 0,45% dan pertumbuhan ekonominya akan turun dengan 0,4%." Tapi yang pasti lebih terpukul adalah negara-negara berkembang yang tak punya minyak. Bagi Asean, yang jelas akan menjerit adalah Muangthai yang barusan saja dibantu Indonesia dan Filipina. Barangkali itu pula sebabnya Indonesia masih membatasi kenaikan harganya secara tidak maksimal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus