ALI Ardalan, Menteri Perekonomian dan Keuangan Iran yang
sekarang kabarnya tak banyak bicara selama sidang anggota
negara-negara pengekspor minyak (OPEC) di Jenewa pekan lalu.
Tapi Hasan Nazih, direktur pengelola National Iran Oil Co. yang
mendampinginya dalam pertemuan dua hari itu (26-27 Maret),
diam-diam mulai cepat juga bicara soal dunia minyak. Nazih
berhasil meyakinkan sidang bahwa negerinya yang baru saja
dilanda revolusi mulai bulan depan akan mampu memompa 4 juta
barrel sehari, dan sekitar 3 juta barrel akan disediakan untuk
ekspor.
Namun itu tak berarti kenaikan harga berhasil direm. Dan sidang
yang sedianya dimaksudkan bersifat konsultatif, secara aklamasi
disetujui menjadi sidang OPEC luar biasa. Kesempatan baik ini
tak disia-siakan ke-13 anota OPEC, terutama yang tergolong
sayap 'keras'. Adalah Aljazair, Lybia dan Irak yang mendesak
agar harga dinaikkan dengan 30øh. Tapi serta merta ditolak wakil
dari Uni Emirat Arab. Zaki Yamani, Menteri Minyak Arab Saudi
yang berwibawa itu dikabarkan lebih banyak diam selama pertemuan
luar biasa itu. "Tapi kalau Emirat Arab bersuara, orang pun tahu
itu pula yang menjadi suara Saudi," kata Wijarso, pimpinan
delegasi Indonesia ke Jenewa.
Tapi Arab Saudi ternyata tak membendung kenaikan itu sepenuhnya.
Dan sidang pun, setelah berdebat dua hari, akhirnya menyetujui
kenaikan sebanyak 9%, menjadi US$ 14,54 per barrel untuk harga
patokan minyak ringan Arab Saudi (Arabian Light Crude), berlaku
sejak 1 April ini. Tapi di samping itu sidang juga memutuskan
suatu harga tambahan (surcharge) yang boleh dipasang para
eksportir minyak itu, dan berkisar antara 55 sen dollar sampai $
4 se barrel, di atas harga patokan tadi.
Yang Terpukul
Keputusan yang membolehkan tambahan harga itu memang masuk akal.
Akibat krisis minyak Iran ramailah pasaran spot, yakni pasaran
minyak yang di luar kontrak. Beberapa maskapai minyak asing pun
tak menyia-nyiakan suasana yang serba 'mumpung' itu, yang
membuat harga se barrel minyak dalam spot market membubung
antara $ 18-$ 20. Maka untuk mencegahnya, sidang luar biasa di
Jenewa itu menyetujui adanya tambahan harga. Apakah para anggota
OPEC dan maskapai-maskapai minyak asing akan mematuhinya masih
harus dilihat dalam waktu dekat ini. Tapi bagaimana dengan
Indonesia yang memang tak punya pasaran spot?
Menteri Pertambangan dan Enerji Dr. Subroto kepada pers pekan
lalu tampaknya tak ingin mengesankan bahwa Indonesia kali ini
sungguh memanfaatkan hasil keputusan Jenewa. "Indonesia tak akan
melakukan tambahan harga itu," kata Subroto. Kenapa tidak?
"Karena kenaikan harga yang kita tentukan sudah merupakan suatu
paket."
Paket yang dimaksudkan Subroto kali ini lumayan juga besarnya.
Minyak Minas, sebagai patokan harga minyak mentah Indonesia
ternyata naik dengan 12,58%, dari $ 13,90 perbarrel menjadi $
15,65 per barrel. Produksi rata-rata Indonesia sehari masih
bertahan 1,6 juta barrel, dan sekitar 1,1 juta barrel dari
jumlah itu diekspor. Dan jenis Minas yang produksinya sekitar
700.000 barrel sehari, mewakili 50% ekspor minyak mentah
Indonesia.
Selebihnya yang menonjol adalah minyak mentah Attaka, termasuk
Bekapai dan Badak yang masuk kategori Attaka, naik dari $ 14.95
menjadi $ 17 per barrel. Lalu Arjuna naik dengan $ 2,05
sebarrel, Cinta punya perusahaan IIAPCO naik dengan $ 1.70 per
barrel dan jenis Walio yang naik dari $ 13,65 menjadi $ 15,40 se
barrel.
Dibandingkan dengan sebelumnya, di mana Minas crude cuma naik
2,58%, dari $ 13,55 menjadi $ 13,90 per barrel, kenaikan yang
sekarang memang jauh lebih besar. Namun begitu beberapa pengamat
beranggapan sesungguhnya yang harus diambil sebagai patokan oleh
para penentu harga minyak Indonesia bukannya $ 13,90 yang
berlaku kwartal pertama tahun ini (1 Januari-31 Maret). Tapi
dari harga Oktober yang merupakan tahap keempat dan terakhir
dari keputusan OPEC di Abu Dhabi.
Kenaikan bertahap sesuai dengan keputusan Abu Dhabi adalah naik
5% untuk kwartal pertama, disusul kenaikan 3,8% untuk kwartal
berikutnya yang berlaku 1 April, lalu 2,3% pada 1 Juli dan
akhirnya 2,7% pada 1 Oktober. "Kalau ukuran Oktober yang
dipakai, maka kenaikan harga patokan Indonesia bukan $ 15,65,
tapi $ 15,77 se barrel untuk Minas crude," kata sebuah sumber di
Migas.
Dengan kenaikan ekstra yang sekarang pun bukan mustahil akan
membuat jengkel pembeli di Jepang dan Pantai Barat AS. Seperti
kata Menperdagkop Radius Prawiro pekan lalu, hasil OPEC di
Jenewa akan membuat "impor minyak Masarakat Ekonomi Eropa naik
dengan $ 5 milyar, pendapatan ekspornya menurun dengan $ 2,5
milyar, inflasi naik dengan 0,45% dan pertumbuhan ekonominya
akan turun dengan 0,4%."
Tapi yang pasti lebih terpukul adalah negara-negara berkembang
yang tak punya minyak. Bagi Asean, yang jelas akan menjerit
adalah Muangthai yang barusan saja dibantu Indonesia dan
Filipina. Barangkali itu pula sebabnya Indonesia masih membatasi
kenaikan harganya secara tidak maksimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini