IAN Imang berangkat ke Malang dengan perasaan jengkel. Perhatian
PASI Jaya, katanya, "sangat kurang." Pelari asal Larantuka,
Flores, yang berusia 27 terseblt, sempat mengancam di depan
Asro, pelatihnya dan beberapa pelari lain untuk tidak berangkat
ke Malang kalau isteri dan seorang anaknya tidak diperhatikan.
Seminggu sebelum mengikuti lomba marathon di Malang, ia
mengharapkan uang saku. Maklum, ia masih penganggur. "Uang itu
'kan bisa saya gunakan untuk belanja keluarga saya. Lagi pula
sudah saatnya saya menambah tenaga dengan makanan berprotein,"
katanya. Uang itu tak diperolehnya.
Ian Imang tadinya merajai lomba lari di Ibukota. Seluruh
hidupnya ia gantungkan pada sepeda motor yang ia peroleh dari
hadiah juara pertama lomba lari Proklamathon (45 km) tahun lalu.
Sepeda motor itu ia ojekkan di Tg. Priok. Dari situlah isi
periuk nasinya. "Mula-mula saya coba tarik sendiri. Tapi eh ....
kejang kaki saya. Sekarang saudara saya yang narik," katanya.
Mendengar kabar pelari Jawa Timur mendapat biaya Rp 1 juta
untuk sebulan, ia tambah menjadi kesal. Para pelari Jakarta
tidak masuk TC, bahkan mutu makanan mereka saja tak mendapat
perhatian.
Untuk menghadapi Malang, Ian sudah mengadakan persiapan yang
cukup berat, termasuk ikut dalam lomba lari 28 km, Pebruari
lalu, yang ia juarai. Di bawah asuhan pelatih, program
latihannya boleh dikatakan amat ketat. Kadang-kadang ia absen,
karena ongkos transpor tak ada. Namun ia sempat membual "akan
memboyong piala kejurnas marathon" ke Jakarta. Ternyata ia
gagal.
Pelari Jakarta yang berjumlah nampaknya agak meleset dalam
sistim latihan yang mereka jalani. Hampir semua hari latihan
dihabiskan di track. Sedikit sekali di bukit-bukit untuk
menghadapi medan Malang yang berjalan rusak dan berbukit-bukit.
Pernah ada rencana mereka untuk berlatih di Sukabumi, tapi
ternyata tak terlaksana. "Tak ada ongkos. Panitia tidak bisa
menyediakan bus," kata pelatih Asro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini