Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM ruang bursa, siapa tak kenal kelompok usaha Lippo? Kejelian konglomerasi yang dibangun keluarga Mochtar Riady ini melihat peluang tak ubahnya kepekaan hiu mencium darah. Lihatlah pekan lalu: ketika sektor properti mulai menggeliat, kelompok Lippo bergegas mendongkrak kapitalisasi pasar perusahaan propertinya.
Caranya? Lippo menggabungkan delapan anak perusahaan di sektor properti ke satu biduk, yakni Lippo Karawaci. Tujuh perusahaan lainnya adalah Lippo Land Development (pengembang properti komersial), Aryaduta Hotels (hotel di Jakarta), Siloam Healthcare (rumah sakit), Kartika Abadi Sejahtera (belum beroperasi, punya saham di Gowa Makassar Tourism Development), Sumber Waluyo (anak perusahaan Siloam, pemilik rumah sakit di Surabaya), Ananggadipa Berkat Mulia (perusahaan investasi), dan Metropolitan Tatanugraha (hotel di Makassar).
Presiden Direktur Lippo Karawaci, Tjokro Libianto, mengungkapkan bahwa perusahaannya terpilih menjadi induk karena memiliki lahan terbanyak dan nilai aset terbesar (lihat tabel). Jika Lippo Karawaci yang menjadi anak perusahaan, biaya merger bisa membengkak mengikuti naiknya ongkos yang harus dibayar untuk melakukan balik nama kepemilikan tanah. Setelah merger, nilai aset Lippo Karawaci mencapai Rp 4,56 triliun, naik empat kali dibandingkan dengan sebelum penggabungan.
Kendati asetnya naik, toh hajatan Lippo tetap menyedot dana besar, karena Lippo Karawaci, Lippo Land, Aryaduta, dan Siloam, yang akan merger, merupakan perusahaan publik. Dalam peraturan bursa, pemegang saham publik yang tak menyetujui rencana penggabungan itu berhak menjual sahamnya ke kelompok Lippo sebagai pemegang saham mayoritas. Harganya sesuai dengan harga saham tertinggi selama 90 hari terakhir. Penasihat Keuangan Lippo, Imelda Arismunandar, seperti dikutip Koran Tempo, memberikan ancar-ancar, biaya pembelian kembali saham itu mencapai Rp 400 miliar.
Dengan biaya sebesar itu, apa yang diincar Lippo dengan merger ini? "Kita ingin meningkatkan kapitalisasi pasar," kata Tjokro. Kapitalisasi pasar yang kecil, yang berbuntut pada tidak likuidnya perdagangan, disebut Tjokro sebagai penyebab hilangnya selera investor terhadap saham properti. Sekadar perbandingan, nilai kapitalisasi pasar semua perusahaan properti di bursa per 24 Mei 2004 hanya Rp 9,4 triliun, jauh di bawah sektor manufaktur yang mencapai Rp 173 triliun.
Namun rencana merger ini tak bebas dari sorotan. Seorang pelaku pasar modal yang mencermati Lippo menengarai "ada udang di balik merger". Di bursa saham, penggabungan antara perusahaan publik dan perusahaan nonpublik, seperti yang terjadi dalam kelompok properti Lippo, tak jarang mengundang konotasi negatif. Istilah yang paling sering dipakai adalah backdoor listing?masuk bursa tidak secara langsung tapi melalui perusahaan publik.
Merger semacam ini rawan ditumpangi usaha menggelembungkan nilai perusahaan nonpublik. Meski keempat perusahaan properti Lippo yang nonpublik telah dinilai konsultan independen, sumber Tempo meragukan kewajaran nilai tersebut. "Kami tidak akan melakukan main-main seperti itu," kata Tjokro. Selain meningkatkan kapitalisasi, menurut Tjokro, Lippo ingin mendongkrak pendapatan melalui sinergi kedelapan perusahaan.
Alasan itu dinilai masuk akal oleh pengamat properti Panangian Simanungkalit. "Ini strategi yang berbau defensif," kata Panangian. Apalagi, setelah krisis moneter mengamuk, kelompok Lippo hampir tak menyentuh proyek properti baru. Bandingkan, misalnya, dengan kelompok usaha Sinar Mas, yang terus mengembangkan bisnis properti komersial di tengah badai krisis.
Kini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil di angka Rp 8.000-Rp 9.000, laju inflasi bertahan di bawah 7 persen, dan bisnis properti memang sedang booming. Tahun lalu, investasi di sektor properti tercatat Rp 46,8 triliun, naik 78 persen dari tahun sebelumnya. Tak mengherankan jika Lippo tergoda melayari kembali bisnis properti?kali ini hanya dengan satu biduk.
Thomas Hadiwinata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo