Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPINTAR-pintarnya menyimpan bangkai, baunya akhirnya tercium juga. Peribahasa itu agaknya berlaku untuk Bank Asiatic. Hanya satu setengah bulan setelah ditutup Bank Indonesia, mulai terkuak sebab-musabab ambruknya bank yang berkantor pusat di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu.
Semula banyak pihak menduga, Bank Asiatic ambruk lantaran terseret petaka Bank Dagang Bali (BDB). Disebut-sebut, Bank Asiatic banyak menyalurkan kredit yang duitnya sebetulnya mengalir ke BDB. Maklum, pemilik kedua bank mempunyai hubungan keluarga karena pernikahan anak mereka. Namun dugaan itu ternyata meleset.
Bank Asiatic rontok karena penyaluran kredit yang sembrono, yang tak ada kaitannya dengan BDB. Sebuah dokumen hasil pemeriksaan BI yang diperoleh TEMPO menunjukkan, Bank Asiatic ambruk karena digelayuti kredit macet yang melanda 41 debitor. Anehnya, bisnis para debitor itu seragam, yakni jual-beli mobil dengan membuka showroom.
Total kredit modal kerja yang dikucurkan kepada mereka mencapai Rp 485,4 miliar, dan mulai macet pada Maret 2003. Lantaran macet dan tak tersedia provisi yang cukup, rasio kecukupan modal Bank Asiatic pun anjlok menjadi minus 117 persen. Prinsip kehati-hatian, yang mestinya menjadi patokan dalam penyaluran kredit, di Bank Asiatic agaknya cuma disimpan di dalam laci.
Bank Asiatic, misalnya, tak pernah menganalisis secara mendalam segmen pasar showroom mobil, dan belum cukup pengalaman dalam pemberian kredit kepada sektor usaha tersebut. Yang lebih aneh, account officer (AO) dan pimpinan kantor pusat operasional Bank Asiatic sama sekali tak mengetahui identitas, status, dan kondisi usaha debitor. Bahkan Direktur Utama Asiatic, F.B. Surendro, tak mengenal dekat pemilik dan pengurus showroom tersebut. "Semua debitor diperoleh dari referensi direktur kredit yang merupakan orang kepercayaan Agus Budiana, menantu Tong Muk Keung, pemilik Bank Asiatic," kata sumber TEMPO.
Pengurus Bank Asiatic juga tak mengetahui berbagai urusan sepele seperti alamat dan nomor telepon debitor. Kalaupun ada alamat, ternyata alamat itu berbeda dengan alamat debitor sesuai dengan data nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan tanda daftar perusahaan (TDP). Pemeriksaan secara acak yang dilakukan BI terhadap alamat berdasar NPWP/TDP menunjukkan bahwa debitor tak pernah berlokasi usaha di tempat tersebut.
Dalam proses pemberian kredit, account officer tak pernah mengunjungi lokasi usaha pengutang dan tak pernah menemui mereka, sehingga tak mengetahui tujuan pemberian kredit dan aktivitas usahanya. Semua data mengenai profil debitor diperoleh dari atas, dan usul beserta analisis pemberian kredit dilakukan sesuai dengan perintah yang bersangkutan. Pemantauan usaha setelah pencairan kredit juga tak dilakukan Bank. Hal ini tampak dari tidak adanya laporan aktivitas usaha debitor, juga realisasi penggunaan dana dan pemantauan berkala terhadap agunan.
Pengkaji kredit dan direktur kepatuhan di Bank Asiatic, yang mestinya menjadi pintu pengawasan terakhir, pun ternyata mandul. Analisis kelayakan yang dilakukan oleh keduanya terhadap pemberian kredit kepada 41 debitor hanya sebatas pengecekan angka rasio keuangan dan penghitungan modal kerja yang dibutuhkan debitor. Mereka juga tidak mengkaji kebenaran data tentang keberadaan debitor, karakter, aktivitas usaha, dan pengalaman debitor dalam mengelola usahanya.
Ada lagi faktor yang diabaikan, yaitu tingkat konsentrasi penanaman dana pada sektor tersebut dan tingginya risiko terhadap agunan yang diberikan debitor berupa stok kendaraan dan piutang dagang. Hasil pemeriksaan BI memperlihatkan, hampir semua debitor memberikan jaminan berupa stok kendaraan dan piutang dagang. Hanya satu debitor, yaitu PT Akmindo Rayatama, yang memberikan jaminan berupa aset tanah kosong di Bali seluas 1,1 hektare.
Pada 25 Juni 2003, tim pemeriksa BI didampingi account officer Bank Asiatic melakukan pemeriksaan ke lokasi showroom ke-10 debitor, antara lain Andano Megah, Putra Mandiri, Mandala Tata Bakti, Citra Warnatama Kencana Raya, dan Nyiur Gading Indah. Hasilnya mengejutkan. Lokasi usaha debitor ternyata dalam kondisi tertutup, dan tak terlihat tanda aktivitas usaha.
Gerai penjualan mobil itu pun berada di tempat yang tak strategis dan representatif, karena dekat dengan pasar, dan sebagian besar dalam kondisi tak terawat. Besarnya rumah toko tempat usaha rata-rata cuma 4 x 6 meter, sehingga hanya mampu menampung maksimal empat mobil ukuran sedang.
Berdasar informasi warga sekitar ruko, debitor belum pernah membuka kegiatan usahanya, dan papan nama usaha baru dipasang 3-5 bulan sebelum inspeksi. Dari fakta ini, pemeriksa BI meragukan kebenaran data agunan dan laporan keuangan yang dibuat penaksir independen dan kantor akuntan publik terhadap aset dan operasional debitor.
Namun "permainan" dalam penyaluran kredit fiktif ini cukup cantik. Untuk meyakinkan seolah-olah kredit tersebut lancar, debitor pada awalnya rajin membayar cicilan. Belakangan diketahui, cicilan tak berasal dari kegiatan usaha debitor. Cicilan ternyata bersumber dari sisa dana pencairan kredit yang tidak ditransfer oleh debitor ataupun dari dana masuk perusahaan lain yang tak memiliki hubungan dengan debitor.
Sumber TEMPO membisikkan, pencairan kredit kepada debitor showroom bisa berjalan begitu mulus lantaran campur tangan pemilik Bank Asiatic. Bahkan dalang di belakang para debitor itu ditengarai tak lain pemilik Bank Asiatic sendiri, yakni Tong Muk Keung dan menantunya, Agus Budiana. Penelusuran TEMPO menemukan, nama-nama di balik debitor tersebut ternyata memiliki hubungan dekat dengan Tong Muk Keung dan Agus Budiana.
Di PT Tropica Rimbacipta, misalnya, tercatat nama Vivi Elya Rosa sebagai direksi, padahal Vivi tak lain adalah sekretaris Agus. Lebih parah lagi di PT Wiraguna Nata Laksana. Di perusahaan ini tercatat nama Wiran Taruna sebagai direksi dan Endang Kosasih sebagai komisaris. Sesungguhnya Wiran adalah karyawan Li Ming, istri Agus, sedangkan Endang sopir Agus. Contoh lain bisa dilihat di PT Andano Megah. Di sana tercatat nama Syahrul sebagai direksi dan Abdul Rohim sebagai komisaris. Padahal Syahrul pesuruh kantor Agus, sedangkan Rohim sopir Tong Muk Keung.
Berdasarkan hasil pemeriksaan anak buahnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Anwar Nasution menganggap cukup jelas keterkaitan pemegang saham dalam kesalahan manajemen. Atas dasar itu BI memberikan sanksi tak akan memberikan izin kepada mereka untuk mengelola bank di masa mendatang. "No way," katanya.
Adapun mengenai proses pidana, Anwar berserah kepada polisi untuk melakukan pengusutan. Di sini ia menyatakan keheranannya karena Tong masih bebas di luar tahanan. "Tanyakan itu kepada Kepala Polri," ujarnya. Tong dan Agus saat ini memang sudah jadi tersangka tindak pidana pelanggaran undang-undang perbankan. Namun, sementara Agus resmi ditahan polisi, Tong masih melenggang di luar penjara. Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian, mengaku, "Alat bukti yang dimiliki polisi untuk menjerat Tong masih kurang."
Ismoko tak menampik kecurigaan keterlibatan Tong dan Agus dalam penyaluran kredit fiktif itu, seperti terlihat dari keberadaan orang-orang dekat mereka di perusahaan showroom. Namun, ia lagi-lagi bersikukuh masih kekurangan bukti. "Itu paper company. Tak bisa dikaitkan ke Tong karena tak ada buktinya," katanya.
Pembelaan terhadap Tong juga datang dari pengacaranya, Juniver Girsang. Ia menjelaskan, sebetulnya Agus yang banyak bermain. "Agus telah mengaku, dia selama ini kerap mengintervensi direksi," ujarnya. Sedangkan Tong justru terpukul karena semua pelanggaran kredit dilakukan tanpa diketahuinya.
Siasat menggunakan nama karyawan dan sopir untuk debitor tersebut, menurut Juniver, juga merupakan akal-akalan Agus, yang juga kliennya. Dari aliran dana pun jelas terlihat kredit itu mengalir ke rekening sang menantu. "Tak bisa tidak, polisi melihat memang Agus yang harus dimintai tanggung jawab," ujar Juniver. Sang menantu pun kini sudah meringkuk di balik sel dingin polisi sebagai ganjaran petualangannya.
Nugroho Dewanto, Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo