KALAU ada bankir yang paling gembira dengan munculnya Paket Oktober (Pakto), itulah pengelola Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia (BII). Begitu Pakto muncul 17 Oktober silam, mereka segera mengajukan permohonan untuk menjadi bank devisa. Dan cita-cita itu terpenuhi hanya dalam waktu yang sangat singkat. Kurang dari seminggu. Memang dengan Deregulasi Pakto, syarat-syarat untuk menjadi bank devisa sudah tak lagi sulit. Misalnya, tak perlu lagi melakukan merjer sampai enam kali. Pokoknya mereka bisa memenuhi beberapa "kriteria sehat" yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BI hanya menetapkan tiga syarat, yang kcsemuanva menyangkut jumlah rupiah yang dikelola oleh bank yang bersangkutan. Misalnya saja, selama 4 bulan terakhir atau minimal 20 bulan terakhir, bank yang ingin menjadi bank devisa harus tergolong sehat. Atau paling tidak cukup sehat. Maksudnya, selama kurun waktu tersebut, bank yang bersangkutan tidak pernah mengalami kebobolan dalam memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. SK Pakto itu juga mengharuskan bank yang "ingin ganti kulit" supaya berprestasi yang "layak bank devisa". Selama enam bulan terakhir, misalnya, volume usaha minimal harus bisa mencapai Rp100 milyar. Selam itu, dana pihak ketiga yang terserap (seperti giro dan deposito), dan pinjaman yang disalurkan, sekurang-kurangnya harus mencapai angka Rp80 milyar dan Rp75 milyar. Masih ada pasal lain dari SK Mooy ini yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja, yakni penunjukan atau penolakan menjadi bank devisa (selambat-lambatnya) akan diberikan 21 hari kerja setelah permohonan diajukan. Danamon, misalnya, langsung mendapat persetujuan BI empat hari setelah pengajuan. "Paket yang mengatur bank devisa ini memang cukup lengkap, sehingga kami tak sulit memenuhi persyaratannya," kata Jusuf Arbianto Tjondrolukito, Direktur Bank Danamon. BII yang dimiliki Usman Admadjaja sudah sejak tiga tahun lalu beraset di atas Rpl00 milyar -- bahkan sekarang telah -- mencapai Rp389,2 milyar. Begitu pula dana pihak ketiga dan pinjaman yang disalurkannnya, menurut Jusuf, sudah jauh di atas batas minimal yang ditetapkan BI. Keinginan untuk menjadi bank devisa memang sudah dipendam sejak dulu. Tapi terhambat oleh ketentuan yang mengharuskan merjer enam kali. Padahal, untuk sekali merjer saja kabarnya, dibutuhkan dana Rp35 milyar. Karena belum mampu, banyak transaksi yang menggunakan valuta asing, atau yang berkaitan dengan pembukaan L/C, terpaksa dioperkan kepada bank lain. Sementara itu, Danamon hanya bisa menikmati semacam komisi dari transaksi yang terjadi. Kini, baik Danamon maupun BII tak perlu lagi menjadi "calo gelap". Kedua bank bisa langsung bertindak sebagai perantara transaksi yang legal. "Dengan status yang baru sekarang, kami dapat dengan mudah melakukan transaksi devisa," kata Indra Wijaya, Wakil Presdir BII. Menurut Indra, syarat yang diajukan BI sebenarnya sudah bisa dipenuhi sejak 10 tahun lalu. Waktu itu, menurut Indra, aset BII sudah di atas Rp100 milyar -- sekarang aset BII Rp500 milyar. Memang, bank mana yang tak mau jadi bank devisa? Dengan status itu, bank yang bersangkutan bukan hanya sekadar naik pamornya, tapi juga bisa meraih untung dari transaksi yang menggunakan valuta asing. Dan jangan lupa, hanya bank devisalah yang boleh menyalurkan fasilitas kredit berbunga murah (seperti kredit ekspor), yang diberikan pemerintah kepada pengusaha. Dari sini kabarnya, untung yang diraih bank tidaklah kecil. Budi Kusumah dan Sidartha Pratidina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini