SETELAH "demam" selama dua pekan, suhu call money akhirnya kembali normal. Barometer likuditas perbankan yang sempat melonjak sampai sekitar 32% itu -- setelah Paket Deregulasi 27 Oktober (Pakto) -- akhir pekan silam sudah turun ke sekitar 17%. Suhu pinjaman antarbank itu jadi sedemikian Danas, tak lain karena bank terlalu hati-hati. Ini berdasarkan analisa Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy. Sikap semacam itu, menurut seorang pejabat BI, terutama datang dari pihak bank-bank pemerintah. Bank-bank -- khususnya BPD -- memang sumber utama pinjaman antarbank. Entah kemauan sendiri atau atas perintah atasan, bank-bank pemerintah itu pekan lalu kembali membuka keran call money. Tapi BUMN-BUMN agaknya belum tergerak untuk memindahkan 50% dana mereka dari bank pemerintah ke bank swasta. Ini wajar. Bank-bank swasta terguncang hebat dalam dua pekan terakhir. Tak semuanya, memang. Seperti diketahui, Gubernur Mooy mengatakan, ada dua bank swasta -- Bank, Pertiwi dan Maranu Bank -- yang dilarang bermain tukar-menukar cek (kliring) di BI. "Kami sebenarnya tidak kalah, tapi mengundurkan diri dari kliring," kata Presiden Komisaris Marannu Bank, Andi Sose. Dikatakannya Marannu terpaksa mengambil langkah mundur itu karena telanjur menjual call money Rp30 milyar pada 29 Oktober. "Empat bank mengembalikan pinjaman dengan baik. Tapi satu bank lagi macet mengembalikan Rp19 milyar," tutur Andi tanpa menyebut nama bank itu. Diduga dana Marannu tersangkut di Bank Pertiwi. "Investasinya memang terlalu berani. Bagaimana bisa melunaskan call money kalau sudah begitu," kata sumber tadi. Andi Sose kemudian memaksa 21 perusahaannya menutup lubang di Marannu. "Saya 'kan mempunyai banyak perusahaan, antara lain lima hotel dan pabrik minuman Coca Cola," katanya. Tak kurang dari Rp15 milyar dapat dikumpulkan. Dana itu masih kurang, sehingga Marannu mengetok lagi pintu bank sentral dan berhasil mendapat kan fasilitas diskonto (pinjaman murah) sebesar Rp3 milyar. Barulah Marannu merasa cukup kuat dan kembali ke arena kliring pada 8 November. "Uang sudah kami tumpukkan di bank. Silakan datang, kalau mau ambil," tantang Andi Sose. Sesudah "berjuang" seperti itu, wajar kalau Maranu serta beberapa bank lainnya yang didaftarhitamkan oleh Astra Graphia naik pitam. Untung saja, masalah itu bisa diselesaikan lewat musyawarah yang disponsori Bank Indonesia (lihat Iklan, Bukan Penalti). Selain daftar hitam Astra, ada sebuah daftar hitam yang dibuat sebuah perusahaan lain, dengan 20 nama bank. "Memang tak kurang dari 20 bank yang sudah meminta fasilitas diskonto dari BI," kata sumber TEMPO dari kalangan bankir. Sampai awal pekan ini, BI tak bersedia mengungkapkan berapa bank dan berapa besar diskonto yang sudah disuntikannya kepada bank-bank yang kesulitan likuiditas. "Jika suku bunga antarbank sudah turun, bank-bank akan bergairah lagi," kata juru bicara BI, Kilian Sihotang. Tapi apakah situasi perbankan benar-benar sudah tenang? Bank-bank pemerintah, tampaknya demikian. Sebaliknya, bank-bank swasta, sampai Senin pekan inl, masih berusaha menahan nasabahnya dengan memberikan imbalan bunga lebih tinggi. Gejala ini bukan hanya menyangkut deposito jangka pendek (1-3 bulan), tapi juga deposito jangka panjang. Bahkan bank-bank asing ternyata tak tinggal diam. Citibank pekan silam menawarkan kenaikan untuk semua suku bunga deposito. Bunga deposito 1 bulan dinaikkan menjadi 18% (sebelumnya 16%), 3 bulan menjadi 19% (semula 17%), 6 bulan menjadi 19% (tadinya 18%), dan 1 tahun menjadi 20% (semula 19,5%). Gejala ini, menurut beberapa sumber TEMPO, bukan sekadar usaha bank untuk memberikan imbalan kepada nasabah karena suku bunga deposito mulai dikenai pajak. "Pakto itu sebenarnya bagaikan bola salju yang membawa dampak lebih besar daripada devaluasi," kata seorang pengamat perbankan nasional. Sementara itu, BI tidak akan lagi membantu bank yang kesulitan likuditas. Akibatnya, menurut pengamat tadi, sekitar Rp1 trilyun sudah ditarik masyarakat dari bank-bank. Dari Marannu Bank saja, menurut Andi Sose, ada sekitar Rp2 milyar yang sudah ditarik nasabah. Pengamat tadi melihat deregulasi baru ini terlalu liberal. "Free fight liberalism akan terjadi. Akibatnya, kesenjangan semakin lebar antara bank-bank besar dan bank-bank kecil," katanya serius. Sekalipun begitu, Pakto telah membawa dampak positif juga. Di Jakarta, misalnya, ada dua bank yang langsung memanfaatkan kemudahan menjadi bank devisa (lihat Berlomba-lomba Ganti Kulit). Sementara itu, di Surabaya, menurut Pemimpin Cabang dan Koordinator Wilayah Bank Indonesia di Jawa Timur, Bistok Hutasoit, "Sudah banyak investor mendaftar. Yang sudah positif, minimal lima bank perkreditan rakyat (BPR) yang akan didirikan." Selain itu, ada lima lagi bank perkreditan rakyat (dulunya bank pasar) yang berniat meningkatkan diri menjadi bank umum. Nisbah tunai (reserve requirement) yang mulai Senin pekan ini boleh dicairkan bank-bank dari BI, dianggap tak akan banyak menolong. Seorang bankir swasta melihat kebijaksanaan ini dikembangkan dari usul pakar ekonomi Soeharsono Sagir, yang menggegerkan tempo hari. Usul itu berbunyi, "Obligasikan deposito bank-bank!" Yang diobligasikan memang bukan deposito, tapi 80% nisbah tunai, kata bankir tadi. Nisbah tunai adalah dana yang wajib ditempatkan bank-bank di bank sentral. Dulunya, ditentukan sekitar 15% dari semua dana masyarakat yang diterima bank-bank dari giro, deposito, dan tabungan. Pakto lalu menentukan hanya 2% yang wajib disimpan di BI, 13% sisanya boleh dicairkan kembali. Tapi jangan kaget, yang boleh dicairkan Senin pekan ini hanya 20% dari jumlah 13% itu sisanya harus ditanamkan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). "Dari SBI itu saja, pemerintah akan menyedot dana sekitar Rp3 trilyun, cukup untuk membayar kenaikan beban cicilan akibat naiknya kurs valuta asing. Mudah-mudahan tidak akan ada buntutnya pada anggaran mendatang," kata pengamat perbankan yang tak mau disebut namanya itu. Tak jelas dari mana ia peroleh angka Rp3 trilyun itu, juga tak jelas mengapa ia berpandangan suram. Apa komentar Soeharsono Sagir? Pakar ini berpendapat, Pakto tidak akan jalan jika tidak didukung kebijaksanaan fiskal dan perdagangan luar negeri. Sebab, katanya, ada lima kendala besar yang juga harus diatasi. Pertama, penerimaan pemerintah yang terbatas. "Sebenarnya, pemerintah bisa mengobligasikan deposito-deposito milik BUMN dan yayasan-yayasan. Sebab, dana dari kedua kelompok itu sekitar 45% dari seluruh deposito yang ada di bank-bank," kata Sagir. Kendala kedua dan ketiga menyangkut transaksi berjalan dan rasio penerimaan ekspor, dibandingkan pelayanan cicilan luar negeri (DSR) yang berat. Cicilan pokok dan bunga utang luar negeri saja anggaran 1988-1989 sebesar Rp1O,4 trilyun atau sekitar US$6,4 milyar (ketika itu kurs dolar dihitung Rp1.653). Dengan kurs sekarang Rp1.716 per 1 dolar, berarti pemerintah harus menambah sekitar Rp400 milyar. Tapi karena sebagian besar utang dihitung dalam yen, beban itu diduga bakal bertambah berat, jika dolar akan mengalami depresiasi lagi (lihat Bila Si Hijau Jatuh). Untuk mengatasi kedua kendala tersebut, ekspor harus meraih minimal empat kali lipat cicilan dan bunga utang luar negeri. "Berarti harus memperoleh sekitar US$ 30 milyar setahun," kata Sagir. Sementara ekspor minyak sudah tertahan, alternatif lain adalah meningkatkan ekspor nonmigas. Kendala keempat menyangkut investasi asing dan ketenagakerjaan. "Deregulasi peraturan-peraturan dari Jakarta tidak cukup. Investor asing harus dijemput, sebagaimana dilakukan Muangthai di Jepang," tutur Sagir. Kendala kelima yang berat yakni menyangkut ketenagaan. "Kita menghadapi bukan cuma penganggur murni 1,5 juta orang. Sekitar 40 juta orang yang setengah nganggur juga harus ditingkatkan produktivitasnya," tutur Sagir. Seorang pengamat lain menilai, Pakto sudah menimbulkan dampak di luar sasaran pemerintah. "Kini beberapa bank sudah retak. Apalagi kalau tiga paket lain akan menyusul," katanya. Menko Ekuin Radius Prawiro, pada 27 Oktober lalu, memang mengatakan, segera akan menyusul tiga paket lain menyangkut perdananan, investasi, dan BUMN. "Paling lambat dalam tempo sebulan," kata Radius. Baiklah, kita tunggu, masih ada waktu sekitar dua minggu lagi. Mudah-mudahan tidak akan menambah banyak korban. Max Wangkar, Moebanoe Moera, Budiono D.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini