ASAL mulanya Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal Departemen
Penerangan, meminta W. van Goudoever mempelajarinya. Orang
Belanda ini sebelum Perang Dunia ke-2 menjadi Pemimpin Redaksi
De Locomotief, koran Semarang, dan kemudian bekerja di Deppen.
Van Goudoever melakukan studi di Nederland (1951). Hasil
studinya ialah demi kehidupan pers Indonesia, perlu dibentuk
suatu lembaga lengkap dengan perpustakaan teruuma mengenai media
massa. Maka tahun 1954, berdirilah Lembaga Pers & Pendapat Umum
(LPPU) di Jakarta--kemudian menyusul di Yogyakarta, Surabaya,
Pontianak, Banjarmasin, Palembang, Padang, Manado dan Medan.
"Tapi yang di Palembang kemudian dibakar oleh PKI," kata Drs.
S.K. Bonar, bekas Kepala LPPU Jakarta (1970-1980).
LPPU yang di Yogya selama 20 tahun dibina oleh Soendoro. Dari
hanya memiliki empat kursi dan tiga meja, satu lemari antik dan
empat karyawan, Soendoro membangunnya. Hasilnya tak
mengecewakan. Dibanding dengan di tempat lain, LPPU Yogya
memiliki koleksi pusuka yang lebih banyak dan lebih baik. Sampai
Agustus 1981, LPPU Yogya memiliki 3.727 buku,35 macam suratkabar
harian, 12 koran mingguandan 36 majalah dari seluruh Indonesia.
Terdapat pula 17 majalah dan buletin luar negeri di situ. Sedang
LPPU Jakarta hanya memiliki 2.449 buku. Dan di Surabaya, lembaga
itu ibarat ada upi tiada. Hanya ada sedikit buku di situ, dan
tak ada lagi yang memanfaatkannya.
LPPU pernah satu masa begitu dikenal oleh masyarakat akibat
hasil penelitiannya. LPPU Jakarta terutama, ketika dipimpin Drs.
Marbangun Hardjowirogo (1954-1960), ketika pers daerah belum
jauh ketinggalan. Pernah lembaga ini mengadakan seminar dengan
topik mengembangkan pers daerah dalam tahun 1950-an.
Kemudian Marbangun bertugas di Sekreuriat PBB. LPPU Jakarta lalu
dipimpin oleh Kho Giok Po (1960-1970). "Sejak itu lembaga tak
berkembang," kau Bonar. Dan memang banyak orang melihat
kehadiran lembaga ini menjadi tak jelas kegunaannya.
Kedudukan LPPU dulu memang tak pernah jelas. Setengah resmi di
bawah Deppen, dan setengah swasta dikelola Yayasan LPPU. Dari
Deppen, misalnya LPPU Yogya hanya mendapat bantuan Rp 27.500
sebulan. Dana yang sedikit ini pun tersendat-sendat. Akibatnya,
LPPU Yogya sering meminjam uang dari RRI dan TVRI, juga dari
Kanwil Deppen setempat.
Tapi sejak Juni 1979 LPPU diubah menjadi Balai Penelitian Pers
dan Pendapat Umum, suatu unit yang memiliki anggaran sendiri di
bawah Badan Penelitian 8 Pengembangan Penerangan Deppen. Ia
otonom, seperti RRI dan TVRI. "Sekarang kami sudah bisa
bernapas," kata Drs. Hinu Sudihartono, Direktur BPPPU Yogya.
Yang masih ditunggu ialah bila badan ini bisa mulai aktif
meneliti pendapat umum, sesuai dengan namanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini