Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bernapas Di Bekas Lembaga

LPPU diubah menjadi balai penelitian pers dan pendapat umum. Di Yogya, selama 20 tahun dibina oleh alm. Soendoro. bahan ini memiliki otonomi dibawah deppen. (md)

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASAL mulanya Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan, meminta W. van Goudoever mempelajarinya. Orang Belanda ini sebelum Perang Dunia ke-2 menjadi Pemimpin Redaksi De Locomotief, koran Semarang, dan kemudian bekerja di Deppen. Van Goudoever melakukan studi di Nederland (1951). Hasil studinya ialah demi kehidupan pers Indonesia, perlu dibentuk suatu lembaga lengkap dengan perpustakaan teruuma mengenai media massa. Maka tahun 1954, berdirilah Lembaga Pers & Pendapat Umum (LPPU) di Jakarta--kemudian menyusul di Yogyakarta, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Palembang, Padang, Manado dan Medan. "Tapi yang di Palembang kemudian dibakar oleh PKI," kata Drs. S.K. Bonar, bekas Kepala LPPU Jakarta (1970-1980). LPPU yang di Yogya selama 20 tahun dibina oleh Soendoro. Dari hanya memiliki empat kursi dan tiga meja, satu lemari antik dan empat karyawan, Soendoro membangunnya. Hasilnya tak mengecewakan. Dibanding dengan di tempat lain, LPPU Yogya memiliki koleksi pusuka yang lebih banyak dan lebih baik. Sampai Agustus 1981, LPPU Yogya memiliki 3.727 buku,35 macam suratkabar harian, 12 koran mingguandan 36 majalah dari seluruh Indonesia. Terdapat pula 17 majalah dan buletin luar negeri di situ. Sedang LPPU Jakarta hanya memiliki 2.449 buku. Dan di Surabaya, lembaga itu ibarat ada upi tiada. Hanya ada sedikit buku di situ, dan tak ada lagi yang memanfaatkannya. LPPU pernah satu masa begitu dikenal oleh masyarakat akibat hasil penelitiannya. LPPU Jakarta terutama, ketika dipimpin Drs. Marbangun Hardjowirogo (1954-1960), ketika pers daerah belum jauh ketinggalan. Pernah lembaga ini mengadakan seminar dengan topik mengembangkan pers daerah dalam tahun 1950-an. Kemudian Marbangun bertugas di Sekreuriat PBB. LPPU Jakarta lalu dipimpin oleh Kho Giok Po (1960-1970). "Sejak itu lembaga tak berkembang," kau Bonar. Dan memang banyak orang melihat kehadiran lembaga ini menjadi tak jelas kegunaannya. Kedudukan LPPU dulu memang tak pernah jelas. Setengah resmi di bawah Deppen, dan setengah swasta dikelola Yayasan LPPU. Dari Deppen, misalnya LPPU Yogya hanya mendapat bantuan Rp 27.500 sebulan. Dana yang sedikit ini pun tersendat-sendat. Akibatnya, LPPU Yogya sering meminjam uang dari RRI dan TVRI, juga dari Kanwil Deppen setempat. Tapi sejak Juni 1979 LPPU diubah menjadi Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum, suatu unit yang memiliki anggaran sendiri di bawah Badan Penelitian 8 Pengembangan Penerangan Deppen. Ia otonom, seperti RRI dan TVRI. "Sekarang kami sudah bisa bernapas," kata Drs. Hinu Sudihartono, Direktur BPPPU Yogya. Yang masih ditunggu ialah bila badan ini bisa mulai aktif meneliti pendapat umum, sesuai dengan namanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus