SATU demi satu wartawan yang pernah mengalami tiga zaman di
negeri ini meninggalkan kita. Terakhir Soendoro Tirtosiwojo,
yang dikenal tak hanya sebagai wartawan, tapi juga sebagai dosen
yang rajin, tertib dan memperlakukan mahasiswanya dengan
keterbukaan seorang guru dan kehangatan seorang ayah. Dan
sebagai penulis yang awet, ia masih terus mengarang esei di
ujung usianya. Bahkan, seakan hendak menaklukkan ketuaannya, ia
tetap aktif di berbagai kegiatan.
Ayah dari lima anak dan kakek dari tujuh cucu ini lahir di
Wlingi, Blitar (Ja-Tim) 8 Februari 1915. Selain mengajar Hak
Cipta dan Psikologi Komunikasi Massa pada Jurusan Publisistik
Fakultas Sosial dan Politik UGM, ia juga aktif di berbagai
lembaga di lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII).
Ia adalah Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Badan Wakaf,
Direktur Radio Unisi, dan juga Pemimpin Redaksi Unisia, majalah
ilmiah universitas Islam di Yogya itu. Ia juga adalah Pemimpin
Redaksi Majalah Pusara, sebuah penerbitan pendidikan dan
kebudayaan Taman Siswa. Harian Masa Kini, bekas Mercu Suar di
Yogya, dibangun atas usahanya pula.
Tak hanya itu. Ia juga rajin mengikuti berbagai pertemuan
intelektual. "Almarhum pasti hadir dalam setiap seminar yang
kami selenggarakan, sekalipun masalahnya di luar disiplin
ilmunya," kata Dr. Umar Kayam, Direktur Pusat Penelitian dan
Studi Kebudayaan UGM.
Barangkali itulah sebabnya berita kepergiannya mengagetkan
banyak pihak. Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo, Rektor UGM
menyebut tokoh yang tak pernah "diam" ini sebagai ilmuwan yang
serius. Lebih dari 20 tahun memang, Soendoro mengabdi di UGM,
sebagai dosen luar biasa dengan honorarium yang untuk ongkos
becaknya saja tak cukup. "Almarhum merupakan soko guru bagi
pengembangan Fakultas Sosial dan Politik Jurusan Publisistik,"
kata Rektor Sukadji pada hari pemakaman Soendoro di Blunyah
Gede, Yogya, 31 Agustus.
Padahal ia bukanlah seorang sarjana. Ia hanya sempat duduk di
tingkat II Fakultas Hukum, dan mengikuti SN di Komunikasi Massa
di Universitas Amsterdam (1954-56). Bahkan, setelah kematian
ayah, Soendoro nyaris tak menyelesaikan SMA. Adalah Mr.
Wilopo--bekas Perdana Menteri dan Ketua DPA--guru (SMA)
Perguruan Rakjat kala itu yang membantunya. Namun ia tekun
belajar sendiri.
Sebagai dosen, ia tak hanya mengalihkan ilmu pengetahuan, tapi
juga watak. Memakai kemeja putih dan berdasi, ia tampil di muka
kelas. "Saya berdasi untuk menghormati saudara-saudara,"
jawabnya selalu jika ditanya. Keinginannya mengenal setiap
orang, sebagai pribadi, begitu menonjol. Ia memiliki biodata
ringkas dan potret banyak mahasiswanya.
Suka sekali mahasiswa datang ke rumahnya di Jalan Cemarajajar 17
Yogya setiap selasa dan Kamis malam, tak hanya untuk bertukar
pikiran tentang hal yang akademik sifatnya. Ia punya kesabaran
mendengarkan berbagai keluhan pribadi mahasiswa yang kematian
ayah, atau pun putus pacar. Ia juga tak sayang memberikan satu
dari koleksi bukunya untuk mahasiswanya yang gemar membaca. Dan
ia juga membalas setiap kartu lebaran yang dikirimkan bekas
mahasiswanya dengan penuh perhatian. Terakhir, itu juga
dilakukannya, seraya mengabarkan penyakit levernya yang kembali
kambuh.
Pak Soen -- begitu ia dipanggil banyak pihak--semasa mudanya
pernah menjadi koresponden gratis mingguan Galoeh Pakoean. Tahun
1937, ia bekerja pada surat kabar Pemandangan (Jakarta), ketika
dipimpin M. Tabrani dan Mr. Soemanang.
Ketika Pemandanan menerbitkan koran mingguan, bernama
Pembangoen, yang bergambar ayam jantan itu, Soendoro menjadi
salah seorang redakturnya. Sambil bekerja, ia bersama antara
lain Anwar Tjokroaminoto mengikuti kursus jurnalistik dengan
para pengajar seperti Mr. Wilopo, Parada Harahap dan Mr. Amir
Sjarifuddin.
Pemandangan kemudian dibreidel oleh Jepang. Soendoro masuk ke
Domei bersama Asa Bafagih. Kantor berita inilah yang kemudian
(1945) menjadi Antara.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Oktober 1945, ia menjadi pegawai
Kementerian Penerangan, sebagai Kepala Bagian Pers. Soendoro
ikut pula meliput berbagai peristiwa di masa revolusi. Kemudian
ia turut membina Lembaga Pers 8 Pendapat Umum. Lembaga itu
diprakarsai oleh Dr. Roeslan Abdulgani Sekjen Deppen kala itu.
Dengan modal empat kursi, tiga meja, satu lemari dan empat orang
karyawan (lihat box), ia memulai kerja lembaga itu di Yogya.
Soendoro, yang menulis dengan kalimat pendek-pendek, mudah
dimengerti dan menghindarkan penggunaan kaukata asing ini,
sangat awas pada penggunaan ejaan dan punktuasi yang salah. Tak
sedikit mahasiswa menilai hal itu sebagai kecereweun. Tatiek
Tito, bekas penyiar TVRI dan binung film itu, misanya bercerita
bahwa Pak Soen "terlalu banyak menuntut" yang ternyata ada
gunanya di kemudian hari.
Minggu, 30 Agustus, pukul 23.45, ia pergi -- setelah penyakit
levernya kambuh kembali. "Usaha menyelamatkan jiwa ayah sudah
cukup," kau Penni Hartanti, anak bungsu almarhum. Para mahasiswa
ikut berusaha selaku donor darah. Pernikahan putrinya yang
bungsu itu, yang direncanakan Oktober mendatang, akhirnya
dilangsungkan di hadapan peti jenasah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini