Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sokoguru Itu Telah Tiada

Tokoh wartawan tiga jaman, Soendoro Tirtosiswojo, 66, meninggal dunia karena penyakit lever. Pembina LPPU ini juga dosen luar biasa di ugm selama 20 tahun. (md)

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU demi satu wartawan yang pernah mengalami tiga zaman di negeri ini meninggalkan kita. Terakhir Soendoro Tirtosiwojo, yang dikenal tak hanya sebagai wartawan, tapi juga sebagai dosen yang rajin, tertib dan memperlakukan mahasiswanya dengan keterbukaan seorang guru dan kehangatan seorang ayah. Dan sebagai penulis yang awet, ia masih terus mengarang esei di ujung usianya. Bahkan, seakan hendak menaklukkan ketuaannya, ia tetap aktif di berbagai kegiatan. Ayah dari lima anak dan kakek dari tujuh cucu ini lahir di Wlingi, Blitar (Ja-Tim) 8 Februari 1915. Selain mengajar Hak Cipta dan Psikologi Komunikasi Massa pada Jurusan Publisistik Fakultas Sosial dan Politik UGM, ia juga aktif di berbagai lembaga di lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII). Ia adalah Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Badan Wakaf, Direktur Radio Unisi, dan juga Pemimpin Redaksi Unisia, majalah ilmiah universitas Islam di Yogya itu. Ia juga adalah Pemimpin Redaksi Majalah Pusara, sebuah penerbitan pendidikan dan kebudayaan Taman Siswa. Harian Masa Kini, bekas Mercu Suar di Yogya, dibangun atas usahanya pula. Tak hanya itu. Ia juga rajin mengikuti berbagai pertemuan intelektual. "Almarhum pasti hadir dalam setiap seminar yang kami selenggarakan, sekalipun masalahnya di luar disiplin ilmunya," kata Dr. Umar Kayam, Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan UGM. Barangkali itulah sebabnya berita kepergiannya mengagetkan banyak pihak. Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo, Rektor UGM menyebut tokoh yang tak pernah "diam" ini sebagai ilmuwan yang serius. Lebih dari 20 tahun memang, Soendoro mengabdi di UGM, sebagai dosen luar biasa dengan honorarium yang untuk ongkos becaknya saja tak cukup. "Almarhum merupakan soko guru bagi pengembangan Fakultas Sosial dan Politik Jurusan Publisistik," kata Rektor Sukadji pada hari pemakaman Soendoro di Blunyah Gede, Yogya, 31 Agustus. Padahal ia bukanlah seorang sarjana. Ia hanya sempat duduk di tingkat II Fakultas Hukum, dan mengikuti SN di Komunikasi Massa di Universitas Amsterdam (1954-56). Bahkan, setelah kematian ayah, Soendoro nyaris tak menyelesaikan SMA. Adalah Mr. Wilopo--bekas Perdana Menteri dan Ketua DPA--guru (SMA) Perguruan Rakjat kala itu yang membantunya. Namun ia tekun belajar sendiri. Sebagai dosen, ia tak hanya mengalihkan ilmu pengetahuan, tapi juga watak. Memakai kemeja putih dan berdasi, ia tampil di muka kelas. "Saya berdasi untuk menghormati saudara-saudara," jawabnya selalu jika ditanya. Keinginannya mengenal setiap orang, sebagai pribadi, begitu menonjol. Ia memiliki biodata ringkas dan potret banyak mahasiswanya. Suka sekali mahasiswa datang ke rumahnya di Jalan Cemarajajar 17 Yogya setiap selasa dan Kamis malam, tak hanya untuk bertukar pikiran tentang hal yang akademik sifatnya. Ia punya kesabaran mendengarkan berbagai keluhan pribadi mahasiswa yang kematian ayah, atau pun putus pacar. Ia juga tak sayang memberikan satu dari koleksi bukunya untuk mahasiswanya yang gemar membaca. Dan ia juga membalas setiap kartu lebaran yang dikirimkan bekas mahasiswanya dengan penuh perhatian. Terakhir, itu juga dilakukannya, seraya mengabarkan penyakit levernya yang kembali kambuh. Pak Soen -- begitu ia dipanggil banyak pihak--semasa mudanya pernah menjadi koresponden gratis mingguan Galoeh Pakoean. Tahun 1937, ia bekerja pada surat kabar Pemandangan (Jakarta), ketika dipimpin M. Tabrani dan Mr. Soemanang. Ketika Pemandanan menerbitkan koran mingguan, bernama Pembangoen, yang bergambar ayam jantan itu, Soendoro menjadi salah seorang redakturnya. Sambil bekerja, ia bersama antara lain Anwar Tjokroaminoto mengikuti kursus jurnalistik dengan para pengajar seperti Mr. Wilopo, Parada Harahap dan Mr. Amir Sjarifuddin. Pemandangan kemudian dibreidel oleh Jepang. Soendoro masuk ke Domei bersama Asa Bafagih. Kantor berita inilah yang kemudian (1945) menjadi Antara. Setelah proklamasi kemerdekaan, Oktober 1945, ia menjadi pegawai Kementerian Penerangan, sebagai Kepala Bagian Pers. Soendoro ikut pula meliput berbagai peristiwa di masa revolusi. Kemudian ia turut membina Lembaga Pers 8 Pendapat Umum. Lembaga itu diprakarsai oleh Dr. Roeslan Abdulgani Sekjen Deppen kala itu. Dengan modal empat kursi, tiga meja, satu lemari dan empat orang karyawan (lihat box), ia memulai kerja lembaga itu di Yogya. Soendoro, yang menulis dengan kalimat pendek-pendek, mudah dimengerti dan menghindarkan penggunaan kaukata asing ini, sangat awas pada penggunaan ejaan dan punktuasi yang salah. Tak sedikit mahasiswa menilai hal itu sebagai kecereweun. Tatiek Tito, bekas penyiar TVRI dan binung film itu, misanya bercerita bahwa Pak Soen "terlalu banyak menuntut" yang ternyata ada gunanya di kemudian hari. Minggu, 30 Agustus, pukul 23.45, ia pergi -- setelah penyakit levernya kambuh kembali. "Usaha menyelamatkan jiwa ayah sudah cukup," kau Penni Hartanti, anak bungsu almarhum. Para mahasiswa ikut berusaha selaku donor darah. Pernikahan putrinya yang bungsu itu, yang direncanakan Oktober mendatang, akhirnya dilangsungkan di hadapan peti jenasah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus