UMUR delapan tahun ia mulai belajar menari. Umur empat belas
telah diakui sebagai dalang topeng--sebutan bagi penari dalam
Topeng Cirebon--yang susah dicari tandingannya.
Kini, dalam usia menjelang delapan puluh tahun, pemerintah
memberinya anugerah seni--Jumat dua pekan lalu.
Itulah Nyai Dasih binti Wentar, dikenal sebagai guru tari Topeng
Cirebon. "Sayang saya tak bisa menerima sendiri anugerah itu.
Jangankan berdiri,.duduk agak lama saja kepala saya menjadi
nusing," katanya sedih, tatkala ditemui TEMPO pekan lalu.
Ia memang datang dari keluarga dalang topeng. Mendapat ilmu tari
topeng dari ayahnya sendiri, Ki Wentar, dalang topeng legendaris
pada awal abad ini. Ibunya pun seorang dalang topeng yang
kesohor di zamannya. Nyai Sarni, ibunya itu, pun anak Ki Dukat,
seorang dalang topeng terkenal pada akhir abad yang lalu.
Malam Purnama
Itulah, tradisi Topeng Cirebon sebenarnya tertutup. Ada semacam
pantangan, dulu, untuk menurunkan senitari ini kepada orang dari
luar kalangan keluarga sendiri. Untunglah, tradisi itu pecah
ketika Ki Wentar, dalam pengembaraan ke desa-desa, mulai
mengajarkan keahliannya kepada para Menak Sunda (bangsawan
Sunda). Baru ketika Nyai Dasih mencapai umur pertengahan,
keterbatasan itu tertembus. Sebabnya, masih perlu diungkapkan.
Terkecuali dugaan sementara, ialah bahwa Nyai Dasih tak
mempunyai anak untuk meneruskan ilmunya.
Nyai Dasih tak saja menurunkan ilmunya kepada orang dari luar
keluarganya dan bukan bangsawan, bahkan kemudian ia mengajar di
Akademi Senitari Indonesia (ASTI) Bandung Hasilnya, jenis
senitari yang telah ada semenjak zaman Kerajaan Kediri 800 tahun
yang lalu ini, sampai sekarang masih bisa dikenali wajah
aslinya.
Dan itu antara lain, menurut Enoch Atmadibrata, dosen ASTI,
salah satunya berkat jasa Nyai Dasih. Bahkan menurut dia cara
mengajar Nyai Dasih pun khas. "Banyak ahli tari bisa mengajar.
Tapi yang mengajar dengan mendetil Nyai Dasih itulah orangnya,"
tambah Enoch pula.
Yang perlu dicatat, untuk menjadi dalang topeng dan bisa mengaku
murid Nyai Dasih tidak sembarangan. "Paling sedikit harus
menguasai 5 tarian, yakni: Panji, Rumyang, Samba, Tumenggung dan
Kelana," kata Enoch, "baru dinyatakan lulus." Kelima tari itu
paling tidak perlu waktu 5 tahun. Nyai Dasih sendiri untuk
menguasai kelima tari itu, dulu, menghabiskan 6 tahun.
Dan syarat agar bisa diterima sebagai muridnya, pun berat.
Antara lain harus tunduk dimandikan dengan berbagai ramuan di
tengah malam purnama. Juga tak boleh menolak apabila diurut-urut
tangannya. Akibatnya murid Nyai Dasih tidak banyak. "Tetapi jadi
semua", kata Enoch, yang mengenal Dasih sejak 1958.
Hampir semua murid Dasih mempunyai peranan dalam kehidupan
Topeng Cirebon. Nugraha dan Irawati, misalnya, adalah dosen dan
Ketua Jurusan di ASTI, Bandung. Lalu Pamela Rogers, cewek
Amerika, adalah dosen tari pada California Institute of the
Arts, Los Angeles. Seorang lagi, Lalrie Margot Ross, kini
mengurus workshop topeng di Detroit, AS.
"Dulu saya membetulkan gerak kaki tangan atau gerak lain yang
salah dengan memberi contoh," kenang Nyai Dasih. Dan itu sudah
tidak mungkin lagi dilakukannya. Kini ia tak bisa berbuat lain
kecuali terbaring di rumah Nyi Suji, adiknya di kampung
Ciliwung, Desa Kedung Bunder, Kecamatan Palimanan --18 kilometer
sebelah barat Cirebon. Badannya tinggal tulang berbalut kulit,
tapi dari wajahnya masih tersisa gambaran dia dulu seorang
primadona.
Terakhir kali ia menari untuk umum dalam Konperensi PATA di
Gedung Merdeka, Bandung 1974. Tetapi buat kalangan keluarganya,
tahun lalu ia masih bersedia menari--sebelum otot tangan dan
kakinya uzur. Biasanya ia membawakan salah satu Topeng Kelana
ciptaannya. Memang, selain menari, ia pun dikenal sebagai
pencipta tari. Ciptaannya yang mendapat sambutan baik adalah
tari Perang Satria--pernah dipentaskan Enoch dalam upacara
peresmian Taman Mini Indonesia Indah, 1975.
"Dia mutiara terpendam yang memang pantas mendapat anugerah
seni," kata Enoch pula. Untunglah pemberian hadiah itu tak
terlambat, meskipun Nyai Dasih tak bisa hadir. Dulu, ayahnya
mendapat anugerah tanpa bisa ikut menikmatinya. Hadiab itu
diberikan 1970, dan Ki Wentar telah meninggal dunia 1967.
Keluarga ini agaknya memang cakalbakal bagi perkembangan Topeng
Cirebon mendatang. Sebetulnya, yang banyak dikenal bukanlah Nyai
Dasih anak kedua Ki Wentar itu. Tapi adalah anak kelimanya, si
bungsu, yang bernama Nyai Suji--biasanya dipanggil Ibu Suji.
Pada usianya yang 70-an tahun, adik Nyai Dasih itu serasa telah
menguasai inti Topeng Cirebon. Begitu ia tampil, yang ada
b,ukanlah Bu Suji lagi, tapi tari itu sendiri. Seluruh tubuhnya
menjadi satu dengan gemuruh gamelan. Setiap geraknya mempunyai
makna sendiri, langsung berbicara kepada hati.
Tapi, memang seorang seniman empu belum tentu seorang guru yang
baik. Dan Nyai Dasih adalah guru yang empu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini