Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nyai dasih pendobrak tradisi

Nyai dasih mendapat anugrah seni dari pemerintah. ia seorang guru tari yang juga empu, dari keluarga cikal bakalnya topeng cirebon. adiknya, nyai suji adalah seorang penari kesohor.

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMUR delapan tahun ia mulai belajar menari. Umur empat belas telah diakui sebagai dalang topeng--sebutan bagi penari dalam Topeng Cirebon--yang susah dicari tandingannya. Kini, dalam usia menjelang delapan puluh tahun, pemerintah memberinya anugerah seni--Jumat dua pekan lalu. Itulah Nyai Dasih binti Wentar, dikenal sebagai guru tari Topeng Cirebon. "Sayang saya tak bisa menerima sendiri anugerah itu. Jangankan berdiri,.duduk agak lama saja kepala saya menjadi nusing," katanya sedih, tatkala ditemui TEMPO pekan lalu. Ia memang datang dari keluarga dalang topeng. Mendapat ilmu tari topeng dari ayahnya sendiri, Ki Wentar, dalang topeng legendaris pada awal abad ini. Ibunya pun seorang dalang topeng yang kesohor di zamannya. Nyai Sarni, ibunya itu, pun anak Ki Dukat, seorang dalang topeng terkenal pada akhir abad yang lalu. Malam Purnama Itulah, tradisi Topeng Cirebon sebenarnya tertutup. Ada semacam pantangan, dulu, untuk menurunkan senitari ini kepada orang dari luar kalangan keluarga sendiri. Untunglah, tradisi itu pecah ketika Ki Wentar, dalam pengembaraan ke desa-desa, mulai mengajarkan keahliannya kepada para Menak Sunda (bangsawan Sunda). Baru ketika Nyai Dasih mencapai umur pertengahan, keterbatasan itu tertembus. Sebabnya, masih perlu diungkapkan. Terkecuali dugaan sementara, ialah bahwa Nyai Dasih tak mempunyai anak untuk meneruskan ilmunya. Nyai Dasih tak saja menurunkan ilmunya kepada orang dari luar keluarganya dan bukan bangsawan, bahkan kemudian ia mengajar di Akademi Senitari Indonesia (ASTI) Bandung Hasilnya, jenis senitari yang telah ada semenjak zaman Kerajaan Kediri 800 tahun yang lalu ini, sampai sekarang masih bisa dikenali wajah aslinya. Dan itu antara lain, menurut Enoch Atmadibrata, dosen ASTI, salah satunya berkat jasa Nyai Dasih. Bahkan menurut dia cara mengajar Nyai Dasih pun khas. "Banyak ahli tari bisa mengajar. Tapi yang mengajar dengan mendetil Nyai Dasih itulah orangnya," tambah Enoch pula. Yang perlu dicatat, untuk menjadi dalang topeng dan bisa mengaku murid Nyai Dasih tidak sembarangan. "Paling sedikit harus menguasai 5 tarian, yakni: Panji, Rumyang, Samba, Tumenggung dan Kelana," kata Enoch, "baru dinyatakan lulus." Kelima tari itu paling tidak perlu waktu 5 tahun. Nyai Dasih sendiri untuk menguasai kelima tari itu, dulu, menghabiskan 6 tahun. Dan syarat agar bisa diterima sebagai muridnya, pun berat. Antara lain harus tunduk dimandikan dengan berbagai ramuan di tengah malam purnama. Juga tak boleh menolak apabila diurut-urut tangannya. Akibatnya murid Nyai Dasih tidak banyak. "Tetapi jadi semua", kata Enoch, yang mengenal Dasih sejak 1958. Hampir semua murid Dasih mempunyai peranan dalam kehidupan Topeng Cirebon. Nugraha dan Irawati, misalnya, adalah dosen dan Ketua Jurusan di ASTI, Bandung. Lalu Pamela Rogers, cewek Amerika, adalah dosen tari pada California Institute of the Arts, Los Angeles. Seorang lagi, Lalrie Margot Ross, kini mengurus workshop topeng di Detroit, AS. "Dulu saya membetulkan gerak kaki tangan atau gerak lain yang salah dengan memberi contoh," kenang Nyai Dasih. Dan itu sudah tidak mungkin lagi dilakukannya. Kini ia tak bisa berbuat lain kecuali terbaring di rumah Nyi Suji, adiknya di kampung Ciliwung, Desa Kedung Bunder, Kecamatan Palimanan --18 kilometer sebelah barat Cirebon. Badannya tinggal tulang berbalut kulit, tapi dari wajahnya masih tersisa gambaran dia dulu seorang primadona. Terakhir kali ia menari untuk umum dalam Konperensi PATA di Gedung Merdeka, Bandung 1974. Tetapi buat kalangan keluarganya, tahun lalu ia masih bersedia menari--sebelum otot tangan dan kakinya uzur. Biasanya ia membawakan salah satu Topeng Kelana ciptaannya. Memang, selain menari, ia pun dikenal sebagai pencipta tari. Ciptaannya yang mendapat sambutan baik adalah tari Perang Satria--pernah dipentaskan Enoch dalam upacara peresmian Taman Mini Indonesia Indah, 1975. "Dia mutiara terpendam yang memang pantas mendapat anugerah seni," kata Enoch pula. Untunglah pemberian hadiah itu tak terlambat, meskipun Nyai Dasih tak bisa hadir. Dulu, ayahnya mendapat anugerah tanpa bisa ikut menikmatinya. Hadiab itu diberikan 1970, dan Ki Wentar telah meninggal dunia 1967. Keluarga ini agaknya memang cakalbakal bagi perkembangan Topeng Cirebon mendatang. Sebetulnya, yang banyak dikenal bukanlah Nyai Dasih anak kedua Ki Wentar itu. Tapi adalah anak kelimanya, si bungsu, yang bernama Nyai Suji--biasanya dipanggil Ibu Suji. Pada usianya yang 70-an tahun, adik Nyai Dasih itu serasa telah menguasai inti Topeng Cirebon. Begitu ia tampil, yang ada b,ukanlah Bu Suji lagi, tapi tari itu sendiri. Seluruh tubuhnya menjadi satu dengan gemuruh gamelan. Setiap geraknya mempunyai makna sendiri, langsung berbicara kepada hati. Tapi, memang seorang seniman empu belum tentu seorang guru yang baik. Dan Nyai Dasih adalah guru yang empu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus