Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Suara Lirih Di Puskesmas

Pasien meninggal gara-gara suntikan streptomycine. pengadilan menjatuhkan hukuman, para saksi ahli tidak mempunyai satu pendapat. Para dokter muda yang bekerja di desa terpengaruh dengan kasus ini. (ksh)

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYONYA Rusmini, 22 tahun, isti Kapten Kartono, senja itu merasa tak enak badan. Batuk dan pileknya kambuh. Diantar saudaranya, ia berangkat ke dr. Ny. Setianingrum, dokter Puskesmas Wedarijaksa, Pati, Jawa Tengah. Dokter ini memang buka praktek sore setelah Puskesmas tutup, dan cukup laris. Sang dokter menyata4an si pasien menderita radang tenggorokan. Pasien lantas ditanya, apa pernah disuntik streptomycine. Pasien menjawab: pernah. Karena peralatan di kamar praktek tak cukup lengkap, dokter percaya saja tanpa mengujinya. Pasien ini langsung disuntik streptomycine. Hanya selang beberapa detik saja, Rusmini langsung merasa mual. Ia mengeluh mau muntah. Dokter kemudian menolongnya dengan alat yang ujungnya bengkok dan dimasukkan ke tenggorokan Rusmini. Maksudnya agar pasien segera muntah. Rusmini langsung muntah dan badannya terasa lemas. Dokter yang dikenal akrab dan suka menolong dengan pengobatan gratis itu, lalu memberi secangkir kopi kepada pasiennya. Dokter rupanya sadar, pasiennya terkena alergi atau dalam dunia kedokteran disebut anaphylactic shock (shock karena tak tahan obat). Untuk mengatasi ini, pasien disuntik cortison (obat anti alergi) dengan dosis 2 cc. Tak ada perubahan apa-apa. Tiga menit kemudian, sang dokter kembali memberi suntikan. Kali ini memasukkan delladryl (juga obat antialergi) juga 2 cc. Tapi Rusmini tidak menunjukkan perubahan apa-apa, malahan mengerang teringat anaknya: "Bu, bagaimana Bu, anak saya . . . " Mendengar keluhan lirih ini, dokter yang sudah lima tahun praktek di desa itu segera mengukur tekanan darah pasiennya. Rendah sekali. Tekanan darah ini dicoba untuk dipacu dengan menyuntikkan adrenaline sebanyak 0,5 cc. Tekanan darah itu ternyata tak berubah. Melihat keadaan gawat ini, dokter Setianingrum mengirim pasiennya ke Rumah Sakit Umum R.A.A. Soewondo Pati, yang jaraknya 5 km dari desa itu, dengan menggunakan mobil dinas Camat Wedarijaksa. Di situ pasien ditangani dr. Goesmoro Soeparno. Berbagai peralatan yang ada di rumah sakit kabupaten ini dikerahkan, tapi pasien tetap tak tertolong. Hanya sempat 15 menit dalam perawatan rumah sakit, Nyonya Rusmini pun meninggal dunia. Peristiwa itu terjadi sudah dua tahun lebih, tepatnya 4 Januari 1979. Tapi buntumya masih jadi pembicaraan yang ramai apalagi ketika sang dokter dihadapkan ke meja hijau belum lama ini. Pada mulanya keluarga korban yang mengadukan kejadian tragis itu ke polisi. Tetapi pertengahan tahun 1979 keluarga korban sendiri mencabut kembali pengaduan itu. Berkali-kali pihak keluarga korban menyebut peristiwanya sudah selesai. Sang dokter dikenal sebagai dokter yang sangat baik dan dibutuhkan di Wedarijaksa. Dia pernah mengajukan permohonan pindah tapi masyarakat mempertahankannya. Apa daya, karena pengaduannya sudah telanjur masuk dr. Setianingrum terpaksa berhadapan dengan meja hijau. Rabu, 2 September lalu ia dijatuhi hukuman 3 bulan dalam masa percobaan 10 bulan. Hakim Ketua, Kastolan SH yang memimpin sidang menyebut sang dokter melakukan kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain hingga dianggap melanggar pasal 359 yo ps. 361 KUH Pidana. Sementara Jaksa Trenggono SH menuntutnya satu tahun penjara. Setianingrum yang didampingi pembelanya Nyoman Putra Jaya SH, tidak menerima hukuman dan menyatakan naik banding. Alpakah sang dokter? Agaknya tidak ada kesepakatan pasti. Saksi ahli dr. Imam Parsudi hanya menyebutkan bahwa urutan penyuntikan yang dilakukan dr. Setianingrum "tidak tepat". Penggunaan cortison setelah terjadinya alergi kurang tepat menurut ahli penyakit dalam itu. Menurut dokter ini, adrenaline yang harus didahulukan. Urutannya, streptomycine, adrenaline yang diulangi setelah 5 menit, kemudian cortison, baru delladryl. Namun pendapat itu ditentang dua saksi ahli yang lain. Dr. Moh. Pribadi dan dr. Lukas Firdaus berpendapat, apa yang dilakukan dr. Setianingrum "sudah tepat". Justru kalau adrenaline yang diberikan setelah streptomycine, obat pemacu denyut jantung ini bisa membawa risiko pembuluh darah pecah dan pasien kontan mati. Kursi Tunggu Ilmu kedokteran memang senantiasa i berkembang, ahli yang satu tak selalu sama dengan ahli yang lain. Dokter Pribadi menguraikan dalam sidang, "tak ada keharusan dalam ilmu kedokteran untuk memberikan suntikan seperti pendapat ahli Imam Parsudi." Tapi ternyata pendapat Imam inilah yang dipakai pegangan oleh majelis untuk membuktikan "kealpaan" dr. Setianingrum. Manakah urutan penyuntikan yang benar dalam kasus kematian Ny. Rusmini, agak susah menjawabnya. 'Kasus anaphylactic shock sudah pernah diseminarkan bulan Agustus lalu di Semarang, tidak ada kesimpulan yang pasti," kata dr. Wiryono Emawan, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Eks Karesidenan Pati yang juga Kepala RSU Kudus. Seminar tersebut secara tak langsung juga ingin menjawab, apakah yang dilakukan dr. Setianingrum itu salah atau benar. "Menurut saya, dr. Setianingrum tak salah. Itu sesuai dengan ilmu kedokteran umum," kata dr. Wiryono lagi, Ketua IDI yang ikut sibuk dengan dimejahijaukannya salah seorang anggotanya itu. Seandainya dr. Wiryono dihadapi pasien seperti kasus Rusmini, ia pun akan melakukan hal yang sama. "Semua obat bisa menimbulkan alergi, nasi pun bisa. Dan nasib ada di tangan Tuhan," tambah dokter itu pula. Kasus kematian setelah suntikan stYeptomycine sering terjadi. Yang tersiar di media massa antara lain di Serang dan Jakarta tahun 1977. Dokter diadili, tapi ternyata bebas dari hukuman. Adapun dr. Setianingrum yang ditemui TEMro di rumahnya yang sederhana, nampak jauh lebih tua dari umurnya yang 36 tahun. Didampingi suaminya dr. Yusanto dan satu-satunya putranya berumur 6 tahun, nyonya dan dokter itu kelihatan seperti tertekan. "Saya wanita. Sedemikian berusahanya saya menolong pasien yang saya kenal baik itu, kenapa disebut berbuat alpa?" katanya. Tapi ia menolak memberi komentar lebih panjang, bahkan dipotret juga tak bersedia. Walau nampak tertekan, dokter lulusan Universitas Diponegoro ini tetap praktek sore. Pasiennya tak berkurang, malah sejak Agustus ini menambah kursi ruang tunggu. Praktek sorenya punya tarif Rp 500, terkadang sudah termasuk obat ringan. Memang lebih mahal sedikit dibandingkan ke Puskesmas, tapi menjadi pilihan masyarakat setempat yang kebanyakan adalah petani. Tiap sidang berlangsung, pengunjung selalu melimpah. Adakah rasa simpati berlebihan dari rekan seprofesi, sehingga ruang pengadilan penuh sesak oleh dokter. "Itu biasa, tapi IDI tidak seperti anak kecil mengerahkan massa," kata dr. Wiryono. Banyak dokter yang hadir menurut Ketua IDI Pati ini karena "kebanyakan dokter muda itu merasakan dirinya suatu saat mungkin akan diseret dalam kasus serupa." Anggota IDI di eks Karesidenan Pati berjumlah 104 orang, tapi dokter yang hadir melebihi jumlah itu. Tak Ada Balas Dendam Dan buntut yang paling gawat menurut dr. Wiryono sekarang ini adalah rasa was-was para dokter muda, apalagi yang bekerja di desa-desa dengan peralatan jauh dari mencukupi. IDI Pati sudah memberikan briefing kepada anggotanya agar tetap tenang, sambil mengharap, jika ada kasus yang menyangkut suatu cabang keilmuan, sebaiknya "pengadilan tingkat pertama berada di tangan organisasi profesi." Maksudnya, mengambil contoh kasus dr. Setianingrum adalah lebih baik jika IDI membawa masalah ini "ke dalam" untuk mencari kebenaran. "Tapi, dokter bukan warganegara istimewa, yah sekali-sekali masuk pengadilan boleh saja," kata dr. Wiryono. Yang gawat adalah kehati-hatian dokter muda setempat setelah dr. Setianingrum dihukum. Berita burung santer menyebutkan, sehari setelah Setianingrum divonnis, seorang dokter menolak mengobati pasien yang kebetulan istri seorang hakim. Pasien itu sakit perut. Sang dokter minta, agar dibuatkan surat pernyataan dari suaminya yang orang hukum itu, ika teradi apa-apa tidak mengadakan tuntutan. Dokter itu mengaku buta hukum dan takut dituntut walau sudah memberi obat yang benar menurut ilmunya. "Dalam minggu ini saya mengadakan pengusutan, apa berita itu benar. Itu tak boleh terjadi. Tak ada balas dendam," kata Ketua IDI Pati itu sambil tersenyum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus