NYONYA Rusmini, 22 tahun, isti Kapten Kartono, senja itu merasa
tak enak badan. Batuk dan pileknya kambuh. Diantar saudaranya,
ia berangkat ke dr. Ny. Setianingrum, dokter Puskesmas
Wedarijaksa, Pati, Jawa Tengah. Dokter ini memang buka praktek
sore setelah Puskesmas tutup, dan cukup laris.
Sang dokter menyata4an si pasien menderita radang tenggorokan.
Pasien lantas ditanya, apa pernah disuntik streptomycine. Pasien
menjawab: pernah. Karena peralatan di kamar praktek tak cukup
lengkap, dokter percaya saja tanpa mengujinya. Pasien ini
langsung disuntik streptomycine.
Hanya selang beberapa detik saja, Rusmini langsung merasa mual.
Ia mengeluh mau muntah. Dokter kemudian menolongnya dengan alat
yang ujungnya bengkok dan dimasukkan ke tenggorokan Rusmini.
Maksudnya agar pasien segera muntah. Rusmini langsung muntah dan
badannya terasa lemas. Dokter yang dikenal akrab dan suka
menolong dengan pengobatan gratis itu, lalu memberi secangkir
kopi kepada pasiennya.
Dokter rupanya sadar, pasiennya terkena alergi atau dalam dunia
kedokteran disebut anaphylactic shock (shock karena tak tahan
obat). Untuk mengatasi ini, pasien disuntik cortison (obat anti
alergi) dengan dosis 2 cc. Tak ada perubahan apa-apa. Tiga menit
kemudian, sang dokter kembali memberi suntikan. Kali ini
memasukkan delladryl (juga obat antialergi) juga 2 cc. Tapi
Rusmini tidak menunjukkan perubahan apa-apa, malahan mengerang
teringat anaknya: "Bu, bagaimana Bu, anak saya . . . " Mendengar
keluhan lirih ini, dokter yang sudah lima tahun praktek di desa
itu segera mengukur tekanan darah pasiennya. Rendah sekali.
Tekanan darah ini dicoba untuk dipacu dengan menyuntikkan
adrenaline sebanyak 0,5 cc. Tekanan darah itu ternyata tak
berubah.
Melihat keadaan gawat ini, dokter Setianingrum mengirim
pasiennya ke Rumah Sakit Umum R.A.A. Soewondo Pati, yang
jaraknya 5 km dari desa itu, dengan menggunakan mobil dinas
Camat Wedarijaksa. Di situ pasien ditangani dr. Goesmoro
Soeparno. Berbagai peralatan yang ada di rumah sakit kabupaten
ini dikerahkan, tapi pasien tetap tak tertolong. Hanya sempat 15
menit dalam perawatan rumah sakit, Nyonya Rusmini pun meninggal
dunia.
Peristiwa itu terjadi sudah dua tahun lebih, tepatnya 4 Januari
1979. Tapi buntumya masih jadi pembicaraan yang ramai apalagi
ketika sang dokter dihadapkan ke meja hijau belum lama ini.
Pada mulanya keluarga korban yang mengadukan kejadian tragis itu
ke polisi. Tetapi pertengahan tahun 1979 keluarga korban sendiri
mencabut kembali pengaduan itu. Berkali-kali pihak keluarga
korban menyebut peristiwanya sudah selesai.
Sang dokter dikenal sebagai dokter yang sangat baik dan
dibutuhkan di Wedarijaksa. Dia pernah mengajukan permohonan
pindah tapi masyarakat mempertahankannya. Apa daya, karena
pengaduannya sudah telanjur masuk dr. Setianingrum terpaksa
berhadapan dengan meja hijau.
Rabu, 2 September lalu ia dijatuhi hukuman 3 bulan dalam masa
percobaan 10 bulan. Hakim Ketua, Kastolan SH yang memimpin
sidang menyebut sang dokter melakukan kealpaan yang menyebabkan
matinya orang lain hingga dianggap melanggar pasal 359 yo ps.
361 KUH Pidana. Sementara Jaksa Trenggono SH menuntutnya satu
tahun penjara. Setianingrum yang didampingi pembelanya Nyoman
Putra Jaya SH, tidak menerima hukuman dan menyatakan naik
banding.
Alpakah sang dokter? Agaknya tidak ada kesepakatan pasti. Saksi
ahli dr. Imam Parsudi hanya menyebutkan bahwa urutan
penyuntikan yang dilakukan dr. Setianingrum "tidak tepat".
Penggunaan cortison setelah terjadinya alergi kurang tepat
menurut ahli penyakit dalam itu. Menurut dokter ini,
adrenaline yang harus didahulukan. Urutannya, streptomycine,
adrenaline yang diulangi setelah 5 menit, kemudian cortison,
baru delladryl.
Namun pendapat itu ditentang dua saksi ahli yang lain. Dr. Moh.
Pribadi dan dr. Lukas Firdaus berpendapat, apa yang dilakukan
dr. Setianingrum "sudah tepat". Justru kalau adrenaline yang
diberikan setelah streptomycine, obat pemacu denyut jantung ini
bisa membawa risiko pembuluh darah pecah dan pasien kontan mati.
Kursi Tunggu
Ilmu kedokteran memang senantiasa i berkembang, ahli yang satu
tak selalu sama dengan ahli yang lain. Dokter Pribadi
menguraikan dalam sidang, "tak ada keharusan dalam ilmu
kedokteran untuk memberikan suntikan seperti pendapat ahli Imam
Parsudi." Tapi ternyata pendapat Imam inilah yang dipakai
pegangan oleh majelis untuk membuktikan "kealpaan" dr.
Setianingrum.
Manakah urutan penyuntikan yang benar dalam kasus kematian Ny.
Rusmini, agak susah menjawabnya. 'Kasus anaphylactic shock
sudah pernah diseminarkan bulan Agustus lalu di Semarang, tidak
ada kesimpulan yang pasti," kata dr. Wiryono Emawan, Ketua
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Eks Karesidenan Pati yang juga
Kepala RSU Kudus.
Seminar tersebut secara tak langsung juga ingin menjawab, apakah
yang dilakukan dr. Setianingrum itu salah atau benar. "Menurut
saya, dr. Setianingrum tak salah. Itu sesuai dengan ilmu
kedokteran umum," kata dr. Wiryono lagi, Ketua IDI yang ikut
sibuk dengan dimejahijaukannya salah seorang anggotanya itu.
Seandainya dr. Wiryono dihadapi pasien seperti kasus Rusmini, ia
pun akan melakukan hal yang sama. "Semua obat bisa menimbulkan
alergi, nasi pun bisa. Dan nasib ada di tangan Tuhan," tambah
dokter itu pula.
Kasus kematian setelah suntikan stYeptomycine sering terjadi.
Yang tersiar di media massa antara lain di Serang dan Jakarta
tahun 1977. Dokter diadili, tapi ternyata bebas dari hukuman.
Adapun dr. Setianingrum yang ditemui TEMro di rumahnya yang
sederhana, nampak jauh lebih tua dari umurnya yang 36 tahun.
Didampingi suaminya dr. Yusanto dan satu-satunya putranya
berumur 6 tahun, nyonya dan dokter itu kelihatan seperti
tertekan. "Saya wanita. Sedemikian berusahanya saya menolong
pasien yang saya kenal baik itu, kenapa disebut berbuat alpa?"
katanya. Tapi ia menolak memberi komentar lebih panjang, bahkan
dipotret juga tak bersedia.
Walau nampak tertekan, dokter lulusan Universitas Diponegoro ini
tetap praktek sore. Pasiennya tak berkurang, malah sejak Agustus
ini menambah kursi ruang tunggu. Praktek sorenya punya tarif Rp
500, terkadang sudah termasuk obat ringan. Memang lebih mahal
sedikit dibandingkan ke Puskesmas, tapi menjadi pilihan
masyarakat setempat yang kebanyakan adalah petani.
Tiap sidang berlangsung, pengunjung selalu melimpah. Adakah rasa
simpati berlebihan dari rekan seprofesi, sehingga ruang
pengadilan penuh sesak oleh dokter. "Itu biasa, tapi IDI tidak
seperti anak kecil mengerahkan massa," kata dr. Wiryono. Banyak
dokter yang hadir menurut Ketua IDI Pati ini karena "kebanyakan
dokter muda itu merasakan dirinya suatu saat mungkin akan
diseret dalam kasus serupa." Anggota IDI di eks Karesidenan Pati
berjumlah 104 orang, tapi dokter yang hadir melebihi jumlah itu.
Tak Ada Balas Dendam
Dan buntut yang paling gawat menurut dr. Wiryono sekarang ini
adalah rasa was-was para dokter muda, apalagi yang bekerja di
desa-desa dengan peralatan jauh dari mencukupi. IDI Pati sudah
memberikan briefing kepada anggotanya agar tetap tenang, sambil
mengharap, jika ada kasus yang menyangkut suatu cabang keilmuan,
sebaiknya "pengadilan tingkat pertama berada di tangan
organisasi profesi." Maksudnya, mengambil contoh kasus dr.
Setianingrum adalah lebih baik jika IDI membawa masalah ini "ke
dalam" untuk mencari kebenaran. "Tapi, dokter bukan warganegara
istimewa, yah sekali-sekali masuk pengadilan boleh saja," kata
dr. Wiryono.
Yang gawat adalah kehati-hatian dokter muda setempat setelah dr.
Setianingrum dihukum. Berita burung santer menyebutkan, sehari
setelah Setianingrum divonnis, seorang dokter menolak mengobati
pasien yang kebetulan istri seorang hakim. Pasien itu sakit
perut. Sang dokter minta, agar dibuatkan surat pernyataan dari
suaminya yang orang hukum itu, ika teradi apa-apa tidak
mengadakan tuntutan. Dokter itu mengaku buta hukum dan takut
dituntut walau sudah memberi obat yang benar menurut ilmunya.
"Dalam minggu ini saya mengadakan pengusutan, apa berita itu
benar. Itu tak boleh terjadi. Tak ada balas dendam," kata Ketua
IDI Pati itu sambil tersenyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini