Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Biaya administrasi buat jepang

Produksi minyak indonesia mulai bertambah. direktur pertamina, joedo sumbono, membantah telah memberikan potongan harga, yang benar hanya menaikkan biaya administrasi. (eb)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANCAMAN Iran untuk menutup Selat Hormuz telah membuat Jepang dag-dig-dug juga. Negeri yang amat tergantung dari minyak itu memang telah mempersiapkan diri lebih baik dibandingkan sewaktu meledaknva krisis minyak di tahun 1973 dan 1979. Diperkirakan, persediaan minyaknya cukup untuk mensuplai kebutuhan Jepang selama 120 hari. Namun, rasa was-was di kalangan pengusaha dan pemerintah Jepang itu belum hilang benar, mengingat 63% dari kebutuhan minyak Jepang harus melewati itu Selat Hormuz, yang lebarnya 40 kilometer. Mereka pun secara diam-diam dikabarkan telah bersedia menampung lebih banyak minyak dari pasaran spot (tunai). Dan dari kawasan Asean, Jepang juga mengandalkan kemampuan produksi minyak Malaysia dan Indonesia. Direktur pelaksana FEOT (Far East Oil Trading Co.), Tomio Kimura, dalam suatu wawancara dengan The Asian Wall Street Journal baru-baru ini, mengatakan bahwa Malaysia - yang kini menghasilkan 220.000 barel sehari - mampu menaikkan produksi minyaknya menjadi 300.000 barel sehari. Juga Brunei. Tapi dia tak melihat bahwa RRC, yang produksinya kini sedikit di atas 1,2 juta barel sehari, dalam waktu dekat ini bisa memompa lebih banyak. Indonesia? Langganan lama FEOT ini menurut Kimura, "bisa menaikkan produksi minyaknya sampai 1,6 juta barel sehari," katanya. Indonesia, di masa lalu, pernah mencapai rekor produksi rata-rata 1,68 juta barel sehari, tapi kemudian menurun karena lesunya pasaran dan, yang terakhir, adanya kuota dari OPEC. Kini Indonesia resminya hanya boleh memproduksikan minyaknya 1,3 juta barel. Beberapa kalangan minyak di Jepang mengatakan bahwa produksi minyak Indonesia sejak April lalu sudah mulai bertambah. Dan di bulan Agustus lalu, produksi rata-rata sehari bahkan sudah mencapai 1,54 juta barel, termasuk produksi jenis kondensat (conlensate) sekitar 80.000 barel sehari, yang oleh organisasi negara-negara eksportir minyak (OPEC) dianggap bukan termasuk minyak mentah tulen (TEMPO, 15 Oktober). Untuk mencapai sasaran pajak perseroan minyak yang Rp 8,6 trilyun Iebih dalam tahun fiskal sekarang, sudah semestinya kesempatan baik itu tidak dilewatkan. Tapi, naga-naganya, Indonesia merasa keberatan kalau sampai dituduh telah melanggar konsensus OPEC - suatu 'konsensus' yang dalam praktek belum pernah dipatuhi beberapa anggota OPEC, termasuk Arab Saudi, penghasil minyak paling besar. Direktur utama Pertamina, Joedo Sumbono, dalam suatu wawancara dengan TEMPO, pekan lalu mengesankan bahwa Indonesia selama ini masih mematuhi konsensus itu. Ia juga dengan tegas menolak pemberitaan yang menuding Indonesia telah ikut terjun dalam pasaran spot, dan memberikan potongan harga 80 sen sampai satu dolar, untuk produksi minyak yang terbatas antara 150.000 dan 200.000 barel sehari. "Itu tidak betul," kata Joedo Sumbono. Jadi, bagaimana orang-orang di Jepang bisa mengatakan begitu? "Begini," kata Joedo sembari membetulkan duduknya. "Sejak dulu, Indonesia mempunyai dua pembeli di Jepang: FEOT dan JIOC. Dan kedua pembeli itu tak dibenarkan menjual di bawah harga yang ditetapkan oleh pemerintah." Tapi, agar kedua pembeli setia minyak Jepang itu (FEOT dan JIOC - Japan Indonesia Oil Co.) bisa bersaing, direktur utama Pertamina itu mengakui, telah "menaikkan biaya administrasi dari 20 sen dolar menjadi 50 sen dolar untuk setiap barel." Katanya "Kalau dari 50 sen dolar itu ada yang ingin mereka bagikan, itu urusan mereka." Dengan cara menaikkan "biaya administrasi" itu, Joedo Sumbono berpendapat bahwa Indonesia tak bisa dikatakan telah memberikan potongan harga. Pemberian potongan harga dari Indonesia, menurut Joedo, dilakukan oleh perusahaan-perusahaan minyak asing di Indonesia, termasuk Caltex, produsen jenis Sumatran Light Crude atau Minas itu. Sekalipun begitu, direktur utama Pertamina itu mengakui, makin terasa saingan minyak Indonesia di pasaran Jepang. Minyak dari Arab Saudi, yang bukan milik Petromin, tapi kepunyaan para syekh di sana, makin merasuki pasaran di Jepang melalui pasaran spot. Demikian pula dari Kuwait dan Iran. Dari negeri Imam Khomeini itu, menurut Joedo, bahkan sudah dilakukan barter: minyak mereka ditukar dengan mobil Toyota .... Masih ada lagi saingan minyak Indonesia, yang datangnya dari dalam kandang sendiri: LNG. Jepang, selain masih bertahan sebagai pembeli terbesar minyak Indonesia, rupanya makin menyukai gas alam cair (LNG) dari Indonesia. Investasi untuk pabrik LNG, seperti kata Joedo Sumbono, jauh lebih mahal dari investasi untuk mengebor minyak. Tapi untuk jangka panjang, "pemakaian LNG dianggap lebih murah karena tak menimbulkan polusi seperti minyak," katanya. Ia juga setuju, banyak industri di Jepang, terutama perusahaan listrik, yang bisa digerakkan dengan menggunakan kedua bahan bakar itu. Kedudukan Jepang sebagai pembeli utama minyak dan LNG di atas angin. Kalau saingan minyak Indonesia lebih banyak datang dari kawasan Timur Tengah, maka saingan LNG - yang menurut Joedo "patut diperhatikan" - adalah Malaysia dan Brunei, yang mengerahkan pasaran LNG-nya ke Jepang. Itu pula sebabnya Joedo Sumbono sering berkampanye tentang LNG kalau berkunung ke luar negern Selam sudah punya pasaran di Korea Selatan, yang sudah meneken kontrak dua juta metrik ton LNG selama 20 tahun, mulai tahun 1986, orang Nomor 1 di Pertamina itu juga sedang mengincar daerah lain, seperti Hawaii dan Taiwan. Menurut Joedo, kelebihan LNG Indonesia itu adalah jumlah cadangan gasnya yang berlimpah. "Bisa lebih dari 40 tahun," katanya. "Pembeli seperti Jepang menyukai LNG Indonesia karena kita mampu mensuplainya secara kontinyu." Adapun cadanan gas alam Indonesia yang sudah diketahui (proven reserve), menurutJoedo, berjumlah 15 trilyun ton, sedang Malaysia, yang memiliki ladang gas alam di daerah Bentalu, mempunyai 5 trilyun, dan 1,5 trilyun ton untuk Brunei.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus