ANCAMAN Iran untuk menutup Selat Hormuz telah membuat Jepang
dag-dig-dug juga. Negeri yang amat tergantung dari minyak itu
memang telah mempersiapkan diri lebih baik dibandingkan sewaktu
meledaknva krisis minyak di tahun 1973 dan 1979. Diperkirakan,
persediaan minyaknya cukup untuk mensuplai kebutuhan Jepang
selama 120 hari. Namun, rasa was-was di kalangan pengusaha dan
pemerintah Jepang itu belum hilang benar, mengingat 63% dari
kebutuhan minyak Jepang harus melewati itu Selat Hormuz, yang
lebarnya 40 kilometer.
Mereka pun secara diam-diam dikabarkan telah bersedia menampung
lebih banyak minyak dari pasaran spot (tunai). Dan dari kawasan
Asean, Jepang juga mengandalkan kemampuan produksi minyak
Malaysia dan Indonesia.
Direktur pelaksana FEOT (Far East Oil Trading Co.), Tomio
Kimura, dalam suatu wawancara dengan The Asian Wall Street
Journal baru-baru ini, mengatakan bahwa Malaysia - yang kini
menghasilkan 220.000 barel sehari - mampu menaikkan produksi
minyaknya menjadi 300.000 barel sehari. Juga Brunei. Tapi dia
tak melihat bahwa RRC, yang produksinya kini sedikit di atas 1,2
juta barel sehari, dalam waktu dekat ini bisa memompa lebih
banyak.
Indonesia? Langganan lama FEOT ini menurut Kimura, "bisa
menaikkan produksi minyaknya sampai 1,6 juta barel sehari,"
katanya. Indonesia, di masa lalu, pernah mencapai rekor produksi
rata-rata 1,68 juta barel sehari, tapi kemudian menurun karena
lesunya pasaran dan, yang terakhir, adanya kuota dari OPEC. Kini
Indonesia resminya hanya boleh memproduksikan minyaknya 1,3 juta
barel.
Beberapa kalangan minyak di Jepang mengatakan bahwa produksi
minyak Indonesia sejak April lalu sudah mulai bertambah. Dan di
bulan Agustus lalu, produksi rata-rata sehari bahkan sudah
mencapai 1,54 juta barel, termasuk produksi jenis kondensat
(conlensate) sekitar 80.000 barel sehari, yang oleh organisasi
negara-negara eksportir minyak (OPEC) dianggap bukan termasuk
minyak mentah tulen (TEMPO, 15 Oktober).
Untuk mencapai sasaran pajak perseroan minyak yang Rp 8,6
trilyun Iebih dalam tahun fiskal sekarang, sudah semestinya
kesempatan baik itu tidak dilewatkan. Tapi, naga-naganya,
Indonesia merasa keberatan kalau sampai dituduh telah melanggar
konsensus OPEC - suatu 'konsensus' yang dalam praktek belum
pernah dipatuhi beberapa anggota OPEC, termasuk Arab Saudi,
penghasil minyak paling besar.
Direktur utama Pertamina, Joedo Sumbono, dalam suatu wawancara
dengan TEMPO, pekan lalu mengesankan bahwa Indonesia selama ini
masih mematuhi konsensus itu. Ia juga dengan tegas menolak
pemberitaan yang menuding Indonesia telah ikut terjun dalam
pasaran spot, dan memberikan potongan harga 80 sen sampai satu
dolar, untuk produksi minyak yang terbatas antara 150.000 dan
200.000 barel sehari.
"Itu tidak betul," kata Joedo Sumbono. Jadi, bagaimana
orang-orang di Jepang bisa mengatakan begitu? "Begini," kata
Joedo sembari membetulkan duduknya. "Sejak dulu, Indonesia
mempunyai dua pembeli di Jepang: FEOT dan JIOC. Dan kedua
pembeli itu tak dibenarkan menjual di bawah harga yang
ditetapkan oleh pemerintah."
Tapi, agar kedua pembeli setia minyak Jepang itu (FEOT dan JIOC
- Japan Indonesia Oil Co.) bisa bersaing, direktur utama
Pertamina itu mengakui, telah "menaikkan biaya administrasi dari
20 sen dolar menjadi 50 sen dolar untuk setiap barel." Katanya
"Kalau dari 50 sen dolar itu ada yang ingin mereka bagikan, itu
urusan mereka."
Dengan cara menaikkan "biaya administrasi" itu, Joedo Sumbono
berpendapat bahwa Indonesia tak bisa dikatakan telah memberikan
potongan harga. Pemberian potongan harga dari Indonesia, menurut
Joedo, dilakukan oleh perusahaan-perusahaan minyak asing di
Indonesia, termasuk Caltex, produsen jenis Sumatran Light Crude
atau Minas itu.
Sekalipun begitu, direktur utama Pertamina itu mengakui, makin
terasa saingan minyak Indonesia di pasaran Jepang. Minyak dari
Arab Saudi, yang bukan milik Petromin, tapi kepunyaan para syekh
di sana, makin merasuki pasaran di Jepang melalui pasaran spot.
Demikian pula dari Kuwait dan Iran. Dari negeri Imam Khomeini
itu, menurut Joedo, bahkan sudah dilakukan barter: minyak mereka
ditukar dengan mobil Toyota ....
Masih ada lagi saingan minyak Indonesia, yang datangnya dari
dalam kandang sendiri: LNG. Jepang, selain masih bertahan
sebagai pembeli terbesar minyak Indonesia, rupanya makin
menyukai gas alam cair (LNG) dari Indonesia. Investasi untuk
pabrik LNG, seperti kata Joedo Sumbono, jauh lebih mahal dari
investasi untuk mengebor minyak. Tapi untuk jangka panjang,
"pemakaian LNG dianggap lebih murah karena tak menimbulkan
polusi seperti minyak," katanya. Ia juga setuju, banyak industri
di Jepang, terutama perusahaan listrik, yang bisa digerakkan
dengan menggunakan kedua bahan bakar itu.
Kedudukan Jepang sebagai pembeli utama minyak dan LNG di atas
angin. Kalau saingan minyak Indonesia lebih banyak datang dari
kawasan Timur Tengah, maka saingan LNG - yang menurut Joedo
"patut diperhatikan" - adalah Malaysia dan Brunei, yang
mengerahkan pasaran LNG-nya ke Jepang.
Itu pula sebabnya Joedo Sumbono sering berkampanye tentang LNG
kalau berkunung ke luar negern Selam sudah punya pasaran di
Korea Selatan, yang sudah meneken kontrak dua juta metrik ton
LNG selama 20 tahun, mulai tahun 1986, orang Nomor 1 di
Pertamina itu juga sedang mengincar daerah lain, seperti Hawaii
dan Taiwan.
Menurut Joedo, kelebihan LNG Indonesia itu adalah jumlah
cadangan gasnya yang berlimpah. "Bisa lebih dari 40 tahun,"
katanya. "Pembeli seperti Jepang menyukai LNG Indonesia karena
kita mampu mensuplainya secara kontinyu." Adapun cadanan gas
alam Indonesia yang sudah diketahui (proven reserve),
menurutJoedo, berjumlah 15 trilyun ton, sedang Malaysia, yang
memiliki ladang gas alam di daerah Bentalu, mempunyai 5 trilyun,
dan 1,5 trilyun ton untuk Brunei.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini