KILANG minyak di Balikpapan, yang diresmikan Presiden Soeharto 1
November lalu, tampaknya punya suatu kelebihan dibandingkan
kilang minyak di Cilacap, yang selesai tiga bulan lalu. "Berbeda
dengan kilang-kilang minyak lainnya, maka kilang BBM ini juga
mcmiliki unit hydrocracker, " kata Presiden dalam sambutannya,
"yang untuk membangun dan mengoperasikannya memerlukan
penguasaan teknologi tinggi dan mutakhir."
Suatu kesulitan yang terasa sejak pertehahan 1978 pun mulai
bisa diatasi: memecah atau mengolah kembali low sulphur waxy
residue (LSWR). Setiap barel Minas crude yang dihasilkan
perusahaan Caltex, setelah dikilang, mengeluarkan 55% LSWR.
Tentu saja ini memusingkan Pertamina. Sebab bagian minyak Minas
yang dikilang di Indonesia pasti akan menghasilkan LSWR yang
sulit dijual itu.
Perluasan kilang Balikpapan yang dibangun kontraktor utama
Bechtel International Inc. dari AS, dan empat kontraktor besar
asing lain, terdiri dari dua kelompok besar: Pertama, kelompok
kilang hydroskimming, terutama untuk penyulingan minyak mentah
berkapasitas 200.000 barel sehari - sama dengan yang di Cilacap.
Kedua, kelompok kilang hydrocracker, antara lain untuk mengolah
LSWR.
Produksi LSWR yang di tahun 1978 rata-rata berjumlah sekitar
115.000 barel sehari, dan kini diperkirakan masih sekitar 80.000
barel sehari, tak lagi menjadi soal jika sudah bisa diolah di
dalam negeri. Hasilnya antara lain, berupa kerosin (minyak
tanah), solar, dan untuk usaha yang membutuhkan pembakaran yang
cepat, seperti pembakaran gamping dan listrik. Pabrik
hydrocracker juga bisa dikaitkan untuk membuat petrocokes, untuk
digunakan dalam proyek peleburan aluminium di Asahan.
Pertamina, sejak 1979, memang sudah mulai membangun pabrik
hydrocracker di Dumai, yang kurang lebih akan menelan US$ 1
milyar, oleh dua kontraktor Spanyol.
Tapi unit hydrocracker yang di Balikpapan, menurut Pertamma,
merupakan "yang terbesar di dunia hingga saat ini". Maka
persoalan LSWR yang sulit mendapat pasaran itu, menurut
Pertamina, "telah dapat diatasi".
Seluruh kelompok kilang hydrocracker di Balikpapan itu meliputi
lima unit: Satu unit penyulingan hampa untuk mengolah residu,
yakni produk samping dari unit penyulingan minyak mentah guna
menghasilkan distilat berat, berkapasitas 80.000 barel sehari.
Dua unit hydrocracker untuk mengolah LSWR menjadi kerosin dan
solar sebagai produk utama, berkapasitas 55.000 barel sehari,
dan dua unit pabrik untuk mengolah gas alam menjadi gas
hidrogen, yang diperlukan untuk proses hydrocracker,
berkapasitas 15 juta kaki kubik per hari.
Minyak mentah yang akan dikilang di Balikpapan juga akan
disuplai dari ladang miyak Handil sebanyak 120.000 barel sehari,
dan ladang minyak Bekapai sejumlah 80.000 barel sehari.
Sedangkan kilang minyak Cilacap, yang berkapasitas sama, setiap
hari masih perlu mengimpor 100.000 barel Arabian Light Crude
dari Arab Saudi. Sisanya, 60.000 dan 40.000 barel, masing-masing
akan dipenuhi dari lapangan Arjuna dan Ataka.
Impor jenis ALC itu akan tetap diperlukan mengingat minyak
mentah Indonesia mengandung kadar lilin terlalu tinggi. Untuk
mengolah menjadi minyak pelumas terasa mahal. Sekarang kilang
Cilacap itu kuran lebih baru memproses sekitar 60.000 barel
minyak mentah sehari. Jumlah yang sama akan datang dari
Balikpapan. Dengan begitu, ketergantungan Indonesia dari
Singapura akan semakin berkuran.
Empat kilang minyak di Singapura tadinya memproses 170.000 barel
minyak mentah untuk Indonesia. Ketika meresmikan kilang minyak
Cilacap, Menteri Pertambangan dan Energi Dr. Subroto
memperkirakan, mulai awal tahun depan, Indonesia tak lagi akan
mengimpor BBM dari Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini