BANYAK orang penasaran pada semen. Minggu lalu, di tengah
hiruk-pikuk, melonjaknya harga semen dari harga pedoman
setempat (HPS) Rp 2.850 jadi rata-rata Rp 3.500 per kantung di
Jakarta dan Jawa Barat, Menteri Perdagangan Rachmat Saleh sempat
mengeluarkan ancaman akan mencabut izin usaha perusahaan yang
terbukti berspekulasi. "Kami terus akan mencari siapa biang
keladi bencana ini," katanya.
Acaman itu bisa dipahami mengingat kenaikan harga semen di
daerah pusat produksi semen ini terjadi setidaknya tiga kali
dalam tahun ini. Yang pertama, menjelang awal tahun ini, sebelum
devaluasi yang kedua, tatkala Maret lalu HPS akan disesuaikan
dan yang terakhir awal Oktober - persis sebulan setelah grup
Indocement melaksanakan upacara besar peresmian pengoperasian
tanur putar ke-6 di Citeureup, Bogor. Waktu itu bahkan
disebut-sebut dengan pengoperasian tanur ke-6 itu berarti
Indocement menambah kapasitas produksinya 1,5 juta ton lagi
setiap tahun. Dengan demikian mereka akan menghasilkan semen
sekitar, 4,7 juta setahun atau sekitar 40% dari total produksi
sekitar 11 juta ton.
Mengapa tiba-tiba suplai bisa kurang di Jakarta dan Jawa Barat?
"Itulah yang membingungkan kami. Di atas kertas, semuanya
diperkirakan cukup, ternyata di lapangan kurang," kata seorang
anak buah Menteri Rachmat Saleh.
Dia mengatakan, suplai buat Jakarta dan Jawa Barat rata-rata
tiap bulan direncanakan sekitar 180.000 ton. Indocement
mensuplai 60% dan Semen Cibinong 40 %. "September lalu,
berdasarkan laporan pabrik, bahkan sudah disuplai 15 % di atas
rencana, tapi tetap kurang," katanya lagi. Ke mana perginya,
itulah yang kini masih diselidiki. Dia tak menolak kemungkinan
adanya spekulasi. Dalam tata niaga semen, jika diusut, soal itu
akan menyangkut setidak-tidaknya empat pihak: pabrik, agen
pemasaran, distributor, dan toko pengecer. Sudwikatmono,
direktur utama kelompok Indocement, cepat membantah begitu
kemungkinan adanya spekulasi itu diramaikan. "Tak ada penimbunan
di pabrik, kenaikan terjadi karena meningkatnya daya beli di
atas 30%, dari biasa," katanya.
Dia mengatakan, Indocement malah sudah mensuplai habis-habisan
produknya. "Kami bahkan sudah meminta karyawan kerja lembur
sampai pukul 02.00 dinihari untuk menaikkan produksi, tapi
karena permintaan besar, jadi tak cukup," katanya. Tak hanya
itu, penghasil semen Tiga Roda ini juga telah mengalihkan
pengiriman ke luar Jawa.
Jawaban serupa dikemukakan pula oleh direktur muda PT Semen
Cibinong, M. Rachman Mohamad. Dia malah meragukan penimbunan
oleh produsen, terutama oleh Cibinong, karena hampir semua
penjualan dilakukan dengan sistem kontrak pada proyek atau
distributornya. "Selama ini belum terdengar keluhan dari proyek
karena kekurangan semen," kata Rachman. Itu artinya, menurut dia
"distribusi semen cap Kujang lancar."
Seorang staf di PT Semen Tiga Roda Prasetya, agen pemasaran
Indocement, mengisyaratkan, "tipis" kemungkinan distributor
akan berani menimbun semen. "Risikonya besar. Salah-salah
kelamaan sedikit, semen bisa jadi batu," katanya. Di Jakarta,
Prasetya punya 30 distributor. "Mereka sudah kami ingatkan agar
tak mengambil keuntungan besar," kata staf itu. Prasetya,
katanya, menjual semen kepada distributor Rp 2.670 per kantung.
Para distributor dibolehkan menjual dengan untung paling banter
Rp 50 per kantung "Bahkan ketika pasar lesu, ada yang menjual
modal," katanya. Dengan cara itu, pengecer bisa menjual harga
sesuai dengan HPS, sekitar Rp 2.850 per kantung.
Benarkah kini pengecer untung besar? "Tidak benar. Kami beli
memang sekitar Rp 2.700 per kantung dari distributor, tapi itu
dikirim setelah sebulan setor," kata Hendarmin, pemilik toko
Bina Bangunan di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Dia, seperti juga
beberapa pengecer lain, paling cepat menerima semen setelah tiga
minggu membayar ke distributor. "Jadi, tidak salah kalau kami
jual agak mahal karena, setelah dihitung, modalnya juga mahal,"
katanya sengit.
Betapapun dia mengaku, setelah gejolak harga pekan lalu, terasa
gairah menjual semen."Biasanya, kami untung paling sekitar Rp 50
sekantung, tapi sekarang bisa juga Rp 250," katanya. Dia menilai
bahwa itu wajar karena barang (semen) memang sulit diperoleh.
Pengecer lain di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, menganggap
sistem distribusi sebagai salah satu yang harus diperbaiki agar
suplai semen terjamin. "Sistem sekarang ini harus diubah karena
mengharuskan pengecer menghitung biaya uang yang tertahan di
tangan distnbutor," katanya. Lagi pula, "apa sih repotnya
mensuplai dengan cepat semen ketangan kami, 'kan jaraknya juga
hanya sekitar 60 km," katanya.
Gayung pun bersambut. Tiga Roda pekan lalu mulai melancarkan
crashprogram mengirim sekitar 2.000 ton semen ke 170 pengecer di
Jakarta. Dan ternyata, seperti yang dikemukakan seorang
distributor Cibinong kepada TEMPO, "produsen bisa
melakukannya." Jadi, mengapa selama ini distribusi agak lama
berjalan, "itulah yang perlu diusut," katanya lagi.
Begitulah, kisah semen yang mirip dongeng sang bangau, sang
kodok, dan sang hujan itu sementara beakhir. Sampai lain kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini