KANTUNG uang di Bank Indonesia, sepanjang pekan silam, melembung bagaikan balon. Valuta asing yang masuk ke bank sentral itu hampir 400 juta dolar, sedangkan yang keluar tercatat hanya 18 juta dolar. Tak jelas, apakah valuta asing itu dijual oleh bank-bank yang kesulitan likuditas ataukah karena para manajer uang di sini mulai takut pada si hijau. Dolar memang sudah diduga bakal melemah, terutama sejak Martin Feldstein angkat bicara. Penasihat ekonomi Gedung Putih ini mengatakan -- sebelum pemilu -- bahwa kalau AS mau menekan defisit perdagangannya, maka kurs dolar harus diturunkan sekitar 20% terhadap valuta asing Eropa dan Jepang. Begitu tersiar bahwa George Bush-lah yang memenangkan pemilu, kontan nilai dolar merosot. Bukankah Feldstein ada menyarankan agar dolar sebaiknya meluncur dari 125 yen menjadi 100 yen? Seminggu sebelum pemilu, peluncuran itu mulai terjadi, dari 124,6 yen menjadi 123,2 yen per US$1, hanya dalam lima hari. Walaupun menurut Feldstein, penurunan itu harus bertahap selama rentang waktu tiga tahun, para manajer keuangan internasional rupanya tak mau menunggu sampai tahun 1991. Pekan silam mereka berlomba menukar dolar ke valuta lain. Di Jakarta, pun, menurut seorang petugas dari sebuah bank asing, sudah ada yang menukar simpanan dolarnya ke valuta franc Swiss atau ringgit Malaysia. Banyaknya penjualan dolar menyebabkan mata uang Amerika itu merosot tajam. Kursnya terhadap yen, yang turun 2 angka itu, persis sama seperti Januari 1988. Jelas terlihat betapa dolar kehilangan "kesaktiannya". Hanya faktor politis (pemilihan presiden AS) yang memungkinkan kurs dolar tertunjang beberapa bulan -- September lalu, kurs US$1 tertopang sampai 135 yen. Walau memilih pendekatan yang realistis, manajemen ekonomi AS tak mau membiarkan kurs dolar terjun bebas seperti dua tahun lalu. Dalam perundingan keuangan internasional tempo hari, pakar-pakar AS konon menguap jika pembicaraan membahas kurs dolar. "Kurs mau jatuh berapa pun, kami tak peduli. Kalau perlu, satu dolar jadi satu yen," kata mereka. Tapi kini orang Amerika sadar, betapa pahitnya kalau dolar dibiarkan terjerembab. Risikonya banyak. Membiarkan dolar jatuh samalah artinya dengan membiarkan kekayaan AS seperti gedung-gedung, saham, bahkan perusahaan-perusahaan Amerika dikuasai orang asing. Kini, bank sentral AS (Federal Reserve Bank) tak ingin lagi menaikkan suku bunga perbankan untuk menarik investor asing. Seperti diketahui, Amerika, yang dulunya dikenal sebagai negara kaya pemberi kredit, dewasa ini telah berubah menjadi negara debitur terbesar di dunia. Utang luar negeri AS (pemerintah dan swasta) tahun 1987 sudah mencapai US$2,6 trilyun. Untuk membayar bunganya saja, AS harus menyisihkan sekitar US$150 milyar setahun atau sekitar 38% dari pajak. Bagaimanapun, keuangan AS harus dirapikan. Presiden George Bush diduga masih akan mempertahankan anggaran defisit untuk memperkuat pertahanan. Celakanya, pendukung Bush di Kongres hanya sekitar 54%, sehingga dikhawatirkan ia takkan mampu mempengaruhi lembaga legislatif itu untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak. Lagi pula, Bush sendiri kabarnya sudah berjanji tidak akan menaikkan pajak. Kalau benar demikian satu-satunya jalan yang terbuka adalah melaksanakan gagasan Feldstein: menurunkan kurs dolar. Tapi jika nilai dolar jatuh, itu berita buruk bagi Indonesia. Devisa yang dikumpulkan dari ekspor dalam dolar secara riil akan berkurang. Sementara itu, kewajiban pemerintah atau perusahaan-perusahaan untuk membayar utang luar negeri yang dihitung dalam yen atau valuta Eropa semakin berat. MW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini