DI tengah gejolak perbankan pekan silam, masalah APBN dan neraca pembayaran tiba-tiba mencuri perhatian khalayak ramai. Adalah wakil rakyat di DPR yang melemparkannya ke masyarakat lewat pers, setelah membaca laporan pemerintah tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Perkembangan Harga, Perkreditan, dan Devisa Semester Pertama Tahun 1988-1989. Laporan itu mulai dibahas DPR bersama Menteri Keuangan Senin pekan ini. Para wakil rakyat itu tampaknya sudah lebih aktif: mereka tak hanya pasif mengikuti laporan pemerintah, tapi juga aktif melakukan riset. Hal itu tercermin dari pertanyaan menyangkut defisit transaksi berjalan (selisih neraca ekspor-impor ditambah neraca jasa-jasa). Dalam buku RAPBN 1988-1989, dikatakan defisit transaksi berjalan bisa ditekan sampai US$654 juta. Tapi wakil rakyat mempertanyakan, bagaimana sekarang bisa dikatakan defisit transaksi berjalan masih akan sekitar US$1,6 milyar? Seorang pejabat Departemen Keuanan mengakui bahwa perhitungan dalam APBN 1988-1989 yang memakai angka US$654 juta itu terlalu optimistis bila dibandingkan defisit transaksi berjalan dalam APBN 1987-1988 yang tercatat masih sekitar US$1,7 milyar. "Dari laporan semester pertama, kemudian kita membuat prediksi semester kedua defisit transaksi berjalan itu diperkirakan masih akan mencapai sekitar US$1,6 milyar. Jadi, sebenarnya wajar dibandingkan tahun anggaran lalu. Kalau ekspor nonmigas bisa meningkat, mungkin bisa ditekan menjadi US$1,3 milyar," tutur pejabat tadi. Ekspor nonmigas telah meningkat, sehingga jatuhnya harga minyak, menurut pejabat itu, sebenarnya tidak akan terlalu berpengaruh lagi pada neraca pembayaran. Dan kejatuhan harga minyak yang terjadi dalam tiga bulan terakhir belum akan memukul APBN. Tapi penerimaan pemerintah selama April-September 1988 baru tercapai sekitar 43,80% dari target Rp 28.963,6 milyar. DPR menganggap itu bukan masalah serius, karena diduga, sebagaimana biasanya, pemerintah akan meminjam dari luar negeri jika mengalami defisit anggaran. Tapi masalah penerimaaan itu, menurut pejabat dari Departemen Keuangan tadi, sebenarnya berat. Sebab, semula pemerintah mengharapkan penerimaan pajak akan naik rata-rata 30%. "Kenaikan penerimaan dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai (dua pos pajak terbesar) nyatanya tak sampai 20%," kata tokoh yang tak mau disebut namanya itu. Lalu, di mana letak masalahnya? "Banyak faktor non-ekonomis yang mengganjal," katanya lagi. Sebagian faktor itu berada di sisi pemerintah. Secara tidak langsung, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin mengungkapkannya lewat pernyataan bahwa administrasl perpajakan dan pelayanan kepada para wajib pajak masih perlu ditingkatkan, demikian pula usaha pembenahan di lingkungan Direktorat Bea & Cukai. Tapi lubang besar juga berada di kalangan pengusaha. "Ada sejumlah perusahaan milik swasta tak mau membayar pajak. Justru yang besar-besar itu tak bisa ditagih," kata pejabat itu. Kritik tentang perpajakan itu toh ada juga dari DPR. Menurut Hamzah Haz, anggota fraksi PPP itu, bila melihat kemungkinan anggaran tak bisa dipenuhi, pemerintah hendaknya tidak mengambil langkah-langkah sporadis menjelang akhir tahun. Ia tidak menyebutkan contoh, tapi para eksportir rotan tentu masih ingat pengalaman pahit yang terjadi sekitar awal tahun 1988, ketika ekspor rotan setengah jadi tiba-tiba dinaikkan pajaknya. Padahal, apa yang dikhawatirkan Hamzah Has itu sebenarnya sudah terjadi lewat Pakto. "Kan suku bunga deposito mulai Senin ini dipajaki, dan bank-bank harus menanamkan sebagian dari nisbah tunai mereka dalam SBI selama 18 bulan," kata seorang pengamat lainnya. MW, dan Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini