Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA bilang lesunya angkutan laut disebabkan kurangnya barang yang diangkut? Sebab, PT Armanto Srimani Mardanus (ASM), PMDN yang memproduksi peti kemas, minggu lalu memperoleh pesanan 120 peti kemas dari United Enterprises International, AS, senilai hampir satu juta dolar. Padahal, order 150 unit peti kemas yang diperolehnya dari Pelni, beberapa bulan lalu, belum selesai dikerjakan. Mengejutkan memang. ASM, yang didirikan 1977, mula-mula hanya bergerak di bidang pembuatan besi siku-siku. Kini usahanya meluas hingga ke galangan kapal. Industri peti kemas sendiri baru dimulainya pada 1981. "Semula hanya sebagai usaha sampingan," kata Armanto S. Mardanus, Direktur Keuangan ASM. Tapi, rupanya, usaha sampingan itulah yang kini lebih menarik. Untuk itu, ASM sudah mempunyai perwakilan pemasaran di AS dan Singapura. Sementara itu, di Hong Kong, "Untuk menghadapi persaingan dengan peti kemas RRC, kami bekerja sama dengan Hang Seng Enterprise," kata Armanto. Sebab, di negara dagang teramai di dunia itu, Hang Seng merupakan satu-satunya perusahaan yang mengageni peti kemas. Jadi, meskipun produk ASM jatuhnya lebih mahal dibanding RRC, "Bisa laku, asal komisinya menarik bagi Hang Seng," ujarnya. Contohnya, peti kemas ASM berukuran 20 kaki yang harganya antara US$ 3.500 dan US$ 4.000 per unit, oleh RRC bisa dibanting sampai US$ 2.000. Padahal, beberapa negara maju yang juga membuat peti kemas, seperti Singapura dan Australia, tidak mampu menjual di bawah US$ 5.000. "ASM bisa bersaing karena buruh di Indonesia murah, tapi rupanya di RRC lebih murah lagi," kilahnya. Dan, karena kemampuan menembus pasar itulah, ASM bisa memasarkan 75% dari hasil produksinya ke pasar ekspor. Beberapa perusahaan bertaraf internasional, seperti Sea Containers Atlantic (Inggris), Scan Shipping (Denmark), dan Singapore Marine Containers, diakui Armanto sebagai langganan ASM. Tidak hanya itu, di pasar dalam negeri pun ternyata produk ASM cukup dikenal. Kelebihan lain, peti kemas buatan ASM kuat disusun sampai tiga tumpukan. "Itu merupakan salah satu kelebihannya, sebab peti kemas buatan luar pun belum tentu sekuat itu," tutur Marsongko, Staf Direksi Pelni. Memang, untuk memperoleh kualitas prima, ASM sampai sekarang masih mengimpor 30% bahan baku yang digunakannya, meskipun untuk itu ASM harus membayar bea masuk 100%. "Itu semata-mata untuk memenuhi standar yang ditentukan konsumen," kata Peddy Bambang R. Sutanandika, Direktur Produksi ASM. Bukan kerja percuma, memang, omset ASM untuk usaha peti kemas saja sekarang sudah mencapai rata-rata Rp 1,5 milyar setahun. Investasinya pun kini sudah berlipat dari hanya Rp 200 juta pada 1981, menjadi Rp 2 milyar. "Investasi sebesar itu belum mencukupi, kalau kita hendak membuat pabrik yang modern," kata Armanto. Ini terlihat dari alat-alat produksi tahun 50-an yang masih digunakan ASM. Sedangkan untuk memodernisasikan, sedikitnya dibutuhkan investasi Rp 5 milyar. "Memang, sementara ini, kekuatan kami ada pada tenaga," ujar Armanto, yang membawahkan 90 pekerja. Sesuai dengan prinsipnya, peti kemas hanya sebagai usaha sampingan, karena ASM tetap mengoperasikan galangan kapalnya. Konon, untuk tahun ini saja, ASM akan menyelesaikan dua kapal tunda berkekuatan 200 tenaga kuda pesanan Pertamina. Di samping itu, ASM juga mengerjakan order membuat konstruksi baja Industri Pesawat Terbang Nusantara II dan IV di Bandung. Dan yang jelas, ASM tidak melepaskan kerja pertamanya di bidang peti kemas, yakni usaha penitipan dan perbaikan peti kemas. Mumpung belum ada saingan. Budi Kusumah Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo