Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH impian yang tak menjadi kenyataan: tahun ini harga aluminium bergerak antara US$ 1.600 dan US$ 1.800 per ton. Perkiraan Menteri Perindustrian A.R. Soehoed, dalam buku Impian yang Menjadi Kenyataan mengenai proyek Asahan, ketika itu, memang tak terwujud. Ekspor aluminium dari PT Inalum (Indonesia Asahan Aluminium), yang tahun ini diramalkan akan mencapai USS 363 juta, nyatanyata hanya impian. Di Bursa Logam London, pekan ini, harganya malah hanya tercatat US$ 1.140, padahal di awal 1985 pernah US$ 1.400. Sialnya lagi, di tengah kemerosotan harga itu, mata uang yen menguat lebih dari 30% nilainya melawan dolar Amerika sejak September lalu. Akibatnya, Nippon Asahan Aluminium Co. (NAAC), pekan lalu, menjerit keras sekali. Pemegang saham mayoritas (75%) di PT Inalum itu minta pada lembaga keuangan pemberi pinjaman agar diperbolehkan ngemplang utang (reschedulling) selama dua tahun mulai pekan ini. Seharusnya, kalau semua proyeksi harga itu benar, pekan ini, NAAC harus membayar cicilan 28 milyar yen. Angsuran sebesar itu, menurut koran Nihon Keizai Shimbun, merupakan cicilan pertama atas utang pokok 220 milyar yen. Kewajiban itu jadi tak bisa dipenuhi NAAC, karena dengan melemahnya harga aluminium, pendapatan pemegang saham ini dalam dolar jadi mengecil. Sementara itu, seluruh utang dibuat dalam mata uang yen. Kesulitan NAAC jelas bermula dari kesulitan Inalum. Kalau saja hasil ekspor yang diperoleh Inalum cukup memadai, maka pemegang saham seperti NAAC tentu akan menerima pembagian keuntungan lumayan, yang bisa digunakan untuk membayar utangnya. "Para pemegang saham memahami situasi suram itu, dan mereka sekarang sedang berusaha mengubah perjanjian dasar dengan pihak pemben pinjaman," kata Agustar Idris, Manajer Umum Inalum. "Kami minta penundaan untuk memperoleh kesempatan bernapas." Permintaan itu rupanya ditanggapi. Exim Bank Jepang, Overseas Economic Cooperation Fund (OECF), Japan International Cooperation Agency (JICA), dan sejumlah bank komersial setuju memberikan penundaan cicilan selama dua tahun. Kantor Berita Antara di Tokyo tidak merinci lebih jauh kesepakatan penundaan itu. Tapi boleh jadi pihak pemberi kredit tak memberi persyaratan tambahan hingga usaha anggota NAAC tadi jadi jungkir balik hanya karena dipaksa membayar utang pokok tepat waktu. Menurut buku yang ditulis A.R. Soehoed, yang ketika itu juga Ketua Otorita Pengembangan Proyek Asahan, Exim Bank Jepang, OECF, dan JICA secara bersama-sama memberikan pinjaman kepada NAAC lebih dari 167 milyar yen. Bunga pinjaman dari OECF kabarnya 3,5% dengan jangka pengembalian 25 sampai 30 tahun. Sedang dari Exim Bank Jepang bunganya 8%. Masa tenggang pembayaran enam sampai delapan tahun. Tapi seluruh pinjaman yen untuk mendirikan pusat listrik tenaga air dan peleburan aluminium sesungguhnya lebih dari angka itu. Dari jumlah investasi 411 milyar yen, hampir 320 milyar yen berasal dari pinjaman. Modal para pemegang saham sendiri hanya sekitar 91 milyar yen (22%) - 22,7 milyar (25%) dari pemerintah RI dan 68,3 milyar yen (75%) dari NAAC. Pemegang saham mayoritas ini hakikatnya merupakan konsorsium Grup Sumitomo, Nippon Light Metal, Showa Denko, Mitsubishi Chemical, dan Mitsui Aluminium. Modal yang disetorkan pihak NAAC, 34 milyar di antaranya ternyata berasal dari pinjaman lunak OECF. Uang yang diambil dari kantung anggota konsorsium sendiri sebenarnya tak lebih dari 34,3 milyar yen. Tak heran kalau kemudian NAAC mendapat pukulan paling awal akibat kenaikan kurs yen. Bayangkan, untuk membayar kembali seluruh utangnya yang 220 milyar yen itu, konsorsium ini harus menyediakan angsuran 30% lebih banyak dari utang semula hanya karena kurs yen menguat. Belum termasuk bunganya. Bagi pemerintah Indonesia akibat itu tampaknya juga tidak ringan. Untuk mendirikan Inalum itu, pemerintah mendapat pinjaman langsung sekitar 32 milyar yen, dan pinjaman tak langsung hampir 121 milyar yen dari OECF dan Exim Bank Jepang. Total utang yang harus ditanggung 153 milyar yen. Karena semua perjanjian pinjaman itu juga ditandatangani bersamaan saatnya dengan NAAC, mestinya, pekan ini juga pemerintah harus mulai mengangsur pinjaman pokok itu. Kalau pemegang saham mayoritas sudah minta penundaan, apakah si minoritas akan bertahan? Tidak ada yang menyangka, memang, harga dolar, yang ketika Inalum didirikan 6 Januari 1976 masih 260 yen, sekarang tinggal 170 yen saja. Juga tak ada yang mengira proyek Asahan yang semula direncanakan hanya menelan investasi 250 milyar yen kemudian menggelembung jadi 411 milyar yen. Tak heran kalau karena situasi itu, dari 1983-1985, Inalum rugi US$ 47 juta. Toh, Manajer Umum Agustar Idris tak bisa berharap harga aluminium akan membaik dalam waktu dekat, karena negara industri belum sepenuhnya bebas resesi. "Di samping itu, persediaan aluminium dunia masih sekitar dua juta ton - belum termasuk aluminium tua 2,5 juta ton yang bisa dicor kembali," katanya. Menghadapi situasi berat itu, apa boleh buat, Inalum terpaksa banyak berhemat. Perundingan dengan pihak pemasok bahan baku (bauksit) untuk minta penurunan harga kini tengah dilakukan juga. "Dalam keadaan seperti itu kami sampai saat ini tidak melakukan PHK," kata Agustar Idris. Artinya, 2.800 karyawannya masih bisa bekerja dengan tenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo