Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permata Tolak Lamaran
Urusan lamar-melamar memang bukan melulu urusan orang tua. Aspirasi si anak, yang kelak akan menjalani perkawinan, jelas tak boleh diabaikan. Prinsip itu pula yang dipegang manajemen PT Bank Permata Tbk. sehingga memberanikan diri turut bersuara menanggapi lamaran merger dari PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI).
Dan ternyata suara yang keluar adalah penolakan. "Ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi," kata Komisaris Utama Permata, Aditiawan Chandra, di Jakarta, Rabu pekan lalu.
Direktur Utama Permata, Agus Martowardojo, menjelaskan bahwa Permata sudah mengambil keputusan untuk tetap menjadi focus bank sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Dengan modal Rp 1,7 triliun dan aset senilai Rp 29 triliun, manajemen menilai pilihan untuk terfokus lebih tepat ketimbang melebur dengan BNI.
Lamaran itu juga dinilai terlalu cepat dan buru-buru. Sebab, Permata baru terbentuk September 2002 lalu, sebagai hasil penggabungan PT Bank Bali Tbk., PT Bank Universal Tbk., PT Bank Patriot, PT Bank Prima Ekspress, dan PT Bank Artamedia. "Merger jadi lebih berisiko karena yang lalu saja belum selesai."
Meski begitu, Agus agaknya cukup tahu diri dengan mengatakan bahwa manajemen sebenarnya tidak dalam posisi untuk menerima atau menolak. Sebab, apa pun pendapat manajemen, keputusan tetap ada di tangan pemerintah sebagai pemilik 97,66 persen saham Permata.
Pemerintah Talangi Pertamina
Nasib baik rupanya masih hinggap ke PT Pertamina. Saat arus kas masih didera kesulitan, pemerintah bersedia menalangi kewajiban perusahaan minyak tersebut untuk membayar klaim Karaha Bodas Company (KBC).
Jumlahnya juga tak kecil, US$ 250 juta (Rp 2,12 triliun, kurs Rp 8.500 per dolar AS) dari total ganti rugi US$ 294 juta (Rp 2,49 triliun) yang harus dibayar Pertamina. Dana itu berasal dari 12 rekening Pertamina di Bank of New York dan Bank of America yang dibekukan pengadilan atas permintaan KBC.
Dana talangan tersebut kemudian akan dijadikan sebagai penyertaan modal pemerintah di Pertamina. "Pembayaran oleh pemerintah tidak terelakkan karena kami tak punya uang," kata Alfred Rohimone, Direktur Keuangan Pertamina.
Sebelumnya, pengadilan di New Orleans, Amerika Serikat, pada Maret memutuskan Pertamina harus membayar ganti rugi kepada KBC sebesar US$ 294 juta. Ganti rugi itu berkaitan dengan dihentikannya proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Karaha di Garut, Jawa Barat, saat Indonesia mulai dilanda krisis moneter pada 1998 silam. Namun, KBC tidak menerima hal ini dan kemudian melayangkan gugatan.
Listrik Tak Padam
Ingatlah janji ini. Walau pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sedang mengalami masalah, pemerintah menjamin tidak akan melakukan pemadaman listrik. Seperti diketahui, kelancaran pasokan listrik di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Jawa Barat, dan Banten saat ini rentan karena pembangkit listrik tenaga uap Suralaya sedang didera kekurangan pasokan bahan bakar batu bara. "Pemerintah berusaha mencari pasokan ke produsen lain," tutur Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Yogo Pratomo, Kamis pekan lalu.
Berdasarkan kontrak yang ditandatangani dengan PLN, PT Bukit Asam harus memasok batu bara ke Suralaya sesuai dengan kebutuhan. Tahun ini targetnya mencapai 6,7 juta ton, untuk memproduksi listrik 3.400 megawatt. Namun, karena kekurangan batu bara, kapasitas produksi kini hanya 2.200 megawatt.
Alternatif lain yang disiapkan adalah mengganti bahan bakar dari batu bara ke bahan bakar minyak. "Tapi ini tidak gampang dan lebih mahal," kata Yogo.
Peringkat Utang Membaik
Lembaga pemeringkat internasional, Standard & Poor's, menaikkan peringkat utang Indonesia dari B menjadi B+ atau dari stabil menjadi positif.
Penilaian tersebut merefleksikan kemampuan Indonesia melanjutkan kemajuan dan stabilitas ekonomi makronya. "Serta bukti stabilnya nilai tukar, inflasi yang terus menurun, dan suku bunga yang terjaga lebih rendah," kata analis kredit lembaga itu, Agost Benard, di Singapura, Rabu pekan lalu.
Kemajuan ini membantu posisi fiskal pemerintah, yang tahun ini ditargetkan defisit 1,2 persen. Sukses pemerintah dalam melakukan penataan jatuh tempo (reprofiling) utang-utang dalam negeri dari rata-rata 4,4 tahun menjadi 7,8 tahun juga memperingan beban pembayaran bunga.
Rupiah Melemah
Setelah beberapa waktu stabil pada kisaran Rp 8.500 per dolar AS, kurs rupiah mulai tertekan lagi hingga mendekati Rp 9.000 per dolar AS pekan lalu. Situasi ini sedikit-banyak memicu kepanikan di kalangan dunia usaha. Maklum, ketergantungan terhadap bahan baku impor sangat tinggi. Jadi, jika kurs rupiah terus melemah, biaya produksi akan meningkat. Ujung-ujungnya, harga jual produk akan naik pula.
Karena itu, buru-buru dunia usaha meminta kepada otoritas moneter melakukan intervensi supaya rupiah kembali menguat.
Bagi pengusaha, kata Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia, Djimanto, kurs berada pada level aman jika bergerak pada kisaran Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per dolar AS. "Asal jangan lebih dari Rp 9.000," kata Djimanto kepada pers, pekan lalu.
Bank Indonesia selaku otoritas moneter juga cepat tanggap. Bank sentral sudah menyiapkan langkah-langkah intervensi pasar agar kurs rupiah tidak merosot terus. "Kami akan menjaga agar rupiah tidak terlalu berfluktuasi," kata Deputi Gubernur BI, Aslim Tajuddin.
Bedol Desa Lagi
Bagi Anda yang bosan dengan kesumpekan di Pulau Jawa, cobalah ikuti program ini. Pemerintah tahun ini akan memindahkan 15 ribu kepala keluarga ke daerah yang tidak padat penduduknya. Tak hanya dari Jawa, program "bedol desa" ini juga memindahkan penduduk dari Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara.
Pemerintah menganggarkan dana Rp 600 miliar untuk menyukseskan program tersebut. Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, program transmigrasi ini berbeda dengan yang terdahulu. Sebelumnya, penduduk di lokasi transmigrasi seratus persen berasal dari pendatang. "Kini, kami ubah, 50 persen pendatang dan 50 persen lagi penduduk lokal."
Harga Minyak Meroket
Harga minyak dunia terus meroket hingga menembus US$ 41 per barel di New York Mercantile Exchange, Kamis pekan lalu. Ini angka tertinggi selama 21 tahun terakhir sejak minyak diperdagangkan pada bursa komoditas berjangka tersebut.
Peningkatan harga ini dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap ketidakmampuan negara produsen minyak (OPEC) memasok kebutuhan minyak dunia yang terus meningkat belakangan ini. Selain itu, sabotase jalur pipa minyak di dekat pelabuhan Basra (Irak), Sabtu dua pekan lalu, juga menimbulkan kekhawatiran terhadap keamanan pasokan minyak dari Timur Tengah.
OPEC kini bersiap membuat penyesuaian rentang harga baru, menggantikan patokan sebelumnya US$ 22-28 per barel. Di Indonesia, Ketua Panitia Anggaran DPR, Abdullah Zainie, pernah meminta perubahan patokan dalam anggaran negara ketika harga minyak masih pada kisaran US$ 28-32 per barel akhir bulan lalu. Waktu itu Zainie meminta agar asumsi dinaikkan dari US$ 22 menjadi US$ 26 per barel.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, belum memberikan jawaban pasti soal ini. Tapi ia berpendapat angka US$ 26 masih terlampau tinggi. Kepala Badan Analisa Fiskal, Anggito Abimanyu, menyatakan hal senada. Perubahan asumsi harga dalam anggaran masih terlalu dini. "Sebaiknya dilihat realisasinya di semester pertama." Yang pasti, lonjakan harga ini akan membebani anggaran karena berarti subsidi akan membengkak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo