SOSOK sebagian besar perusahaan daerah air minum (PDAM) bak kerakap tumbuh di batu. Punya captive market, tapi tak mampu mencapai skala ekonomi dalam beroperasi, terimpit utang, sekaligus terancam bangkrut. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah menyebut, hanya sekitar 9 persen dari 243 PDAM yang mampu beroperasi secara sehat (lihat tabel).
Pengelolaan yang buruk disebut sebagai biang kebuntungan PDAM. ?Mismanajemen itu penyakit umum PDAM,? ucap Tamin M.Z. Amin, Kepala Sub-Direktorat Air Bersih dan Prasarana Lingkungan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Salah satu bentuknya adalah penetapan harga jual yang tidak mengikuti kalkulator bisnis. ?Ada PDAM yang sengaja merendahkan harga jual karena diminta oleh bupati atau anggota DPRD yang ingin terpilih kembali,? tutur Tamin.
Dengan kegiatan operasi yang jarang untung, sebagian besar PDAM sontak terjepit begitu nilai rupiah meluncur bebas di medio 1997-1998. Tak sedikit PDAM yang ngos-ngosan memenuhi bahan baku penyulingan air yang masih diimpor. Krisis nilai tukar juga memukul PDAM karena mereka menanggung utang dalam bentuk dolar. Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) menyebut, utang seluruh perusahaan air minum daerah pada akhir 2003 mencapai Rp 5,375 triliun, dengan rincian pokok utang Rp 3,6 triliun, bunga pinjaman Rp 1,087 triliun, dan denda pinjaman Rp 682 miliar.
Azab PDAM kian komplet karena pemerintah pusat, yang sedang sibuk menyelamatkan industri perbankan, memilih lepas tangan. Baru pada 2003 pemerintah pusat kembali melirik PDAM. Entah disengaja atau sekadar kebetulan, di tahun itulah pembahasan rancangan undang-undang tentang sumber daya air berlangsung alot. Dalam rancangan undang-undang saat itu, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 7/2004, posisi PDAM dikukuhkan sebagai satu-satunya penyelenggara dan pengembang sistem penyediaan air.
Sebagai pemegang monopoli air, ironisnya kondisi rata-rata PDAM menyedihkan. Sebagian besar PDAM mengalami kesulitan mengembangkan jaringan pelayanan. Departemen Permukiman, sebagai departemen teknis yang mengasuh PDAM, mencatat hanya 39 persen masyarakat perkotaan yang mereguk air bersih made in PDAM. Dengan latar belakang seperti itu, pemerintah melalui Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KPPI) membentuk Sub-Komite Penyehatan PDAM.
Sub-komite yang didirikan pada 2003 itu beranggotakan Bappenas, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, dan Perpamsi. Merekalah yang menetaskan enam kebijakan penyehatan PDAM, dari pendefinisian ulang lembaga penyelenggara air minum hingga percepatan penyelesaian utang PDAM. Selain seabrek kebijakan di atas kertas, penyehatan PDAM juga datang dalam bentuk proyek. Yang pertama kali muncul adalah Proyek Urban Water Supply Improvement and Expansion (UWSIEP).
Proyek dengan anggaran US$ 115 juta (setara dengan Rp 1,035 triliun) itu dibiayai pinjaman dari Bank Dunia sebesar US$ 80 juta. ?Sisanya akan dipenuhi pemerintah pusat, pemda, serta PDAM sendiri,? kata Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas, Basah Hernowo, beberapa waktu silam. Ada delapan PDAM yang dikabarkan meminati proyek ini: Cirebon, Kendari, Jambi, Kabupaten Lebak, Makassar, Manado, Pontianak, dan Banjarmasin. Proyek UWSIEP, yang dimulai tahun silam, kini dalam tahap penilaian kelayakan rencana kerja. PDAM yang lolos akan mendapat kucuran kredit pada September mendatang.
Direktur Utama PDAM Tirta Mayang Jambi, Ir. Agus Sunara, termasuk yang berharap pada proyek UWSIEP. ?Dari mana kita mendapat uang untuk mengatasi itu (operasi yang rugi), sementara selama dua tahun terakhir tidak lagi mendapat bantuan dana dari pemerintah daerah?? ujar Agus. Tirta Mayang hampir setiap tahun didera kerugian operasi akibat biaya produksi yang melampaui harga jual. Tanpa suntikan dana segar, Agus ragu perusahaan yang memiliki 360 karyawan itu mampu membalikkan peruntungannya. Tirta Mayang juga dibayangi ancaman penurunan pelanggan. Agus memperkirakan, tanpa perbaikan kualitas pelayanan, Tirta Mayang akan kehilangan sekitar 2.000-3.000 pelanggan per bulan.
Tirta Mayang membutuhkan dana Rp 65 miliar untuk memperbaiki instalasi pengolahan air dan saluran distribusi. Instalasi yang perlu diperbaiki seabrek, dari intake yang dipakai untuk menyedot air dari Sungai Batanghari, instalasi bak penampung atau pengendap, sampai pompa debit. Tirta Mayang juga merencanakan penggantian dan pengembangan jaringan pipa untuk meningkatkan jumlah pelanggan.
Berbeda dengan Jambi, PDAM Kota Cirebon, Jawa Barat, mengaku tidak terlalu terdesak dana. ?Dalam setahun, kami bisa mendapat laba Rp 500 juta-Rp 1,5 miliar,? tutur Direktur Utama PDAM Kota Cirebon, H. Santoso A. Karena itu, Santoso menyatakan perusahaannya masih mempertimbangkan bantuan Bank Dunia. PDAM Cirebon ragu karena proyek yang mereka idamkan, sumber mata air baru plus instalasi pengolahan, membutuhkan dana Rp 100 miliar.
Bank Dunia hanya bersedia memberi pinjaman 65 persen (dengan bunga 11,75 persen per tahun) dari kebutuhan dana yang diajukan. Sisanya, Rp 35 miliar, harus diusahakan sendiri oleh PDAM Cirebon. ?Dari mana kami harus mendapatkan uang itu?? tanya Agus. Saat ini PDAM Cirebon mengusahakan pinjaman dari APBN dan APBD Jawa Barat. Seandainya rencana itu mentok, Santoso menyatakan akan membatalkan proyek.
Namun, tak semua kalangan menyambut gembira UWSIEP, yang merupakan proyek bantuan asing pertama sejak krisis. Nila Ardhianie, Koordinator Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air Bersih, menengarai program UWSIEP akan berbuntut pada upaya privatisasi. ?Begitu PDAM-nya sehat, nanti diprivatisasi,? Nila menuding. Privatisasi yang dikhawatirkan Nila bukan dalam bentuk penjualan aset (divestiture), yang memang diharamkan Undang-Undang Sumber Daya Air. Yang dicemaskan adalah privatisasi dalam bentuk luas, seperti pengalihan konsesi, perjanjian build-operate-transfer (BOT) ataupun leasing.
Dalam dua bentuk kerja sama yang disebut pertama, mitra swasta ikut menanamkan uang. Dan investor, di sektor mana pun, tentu tak ada yang tidak memperhitungkan tingkat pengembalian. Ujung-ujungnya, tarif air bersih yang dijual akan disetel oleh investor. ?Di Jakarta, tarif air naik empat kali sejak dipegang swasta,? ujar Nila. Konsesi pengolahan air minum di Jakarta dipegang oleh Ondeo Suez dan Thames sejak lima tahun silam.
Pemberian konsesi ataupun BOT sebetulnya bukan praktek baru. Selain Jakarta, Batam adalah kota yang juga menyerahkan konsesi pengolahan air minum ke swasta. Praktek kerja sama BOT juga sudah dilakukan di Medan dan Sidoarjo. Namun, setelah DPR mengesahkan Undang-Undang Sumber Daya Air, 18 Maret lalu, muncul ancaman hegemoni raksasa-raksasa air dunia di Nusantara. Nila menunjuk Penjelasan Pasal 40 Ayat 1 sebagai celah asing mendominasi bisnis basah di Indonesia.
Penjelasan ayat itu menyatakan, air minum adalah air standar yang dapat langsung diminum tanpa harus dimasak dan dinyatakan sehat menurut hasil pengujian mikrobiologi. Standar ini tak realistis karena PDAM se-Indonesia tak memiliki cukup teknologi, apalagi uang, untuk menghasilkan air sebersih itu. Untuk melindungi akses rakyat atas air bersih itulah, Koalisi berniat mengajukan judicial review atas Undang-Undang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi.
Thomas Hadiwinata, Syaipul Bachori (Jambi), Ivansyah (Cirebon), Danto (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini