Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 2025 untuk memberikan keringanan pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi perusahaan di enam sektor industri padat karya. Namun, kebijakan itu dinilai hanya mengatasi masalah di hilir tanpa membenahi persoalan mendasar di sektor hulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai kebijakan tersebut belum cukup untuk mengatasi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda sektor padat karya akibat masuknya barang impor dan menurunnya daya saing industri dalam negeri. "Keringanan pembayaran iuran JKK ini dapat membantu menahan laju PHK, tetapi jika di hulu tidak dilakukan perbaikan seperti membatasi barang impor secara signifikan dan memberikan akses modal dengan bunga rendah, maka ini tidak akan efektif," kata Timboel dalam keterangannya, Rabu, 19 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PP No. 7 Tahun 2025 memberikan diskon pembayaran iuran JKK sebesar 50 persen selama enam bulan, dari Februari hingga Juli 2025, bagi enam sektor industri padat karya yaitu makanan, minuman, dan tembakau; tekstil dan pakaian jadi; kulit dan barang kulit; alas kaki; mainan anak; serta furnitur.
Namun, insentif ini hanya berlaku bagi perusahaan dengan minimal 50 pekerja, sementara perusahaan subkontrak yang mempekerjakan di bawah jumlah tersebut tidak mendapatkan fasilitas serupa. "Seharusnya perusahaan subkontrak juga mendapat diskon iuran JKK, karena mereka juga terdampak. Selain itu, pemerintah harus meminta komitmen perusahaan penerima insentif ini untuk tidak melakukan PHK," ujar Timboel.
Selain insentif JKK, aturan ini juga mengatur rekomposisi iuran JKK ke Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebesar 0,12 persen untuk enam sektor industri padat karya, berbeda dari PP No. 6 Tahun 2025 yang menetapkan 0,14 persen untuk semua sektor.
Sektor padat karya selama ini menjadi tulang punggung penciptaan lapangan kerja formal di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2024 mencapai 7,47 juta orang atau 4,91 persen dari total angkatan kerja, naik dari 7,20 juta orang pada Februari 2024. "Jika sektor padat karya terus melemah, angka pengangguran terbuka bisa terus meningkat di 2025," kata Timboel.
Lebih lanjut, ia menekankan kebijakan pemerintah tidak boleh berhenti pada diskon iuran JKK. "Yang utama adalah membenahi industri padat karya di hulu. Batasi impor, berikan akses modal murah, dan buka pasar ekspor baru agar industri dalam negeri bisa bertahan dan menciptakan lapangan kerja lebih luas,"ujarnya.
Pilihan Editor: Menteri KKP Unggah Narasi Soal Potongan Anggaran di Medsos, Pengamat: Publik Menanti Kejelasan, Bukan Defensif