DI hari Minggu lalu, agak tumben Kinoi, sepupu si Unyil,
pagi-pagi minta dibelikan mainan olah raga buatan luar negeri.
Tapi sang Pakde, Pak Unyil, menyebut semua mainan itu, misalnya
bola sepak, bisa diperoleh secara mudah dan dibuat sendiri
dengan bahan lokal. Bola sepak, katanya, bisa dibuat dari sabut
kelapa.
Cerita film seri TVRI si Unyil Minggu itu memang disisipi pesan
pemerintah: agar anak-anak lebih mencintai produksi dalam
negeri. Sudah sejak beberapa bulan yang silam, lewat pclbagai
forum dan medla, kampanye menggunakan barang produksi lokal
dilakukan. Jadi, janan kaget kalau di belakang kaca mobil ada
tempelan "Saya cinta (dengan lambang jantung hati) buatan RI."
Atau d bumper mobil lain ada anJuran "Ikuti kami, pakai buatan
RI".
Kampanye semacam itu, demikian Dirjen Industri Logam Dasar Eman
Yoasara, mendesak dilakukan sesudah sejumlah negara Industri
yang dihantam resesi besar ramai-ramai membanting harga Jual
pelbagai produk ekspornya. Supaya tidak kalah bersaing melawan
produk impor itu, katanya, vemerintah akan berusaha melindungi
kepentingan industri lokal, baik melalui pengawasan struktur
harga pelbagai komoditi dipasar internasional maupun pembatasan
Impor.
Masih harus dilihat akan berhasilkah upaya itu. Yang pasti,
sampai Agustus lalu Impor barang konsumsi mencapai US$ 547,7
juta. Sedang selama 12 bulan tahun lalu mencapai US$ 1.165,8
juta (lihat grafik). Kampanye itu juga dilakukan untuk mengerem
pemakaian barang modal serta bahan baku dan penolong impor.
Padahal, demikian Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan
Produksi Dalam Negeri Ginandjar Kartasasmita, banyak industri
lokal sudah bisa pula menehasilkan barang modal dan penolong.
Untuk kepentinean pabrik gula, misalnya, dia menyebut pabrik di
Surabaya (PT Gruno Nasional) sudah bisa membual barang modal
berupa perlengkapan dan mesin pabrik. Dia tak lupa menyebut
bahwa sejumlah industri lokal sudah pula bisa menghasilkan
pelbagai komponen, yang cukup baik mutunya, untuk kepentingan
industri perakitan kendaraan bermotor.
Dengan alasan itulah, Menteri Muda Ginandjar menyebut bahwa
produsen dan konsumen perlu meningkatkan penggunaan barang
produksi dalam negeri. Tapi apa itu produksi dalam negeri?
Menurut Ginandjar, itu adalah segala barang dan jasa yang
dihasilkan (dirakit, diolah dan diposes) di sini. Dengan
demikian, suatu barang yang dirakit di sini - sekalipun hampir
seluruhnya menggunakan bahan baku atau komponen impor - sudah
bisa dianggap sebagai produksi dalam negeri.
Tapi jalan ke sana tidaklah mulus. Maklum, karena mutu dan harga
kurang bersaing dibandingkan produk impor, barang lokal itu
sering kali masih sulit menembus pasar dalam negeri. Contohnya
Simon Manufacturing, Tegal, yang lebih suka menggunakan motor
elektro buatan Taiwan untuk membuat mesin pres hidraulik
berkekuatan 300 ton. Motor elektro Taiwan itu harganya Rp 60
ribu, tapi kalau bengkel Simon membuatnya sendiri harganya bisa
mencapai Rp 360 ribu. Selain kurang praktis, upaya membuat
sendiri motor elektro itu dianggap hanya akan menaikkan harga
jual produk tadi, dan bisa mengurangi daya saingnya.
Sikap serupa juga dipegang oleh manajemen PT Boma Bisma Indra
(BBI), Surabaya. Sekitar 40%-50% komponen untuk diesel yang
dibuatnya -dengan lisensi dari Deutz Jerman Barat- masih
dibelinya dari luar negeri. Selain bisa diandalkan kualitasnya
-sudah diakui standar industrinya - komponen yang hanya dikenai
bea masuk 1% dan Pajak Penjualan (PPn) 2,5% itu juga murah
harganya. Dengan cara itulah, badan usaha milik negara ini bisa
"menekan harga jual untuk menyaingi produk impor," kata Pandu
Sedianto, sekretaris perusahaan BBI.
Pandu memberi contoh, sebuah mesin diesel enam silinder BBI bisa
dilepas dengan harga Rp 4,5 juta, padahal mesin serupa eks
impor mencapai Rp 6 juta. Upaya memaksimalkan penggunaan
komponen lokal ini pernah dikemukakan direktur utama BBI, Didih
widjajakusuma, kepada TEMPO beberapa waktu lalu. Jika pembuatan
diesel itu seluruhnya menggunakan komponen lokal, katanya,
tingkat produksi harus 15 ribu unit setahun, supaya murah
harganya. Tapi "itu pun belum tentu laku semua," ujarnya.
PT Inti juga berusaha memanfaatkan rendahnya bea masuk dan PPn
itu untuk mengimpor sejumlah komponen bagi pembuatan pesawat
telepon. Murahnya harga telepon produksi perusahaan itu,
rata-rata Rp 60 ribu setiap pesawat, memang banyak dipengaruhi
tingkat pemakaian komponen impor yang mencapai 70%. Bahkan
pabrik aki merk Tornado di Jakarta, yang tiap bulan mampu
menghasilkan 4.000 aki, dengan alasan serupa, tetap merasa
perlu mengimpor timah dari Australia. "Timah dari Bangka yang
terbaik bukan main mahalnya," kata A. Kosasih, wakil pimpinan PT
Tornado.
Selain dianggap mahal, komponen atau bahan penolong lokal itu
sering tidak terjaga kualitasnya. Dalam upaya mencari bahan
lokal, Tornado pernah mencoba menggunakan bak aki buatan
Surabaya. Tapi baru berumur tiga bulan, bak yang harus mampu
menahan panas sampai 2.000 derajat Celcius itu sudah membengkak.
PT Toyota Astra Motor (TAM), yang antara lain menjual kendaraan
niaga jenis Toyota Kijang, sudah banyak menggunakan komponen
lokal, kecuali mesin dan transmisi. Tapi TAM masih meragukan
kekuatan baut lokal supaya komponen itu bisa dipakai untuk
produk keluaran Astra, baut semacam itu setidaknya harus
menjalani tes bahan, laboratorium, "dan tes pemakaian selama 20
ribu km di Jepang," ujar Soetomo Soesito, manajer TAM.
Apakah kelemahan itu tidak disadari para pembuat komponen dan
bahan penolong lokal? Perlunya menjaga kualitas barang
sebenarnya sudah pula disadari PT Tri Satria Utama (TSU),
penghasil per daun, yang antara lain dipakai untuk kendaraan
niaga Toyota dan jip Daihatsu. "Tapi untuk memperoleh mutu sama
dengan per impor, akan butuh ongkos besar, hingga harga jualnya
pun bisa lebih mahal," ujar Herman Kusalamwardi, kepala
perencanaan TSU di Jakarta.
Harga jual sesungguhnya bisa pula ditekan jika permintaan akan
suatu komponen, atau bahan penolong itu, cukup besar hingga
produksi bisa melampaui titik impas. Namun, celakanya, mungkin
karena lnformasi pasar kurang lengkap, ditambah area komponen
serupa eks impor lebih murah permintaan itu tak kunjung
membesar.
PT Sanoh Indonesia, Denghasil pipa bahan bakar dan rem mobil,
paling tidak sudah merasakannva. Kendati perusahaan patungan
kelompok Sanyo Indonesia (30%) dan Sanoh Jepang (70%) itu mampu
menjual kedua produknya lebih murah dari barang impor -bahan
baku berupa pipa murah masih diimpor dari Jepang - toh
permintaan tak naik-naik.
Karena itu, menurut Sulistyo A. Lukito, manajer Sanoh, produksi
pabriknya tidak pernah mencapai kapasitas penyh yang diIzinkan,
yaitu 128 ribu set pipa bahan bakar dan rem mobil. Baru April
lalu datang pesanan melegakan dari PT Indo Mobil Utama, perakit
Suzuki, untuk mensuplai kedua komponen itu sebanyak 1.500-4.000
set tiap bulan. Dia sangat berharap agar ketentuan pemakaian
komponen lokal bagi industri otomotif bisa konsisten
dilaksanakan.
Kesulitan dalam pemasaran juga ditemui produsen penghasil barang
modal. PT Pulogadung Indonesia Machine & Spare-parts Factory
(PIMSF), misalnya, hanya mengerjakan pembuatan mesin gurinda
potong, mesin tekukan, box dan mesin gunting, berdasarkan
pesanan saja. Hampir semua pengerjaan barang modal itu, kecuali
untuk pengecoran dalam pembuatan mesin bor dan fris,
dilakukannya sendiri. Tapi, karena pesanan untuk suatu produk
tadi tidak banyak, efisiensi yang diharapkan bisa menekan harga
jual sulit diperolehnya. Karena itu, tak heran jika mesin las
PIMSF harganya mencapai Rp 16,5 juta sebuah. "Kalau tidak ada
yang beli, buat apa diproduksi secara berkesinambungan dan
massal," ujar Fenry Fonso, manajer umum Tjokro Grup, induk
perusahaan PIMSF.
Terbatasnya pasar barang modal itu memang telah memaksa PIMSF
hanya memproduksikan secara tetap komponen gigi (gear), dalam
pelbagai tipe dan ukuran. Karena gigi termasuk komponen
esensial, pesanan atau perbaikan untuk produk ini terus saja
mengalir. Tapi diversifikasi usaha seperti itu tentu agak repot
dilakukan oleh Boma Bisma Indra yang, antara lain, juga
menghasilkan barang modal berupa mesin untuk pabrik tebu. Untun
pemerintah masih memberi kepercayaan kepadanya dalam
rehabilitasi sejumlah pabrik gula, hingga 60% barang modal
produksi BBI bisa diserap.
Toh tidak selalu karena keterbatasan permintaan itu, pengusaha
harus putus asa. Haji Salamun, 48, dari Batur, Klaten, misalnya
segera mengubah usahanya dari membuat sambungan pipa menjadi
produksi lampu antik (robyong). Hari-hari ini dia tengah
menyelesaikan sebuah lampu antik, dengan tinggi 2,5 m untuk
dipasang di Gedung Wanita di Yogya, yang berharga Rp 1,5 juta.
Adalah Presiden Soeharto sendiri yang berpesan, sehabis meninjau
pameran industri dalam negeri di Bina Graha awal September, agar
para pengusaha pandai-pandai memasarkan produksinya. Tidak mudah
memang memenuhi anjuran itu bagi PT Radio Frequency
Communication (RFC), penghasil stasiun bumi kecil (SBK)
terkemuka di sini.
Kendati sudah 60% komponen berasal dari produk lokal, sekitar
90% SBK yang dijualnya justru berada disektor pemerintah. Hanya
perusahaan swasta besar saja, seperti PT Caltex Pacific
Indonesia, yang mau membeli SBK itu.
Tapi perlukah pemerintah, untuk mengembangkan industri lokal,
membatasi impor barang modal, bahan penolong, atau komponen?
Impor aluminium sheet (sejenis kertas perak untuk mengemas
makanan), yang hanya kena bea masuk 5% dan PPn 2,5% misalnya,
mungkin sudah saatnya dibatasi. Maklum, gara-gara pasar dalam
negeri dibanjiri produk impor - merk Toyo eks Jepang bahkan
dibanting dengan harga US$ 3.200 per ton - PT Maspion, penghasil
kertas perak lokal di Surabaya, sudah dua bulan ini istirahat.
Untuk merangsang tumbuhnya industri komponen elektronik, menurut
Adi R. Adiwoso, direktur utama Rasikomp Nusantara, penghasil
komputer RKN, impor komputer perlu pula dibatasi. Apalagi jika
kelak Djangger, komputer buatan lokal, jadi masuk ke pasar. Dari
segi mutu, kemampuan dan penampilan, komputer RKN, yang harganya
Rp 3,9 juta sampai Rp 25 juta, katanya, berani bersaing dengan
bikinan luar negeri. Karena itu, Adi beranggapan bahwa proteksi
perlu dijalankan, tapi harus hati-hati, tanpa menimbulkan usaha
monopoli.
Tapi, menurut Hirman dari TSU, proteksi justru tidak mendidik
produsen jadi profesional: berani bersaing dalam harga dan
kualitas dengan produk impor. "Kita tidak bisa berharap banyak
dengan iklim begitu," katanya. Bisa dimengerti jika Hirman
berpendapat demikian. Sebab, sudah bukan rahasia lagi, banyak
produsen komponen dan bahan penolong yang belum mendapat SII
sering tak menghiraukan kepentingan industri perakitan dan
pengolahan.
Di sektor industri barang konsumsi, proteksi semacam itu malah
bisa merugikan, dan mengancam konsumen. Bayangkan, siapa sangka
bahwa di dalam botol 16 merk saus tomat, sebagian besar isinya
ternyata hanya pepaya, labu, atau ubi, bukan tomat. Dan
bayangkan pula, bahan pemanis yang digunakan 46 merk sirop, dari
59 merk yang beredar, adalah sakarin dan siklamat berlebihan.
Penelitian yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen itu
membuktikan bahwa "tidak ada satu pun merk sirop yangmemenuhi
persyaratan jumlah kadar gula minimum 55 persen," ujar Permadi,
ketua YLK.
Dalam upaya melindungi kepentingan produsen dan konsumen itu,
Permadi menganjurkan agar setiap kemasan makanan dan minuman
mencantumkan masa kedaluwarsa produk bersangkutan. Penghasil
komponen pun rasanya perlu juga mencantumkan SII mereka, supaya
perakit, dan juga konsumen sebagai pemakai akan merasa aman.
"Standar semacam itu penting untuk menjamin konsumen, dan
memberikan kepastian buat produsen," ujar Menteri Muda
Ginandjar. Apakah produsen bersedia melakukannya? Baik kita
tunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini