Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Buatan indonesia, siapa suka

Kampanye menggunakan barang produksi lokal. dimulai sesudah sejumlah negara industri yang kena resesi membanting harga produk ekspornya. barang lokal masih sulit menembus pasar dalam negeri. (eb)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI hari Minggu lalu, agak tumben Kinoi, sepupu si Unyil, pagi-pagi minta dibelikan mainan olah raga buatan luar negeri. Tapi sang Pakde, Pak Unyil, menyebut semua mainan itu, misalnya bola sepak, bisa diperoleh secara mudah dan dibuat sendiri dengan bahan lokal. Bola sepak, katanya, bisa dibuat dari sabut kelapa. Cerita film seri TVRI si Unyil Minggu itu memang disisipi pesan pemerintah: agar anak-anak lebih mencintai produksi dalam negeri. Sudah sejak beberapa bulan yang silam, lewat pclbagai forum dan medla, kampanye menggunakan barang produksi lokal dilakukan. Jadi, janan kaget kalau di belakang kaca mobil ada tempelan "Saya cinta (dengan lambang jantung hati) buatan RI." Atau d bumper mobil lain ada anJuran "Ikuti kami, pakai buatan RI". Kampanye semacam itu, demikian Dirjen Industri Logam Dasar Eman Yoasara, mendesak dilakukan sesudah sejumlah negara Industri yang dihantam resesi besar ramai-ramai membanting harga Jual pelbagai produk ekspornya. Supaya tidak kalah bersaing melawan produk impor itu, katanya, vemerintah akan berusaha melindungi kepentingan industri lokal, baik melalui pengawasan struktur harga pelbagai komoditi dipasar internasional maupun pembatasan Impor. Masih harus dilihat akan berhasilkah upaya itu. Yang pasti, sampai Agustus lalu Impor barang konsumsi mencapai US$ 547,7 juta. Sedang selama 12 bulan tahun lalu mencapai US$ 1.165,8 juta (lihat grafik). Kampanye itu juga dilakukan untuk mengerem pemakaian barang modal serta bahan baku dan penolong impor. Padahal, demikian Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Ginandjar Kartasasmita, banyak industri lokal sudah bisa pula menehasilkan barang modal dan penolong. Untuk kepentinean pabrik gula, misalnya, dia menyebut pabrik di Surabaya (PT Gruno Nasional) sudah bisa membual barang modal berupa perlengkapan dan mesin pabrik. Dia tak lupa menyebut bahwa sejumlah industri lokal sudah pula bisa menghasilkan pelbagai komponen, yang cukup baik mutunya, untuk kepentingan industri perakitan kendaraan bermotor. Dengan alasan itulah, Menteri Muda Ginandjar menyebut bahwa produsen dan konsumen perlu meningkatkan penggunaan barang produksi dalam negeri. Tapi apa itu produksi dalam negeri? Menurut Ginandjar, itu adalah segala barang dan jasa yang dihasilkan (dirakit, diolah dan diposes) di sini. Dengan demikian, suatu barang yang dirakit di sini - sekalipun hampir seluruhnya menggunakan bahan baku atau komponen impor - sudah bisa dianggap sebagai produksi dalam negeri. Tapi jalan ke sana tidaklah mulus. Maklum, karena mutu dan harga kurang bersaing dibandingkan produk impor, barang lokal itu sering kali masih sulit menembus pasar dalam negeri. Contohnya Simon Manufacturing, Tegal, yang lebih suka menggunakan motor elektro buatan Taiwan untuk membuat mesin pres hidraulik berkekuatan 300 ton. Motor elektro Taiwan itu harganya Rp 60 ribu, tapi kalau bengkel Simon membuatnya sendiri harganya bisa mencapai Rp 360 ribu. Selain kurang praktis, upaya membuat sendiri motor elektro itu dianggap hanya akan menaikkan harga jual produk tadi, dan bisa mengurangi daya saingnya. Sikap serupa juga dipegang oleh manajemen PT Boma Bisma Indra (BBI), Surabaya. Sekitar 40%-50% komponen untuk diesel yang dibuatnya -dengan lisensi dari Deutz Jerman Barat- masih dibelinya dari luar negeri. Selain bisa diandalkan kualitasnya -sudah diakui standar industrinya - komponen yang hanya dikenai bea masuk 1% dan Pajak Penjualan (PPn) 2,5% itu juga murah harganya. Dengan cara itulah, badan usaha milik negara ini bisa "menekan harga jual untuk menyaingi produk impor," kata Pandu Sedianto, sekretaris perusahaan BBI. Pandu memberi contoh, sebuah mesin diesel enam silinder BBI bisa dilepas dengan harga Rp 4,5 juta, padahal mesin serupa eks impor mencapai Rp 6 juta. Upaya memaksimalkan penggunaan komponen lokal ini pernah dikemukakan direktur utama BBI, Didih widjajakusuma, kepada TEMPO beberapa waktu lalu. Jika pembuatan diesel itu seluruhnya menggunakan komponen lokal, katanya, tingkat produksi harus 15 ribu unit setahun, supaya murah harganya. Tapi "itu pun belum tentu laku semua," ujarnya. PT Inti juga berusaha memanfaatkan rendahnya bea masuk dan PPn itu untuk mengimpor sejumlah komponen bagi pembuatan pesawat telepon. Murahnya harga telepon produksi perusahaan itu, rata-rata Rp 60 ribu setiap pesawat, memang banyak dipengaruhi tingkat pemakaian komponen impor yang mencapai 70%. Bahkan pabrik aki merk Tornado di Jakarta, yang tiap bulan mampu menghasilkan 4.000 aki, dengan alasan serupa, tetap merasa perlu mengimpor timah dari Australia. "Timah dari Bangka yang terbaik bukan main mahalnya," kata A. Kosasih, wakil pimpinan PT Tornado. Selain dianggap mahal, komponen atau bahan penolong lokal itu sering tidak terjaga kualitasnya. Dalam upaya mencari bahan lokal, Tornado pernah mencoba menggunakan bak aki buatan Surabaya. Tapi baru berumur tiga bulan, bak yang harus mampu menahan panas sampai 2.000 derajat Celcius itu sudah membengkak. PT Toyota Astra Motor (TAM), yang antara lain menjual kendaraan niaga jenis Toyota Kijang, sudah banyak menggunakan komponen lokal, kecuali mesin dan transmisi. Tapi TAM masih meragukan kekuatan baut lokal supaya komponen itu bisa dipakai untuk produk keluaran Astra, baut semacam itu setidaknya harus menjalani tes bahan, laboratorium, "dan tes pemakaian selama 20 ribu km di Jepang," ujar Soetomo Soesito, manajer TAM. Apakah kelemahan itu tidak disadari para pembuat komponen dan bahan penolong lokal? Perlunya menjaga kualitas barang sebenarnya sudah pula disadari PT Tri Satria Utama (TSU), penghasil per daun, yang antara lain dipakai untuk kendaraan niaga Toyota dan jip Daihatsu. "Tapi untuk memperoleh mutu sama dengan per impor, akan butuh ongkos besar, hingga harga jualnya pun bisa lebih mahal," ujar Herman Kusalamwardi, kepala perencanaan TSU di Jakarta. Harga jual sesungguhnya bisa pula ditekan jika permintaan akan suatu komponen, atau bahan penolong itu, cukup besar hingga produksi bisa melampaui titik impas. Namun, celakanya, mungkin karena lnformasi pasar kurang lengkap, ditambah area komponen serupa eks impor lebih murah permintaan itu tak kunjung membesar. PT Sanoh Indonesia, Denghasil pipa bahan bakar dan rem mobil, paling tidak sudah merasakannva. Kendati perusahaan patungan kelompok Sanyo Indonesia (30%) dan Sanoh Jepang (70%) itu mampu menjual kedua produknya lebih murah dari barang impor -bahan baku berupa pipa murah masih diimpor dari Jepang - toh permintaan tak naik-naik. Karena itu, menurut Sulistyo A. Lukito, manajer Sanoh, produksi pabriknya tidak pernah mencapai kapasitas penyh yang diIzinkan, yaitu 128 ribu set pipa bahan bakar dan rem mobil. Baru April lalu datang pesanan melegakan dari PT Indo Mobil Utama, perakit Suzuki, untuk mensuplai kedua komponen itu sebanyak 1.500-4.000 set tiap bulan. Dia sangat berharap agar ketentuan pemakaian komponen lokal bagi industri otomotif bisa konsisten dilaksanakan. Kesulitan dalam pemasaran juga ditemui produsen penghasil barang modal. PT Pulogadung Indonesia Machine & Spare-parts Factory (PIMSF), misalnya, hanya mengerjakan pembuatan mesin gurinda potong, mesin tekukan, box dan mesin gunting, berdasarkan pesanan saja. Hampir semua pengerjaan barang modal itu, kecuali untuk pengecoran dalam pembuatan mesin bor dan fris, dilakukannya sendiri. Tapi, karena pesanan untuk suatu produk tadi tidak banyak, efisiensi yang diharapkan bisa menekan harga jual sulit diperolehnya. Karena itu, tak heran jika mesin las PIMSF harganya mencapai Rp 16,5 juta sebuah. "Kalau tidak ada yang beli, buat apa diproduksi secara berkesinambungan dan massal," ujar Fenry Fonso, manajer umum Tjokro Grup, induk perusahaan PIMSF. Terbatasnya pasar barang modal itu memang telah memaksa PIMSF hanya memproduksikan secara tetap komponen gigi (gear), dalam pelbagai tipe dan ukuran. Karena gigi termasuk komponen esensial, pesanan atau perbaikan untuk produk ini terus saja mengalir. Tapi diversifikasi usaha seperti itu tentu agak repot dilakukan oleh Boma Bisma Indra yang, antara lain, juga menghasilkan barang modal berupa mesin untuk pabrik tebu. Untun pemerintah masih memberi kepercayaan kepadanya dalam rehabilitasi sejumlah pabrik gula, hingga 60% barang modal produksi BBI bisa diserap. Toh tidak selalu karena keterbatasan permintaan itu, pengusaha harus putus asa. Haji Salamun, 48, dari Batur, Klaten, misalnya segera mengubah usahanya dari membuat sambungan pipa menjadi produksi lampu antik (robyong). Hari-hari ini dia tengah menyelesaikan sebuah lampu antik, dengan tinggi 2,5 m untuk dipasang di Gedung Wanita di Yogya, yang berharga Rp 1,5 juta. Adalah Presiden Soeharto sendiri yang berpesan, sehabis meninjau pameran industri dalam negeri di Bina Graha awal September, agar para pengusaha pandai-pandai memasarkan produksinya. Tidak mudah memang memenuhi anjuran itu bagi PT Radio Frequency Communication (RFC), penghasil stasiun bumi kecil (SBK) terkemuka di sini. Kendati sudah 60% komponen berasal dari produk lokal, sekitar 90% SBK yang dijualnya justru berada disektor pemerintah. Hanya perusahaan swasta besar saja, seperti PT Caltex Pacific Indonesia, yang mau membeli SBK itu. Tapi perlukah pemerintah, untuk mengembangkan industri lokal, membatasi impor barang modal, bahan penolong, atau komponen? Impor aluminium sheet (sejenis kertas perak untuk mengemas makanan), yang hanya kena bea masuk 5% dan PPn 2,5% misalnya, mungkin sudah saatnya dibatasi. Maklum, gara-gara pasar dalam negeri dibanjiri produk impor - merk Toyo eks Jepang bahkan dibanting dengan harga US$ 3.200 per ton - PT Maspion, penghasil kertas perak lokal di Surabaya, sudah dua bulan ini istirahat. Untuk merangsang tumbuhnya industri komponen elektronik, menurut Adi R. Adiwoso, direktur utama Rasikomp Nusantara, penghasil komputer RKN, impor komputer perlu pula dibatasi. Apalagi jika kelak Djangger, komputer buatan lokal, jadi masuk ke pasar. Dari segi mutu, kemampuan dan penampilan, komputer RKN, yang harganya Rp 3,9 juta sampai Rp 25 juta, katanya, berani bersaing dengan bikinan luar negeri. Karena itu, Adi beranggapan bahwa proteksi perlu dijalankan, tapi harus hati-hati, tanpa menimbulkan usaha monopoli. Tapi, menurut Hirman dari TSU, proteksi justru tidak mendidik produsen jadi profesional: berani bersaing dalam harga dan kualitas dengan produk impor. "Kita tidak bisa berharap banyak dengan iklim begitu," katanya. Bisa dimengerti jika Hirman berpendapat demikian. Sebab, sudah bukan rahasia lagi, banyak produsen komponen dan bahan penolong yang belum mendapat SII sering tak menghiraukan kepentingan industri perakitan dan pengolahan. Di sektor industri barang konsumsi, proteksi semacam itu malah bisa merugikan, dan mengancam konsumen. Bayangkan, siapa sangka bahwa di dalam botol 16 merk saus tomat, sebagian besar isinya ternyata hanya pepaya, labu, atau ubi, bukan tomat. Dan bayangkan pula, bahan pemanis yang digunakan 46 merk sirop, dari 59 merk yang beredar, adalah sakarin dan siklamat berlebihan. Penelitian yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen itu membuktikan bahwa "tidak ada satu pun merk sirop yangmemenuhi persyaratan jumlah kadar gula minimum 55 persen," ujar Permadi, ketua YLK. Dalam upaya melindungi kepentingan produsen dan konsumen itu, Permadi menganjurkan agar setiap kemasan makanan dan minuman mencantumkan masa kedaluwarsa produk bersangkutan. Penghasil komponen pun rasanya perlu juga mencantumkan SII mereka, supaya perakit, dan juga konsumen sebagai pemakai akan merasa aman. "Standar semacam itu penting untuk menjamin konsumen, dan memberikan kepastian buat produsen," ujar Menteri Muda Ginandjar. Apakah produsen bersedia melakukannya? Baik kita tunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus