BANYAK yang setuju ketika Mohamad Arsjad Anwar dinyatakan lulus
summa cum laude (dengan pujian tinggi), setelah mempertahankan
disertasinya berjudul: Pertumbuhan Pertanian Dilihat dari
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto di Indonesia, Sabtu lalu.
Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, promotor, sekaligus
penyanggah, antara lain memuji Arsjad "telah menemukan hal baru,
yang mengembangkan teori ekonomi, yaitu kaitan langsung antara
ekspor dan tabungan dalam negeri."
Prof. Dr. Mohamad Sadli, salah seorang penyanggah, mengacungkan
jempolnya, dan mengakui "Saudara lebih pandai dari saya." Tak
heran kalau senat guru besar UI, yang dipimpin Rektor Prof. Dr.
Nugroho Notosusanto, berunding selama 45 menit, sebelum
menyetujui memberikan predikat yang baru pertama kalinya
terjadi dalam sejarah UI.
Arsjad, 47, asal Kuningan, Jawa Barat, kini menjabat lektor
kepala pada Fakultas Ekonomi UI. Memulai penyelidikannya sejak
1973, Arsjad banyak mengungkapkan hal penting. Dan penemuannya
yang ia anggap sangat penting adalah "kecenderungan tabungan
marginal dari kenaikan ekspor lebih besar daripada kecenderungan
tabungan marginal dari produk domestik bruto (PDB) di luar
ekspor."
Menekuni puluhan buku, ia kemudian menggabungkan pernyataan
beberapa ahli ekonomi, lalu menghubungkannya dengan penjelasan
Simon Kuznets, ekonom pemenang hadiah Nobel itu.
Dari sana, ia menjelaskan, "peningkatan produksi dan atau
kenaikan harga hasil pertambangan menyebabkan meningkatnya
ekspor sebagai kapasitas impor . . yang akan mendorong naiknya
tabungan domestik bruto dan PDB. Pada gilirannya, itu berarti
menurunkan pengeluaran konsumsi swasta dalam PDB."
Ia juga mencatat, "peningkatan penerimaan devisa yang besar dari
hasil pertambangan dapat mempercepat penurunan peranan sektor
pertanian dalam struktur produksi."
Ia mengambil contoh penerimaan devisa dari ekspor minyak dan gas
bumi dapat digunakan untuk mengimpor bahan makanan dan bahan
mentah guna menambah suplai. Ini disebabkan tidak mampunya
sektor pertanian meningkatkan produksinya sesuai dengan
kecepatan kenaikan permintaan yang terjadi selama ini.
Mohamad Arsjad melihat, ada indikasi pertumbuhan permintaan
terhadap hasil pertanian - khususnya bahan makanan di Indonesia
dalam periode 1968/1980 - dipengaruhi oleh perkembangan
pembagian pendapatan yang relatif makin tidak merata. Buktinya,
dualisme dalam perekonomian Indonesia selama tahun 1970-an
diperkirakan semakin besar. Kedua, relatif sangat rendahnya
perkiraan realisasi elastisitas pendapatan terhadap konsumsi
kalori di Indonesia dalam periode 1968-1980. Ketiga, pembagian
pengeluaran konsumsi swasta antar golongan pendapatan yang tak
sebaik seperti diperlihatkan oleh data Susenas. Di samping itu,
perkembangannya semakin tidak merata.
Di samping bukti-bukti yang mendukung praduga, penelitian yang
pada mulanya dibimbing Prof. Dr. Widjojo Nitisastro juga
menghasilkan hal lain yang sangat penting: "Dalam ekonomi
terbuka seperti Indonesia, dengan peranan ekspor dan impor yang
cukup besar, diperkirakan setiap analisa tentang perkembangan
pangeluaran PDB, atau segi permintaan dari PDB, atas harga
konstan, selalu harus memperhitungkan perubahan nilai tukar
antara harga ekspor dan impor. "
Dugaan ini didasarkan pada anggapan bahwa perkembangan harga
arang dan lasa yang diekspor tidak selalu paralel dengan yang
diimpor.
Khusus kepada Biro Pusat Statistik, ia menyarankan agar definisi
pengertian pengeluaran konsumsi pemerintah mencakup komponen
pembayaran bunga, baik untuk pinjaman dalam negeri maupun untuk
pinjaman luar negeri.
Bicara tentang sektor industri, Arsjad tidak melihat kemungkinan
tumbuhnya industri hilir lewat kaitan ke depan (forward
linkage), selama industri hulu yang ada tidak memiliki kemampuan
ekonomis untuk berproduksi secara efisien. "Tentu perlu juga
diperhatikan kaitan ke belakang (backward linkage) dari industri
hulu itu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini