Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Summa cum laude untuk arsjad

Lektor kepala Fakultas Ekonomi UI, Mohammad Arsjad Anwar, meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul: pertumbuhan pertanian dilihat dari pertumbuhan produk domestik bruto di Indonesia. (eb)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK yang setuju ketika Mohamad Arsjad Anwar dinyatakan lulus summa cum laude (dengan pujian tinggi), setelah mempertahankan disertasinya berjudul: Pertumbuhan Pertanian Dilihat dari Pertumbuhan Produk Domestik Bruto di Indonesia, Sabtu lalu. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, promotor, sekaligus penyanggah, antara lain memuji Arsjad "telah menemukan hal baru, yang mengembangkan teori ekonomi, yaitu kaitan langsung antara ekspor dan tabungan dalam negeri." Prof. Dr. Mohamad Sadli, salah seorang penyanggah, mengacungkan jempolnya, dan mengakui "Saudara lebih pandai dari saya." Tak heran kalau senat guru besar UI, yang dipimpin Rektor Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, berunding selama 45 menit, sebelum menyetujui memberikan predikat yang baru pertama kalinya terjadi dalam sejarah UI. Arsjad, 47, asal Kuningan, Jawa Barat, kini menjabat lektor kepala pada Fakultas Ekonomi UI. Memulai penyelidikannya sejak 1973, Arsjad banyak mengungkapkan hal penting. Dan penemuannya yang ia anggap sangat penting adalah "kecenderungan tabungan marginal dari kenaikan ekspor lebih besar daripada kecenderungan tabungan marginal dari produk domestik bruto (PDB) di luar ekspor." Menekuni puluhan buku, ia kemudian menggabungkan pernyataan beberapa ahli ekonomi, lalu menghubungkannya dengan penjelasan Simon Kuznets, ekonom pemenang hadiah Nobel itu. Dari sana, ia menjelaskan, "peningkatan produksi dan atau kenaikan harga hasil pertambangan menyebabkan meningkatnya ekspor sebagai kapasitas impor . . yang akan mendorong naiknya tabungan domestik bruto dan PDB. Pada gilirannya, itu berarti menurunkan pengeluaran konsumsi swasta dalam PDB." Ia juga mencatat, "peningkatan penerimaan devisa yang besar dari hasil pertambangan dapat mempercepat penurunan peranan sektor pertanian dalam struktur produksi." Ia mengambil contoh penerimaan devisa dari ekspor minyak dan gas bumi dapat digunakan untuk mengimpor bahan makanan dan bahan mentah guna menambah suplai. Ini disebabkan tidak mampunya sektor pertanian meningkatkan produksinya sesuai dengan kecepatan kenaikan permintaan yang terjadi selama ini. Mohamad Arsjad melihat, ada indikasi pertumbuhan permintaan terhadap hasil pertanian - khususnya bahan makanan di Indonesia dalam periode 1968/1980 - dipengaruhi oleh perkembangan pembagian pendapatan yang relatif makin tidak merata. Buktinya, dualisme dalam perekonomian Indonesia selama tahun 1970-an diperkirakan semakin besar. Kedua, relatif sangat rendahnya perkiraan realisasi elastisitas pendapatan terhadap konsumsi kalori di Indonesia dalam periode 1968-1980. Ketiga, pembagian pengeluaran konsumsi swasta antar golongan pendapatan yang tak sebaik seperti diperlihatkan oleh data Susenas. Di samping itu, perkembangannya semakin tidak merata. Di samping bukti-bukti yang mendukung praduga, penelitian yang pada mulanya dibimbing Prof. Dr. Widjojo Nitisastro juga menghasilkan hal lain yang sangat penting: "Dalam ekonomi terbuka seperti Indonesia, dengan peranan ekspor dan impor yang cukup besar, diperkirakan setiap analisa tentang perkembangan pangeluaran PDB, atau segi permintaan dari PDB, atas harga konstan, selalu harus memperhitungkan perubahan nilai tukar antara harga ekspor dan impor. " Dugaan ini didasarkan pada anggapan bahwa perkembangan harga arang dan lasa yang diekspor tidak selalu paralel dengan yang diimpor. Khusus kepada Biro Pusat Statistik, ia menyarankan agar definisi pengertian pengeluaran konsumsi pemerintah mencakup komponen pembayaran bunga, baik untuk pinjaman dalam negeri maupun untuk pinjaman luar negeri. Bicara tentang sektor industri, Arsjad tidak melihat kemungkinan tumbuhnya industri hilir lewat kaitan ke depan (forward linkage), selama industri hulu yang ada tidak memiliki kemampuan ekonomis untuk berproduksi secara efisien. "Tentu perlu juga diperhatikan kaitan ke belakang (backward linkage) dari industri hulu itu," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus