Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bukan berita dari Tuhan

Monitor, tabloid hiburan, dalam waktu 5 bulan kini beroplah 640 ribu eksemplar setiap kali terbit. dalam sejarah penerbitan pers indonesia, terutama bentuk tabloid, jarang ada keberhasilan macam itu.

21 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MONITOR adalah Arswendo Atmowiloto: lincah, sedikit norak dan, rada merangsang. Di tangan pemuda penulis novel inilah mingguan yang sudah dua kali terkubur itu di gosok, sim salabim, dan, tabloid hiburan itu kini beroplah 640 ribu eksemplar setiap kali terbit. Tak seorang pun menyangka angka itu bisa dicapai dalam lima bulan. Juga Yayasan Gema Tanah Air dan Kelompok Gramedia, penerbitnya, punya bayangan koran dengan gincu, pipi, bibir menor, dan paha itu akan demikian cepat merebut pembaca. Ketekunan Arswendo menggauli dunia televisi memang salah satu modal sukses itu. Karenanya, tak salah jika kelompok Gramedia "mengambil alih" Monitor dan menunjuk Wendo, begitu pemuda sedikit urakan ini dipanggil sahabatnya, sebagai pemimpin redaksi di sana. Tidak sia-sia dua tahun ia membolak-balik beragam terbitan hanya untuk mencari resep yang pas buat media barunya. Hasilnya? Sejak terbit dengan manajemen baru lima bulan lalu, tabloid 16 halaman itu hadir sebagai fenomena: oplahnya rata-rata bisa bertambah 35 ribu eksemplar. "Jarang ada media massa menambah oplahnya sebesar itu setiap kali terbit," kata Wendo. Padahal, ketika 24 nomor perdana terbit di tahun 1972--1973. peredarannya tak pernah mencatat angka di atas 10 ribu eksemplar. Di tahun 1980, ia mencoba muncul lagi. Tapi tetap tak pernah melebihi 25 ribu eksemplar. Karena itu, ketika Yayasan Gema Tanah Air dan Kelompok Gramedia tahun lalu menyediakan modal pertama Rp 400 juta untuk menopang hidup tiga bulan pertama, yang ada hanyalah doa. Dengan hasil seperti sekarang, bukan tidak mungkin, sesudah evaluasi bulan Mei nanti tenaga pengasuh Monitor sudah boleh membayangkan bonus. Dalam sejarah dunia penerbitan pers Indonesia, terutama bentuk tabloid, tampaknya jarang ada keberhasilan semacam itu. Untuk sebagian pemodal, tabloid adalah kartu mati. Tapi, mungkin karena Monitor digarap dengan sasaran pembaca Jelas, penonton televisi dan pencinta gosip, anggapan itu jadi mati. Besarnya marjin yang diperoleh agen (sampai 40%), agaknya, juga jadi salah satu aktor pendorong majunya pemasaran tabloid itu. Apalagi pemirsa siaran televisi di republik ini sudah tersebar di semua provinsi. "Bila oplah Monitor mencapai satu juta, semua redaksinya akan mencukur kepalanya sampai gundul," ujar Wendo, kali ini bukan untuk melucu. Masakan dapur redaksinya, tentu saja, jua ikut menentukan cerita sukses itu. Kata Wendo, Monitor dimasak dengan resep pers kampungan dan selera rendah. Lengkap dengan segala atributnya: ada sedikit paha dan beha. Ternyata, disukai paling tidak hingga kini belum ada protes. Namun, ia tidak menyajikannya begitu saja. "Monitor itu berfungsi sebagai tempat mengecek sumber berita," kata Wendo lagi, mantap. Dalam bahasa lain, banyak orang kepingin tahu suatu hal atau seseorang, dan Monitor mencoba mengungkapkannya tanpa menyakitkan hati yang bersangkuan. Begitulah maksud Wendo. Katanya lebih lanjut, "Pers kita memang kampungan, belum berhasil menjadi sumber berita. Beritanya diberikan oleh Tuhan." Itulah sebabnya, pada edisi minggu terakhir Februari, ia memasang laporan utama Elly Pical, di bawah judul "Beta Cuma Cium-Cium ... Pyaar". Di situ tak ada komentar ahli tinju atau analisa pertandingan akbar memperebutkan gelar juara dunia. Tapi cerita kehidupan seks dan pacar-pacar Elly. Pyaar. Dan untuk semua artikel mereka memakai judul -- dalam bahasa Syamsudin Noer Moenadi, redaktur pelaksana -- "provokatif". Kendati demikian, belum semua pihak senang melihat penampilan Monitor. "Ia bukan cermin masyarakat tetapi cermin redaksinya," kata Astrid Sunarti Susanto, ahli komunikasi lulusan Jerman. Bahkan menurut dia, media tersebut tidak pantas diperjualbelikan. "Di halaman pertama saja terpampang bintang film seksi dengan buka kancing segala." Astrid boleh tidak setuju. Begitu pula yang lain. Namun, sukses bisnis Monitor adalah kejelian penasuh dan pemodalnya membaca pasar. Dalam pengamatan Alwi Dahlan, Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, tabloid itu berhasil karena bisa menggabungkan dua kebutuhan sekaligus: kebutuhan gosip ("berdasarkan fakta dan persepsi fakta") dan kebutuhan akan panduan acara televisi ("orang tidak bisa menonton TV terus-menerus"). Di balik keberhasilan Monitor, Arswendo masih mempunyai setumpuk masalah. Cita-citanya untuk menggundulkan kepala bukan hanya sekadar kerja memanggil tukang-tukang cukur. Sebab, untuk mencapai sasaran itu, ia harus bisa memperpendek batas akhir pengumpulan bahan (deadline), atau memilih memindahkan percetakan. Memilih yang terakhir ternyata bukan jawaban yang mengenakkan. Ia punya kekhawatiran, informasi yang dapat dihimpunkan rekan-rekannya "sempat dicuri". Sementara itu, ia kini ingin memperkecil porsi berita-berita TVRI -- 80% menjadi 60%. Bukan lantaran karena mahalnya "ongkos" operasi di sana. (Untuk setiap jadwal acara TVRI disediakan Rp 15 ribu per minggu per stasiun setiap foto Rp 15 ribu dan artikel Rp 50-100 ribu). Juga bukan karena TVRI terlalu sering mangkir dari rencana acara tanpa permisi. Tetapi ia ingin menyajikan berita lainnya. Masalahnya tenaga yang ada tidak mencukupi. "Banyak yang mau bergabung, tetapi mencari orang yang mau bekerja seperti ini sulit," kata Wendo. Namun, masalah yang paling mengganjal benak Wendo, kabarnya, adalah keinginannya mewujudkan bagian saham untuk karyawan. Perundang-undangan mengenai SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) memang mencantumkan bagian saham 20% bagi karyawan. "Selambat-lambatnya sepuluh tahun setelah terbit," kata klausul berikutnya. Masalah terbesar, adalah merestrukturisasi kepemilikan yang ada. Sebagai pemegang SIUPP bukan tidak mungkin Yayasan Gema Tanah Air bercita-cita mempertahankan keutuhan andilnya di Monitor. "Tambang emas" ini tak boleh dibiarkan. Lalu, dapatkah keinginan Wendo ini terwujud? Banyak yang mengharapkannya. Tapi itu tentu bukan soal bagi pembacanya. James R. Lapian, Laporan Syatrya Utama (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus