DENTING piano, tidak asing lagi bagi kita. Dan ini bukan hal yang penting. Yang penting dan tidak disangka-sangka, adalah suatu pengolahan yang berjiwa muda, segar dan menakjubkan. Hortense Cartier-Bresson, 29, pianis wanita Prancis yang berparas cantik, telah memesonakan sekitar 400 penikmat di Hotel Borobudur, Jakarta, dalam resital Jumat malam pekan silam. Program yang disuguhkan, tiga sonata karya Mozart, Schubert, dan Liszt -- sepintas seperti biasa-biasa saja. Malah bisa terbalik, kita mudah terperangkap dalam kecurigaan: yang akan kita saksikan adalah pengulangan kesekian kali dari karya musik klasik abad ke-18-19 yang terkenal itu. Tapi di sini -- lewat jari-jemari Hortense -- rasanya kita tidak kepingin lagi membicarakan gaya Mozart, Schubert, Liszt. Apa yang menjadikan Hortense lain? Ternyata, masih ada. Misalnya, sonata Mozart, KV 576 dalam D mayor, yang tampil sebagai nomor pertama. Warna dan atmosfer yang membentuk setiap kalimat membuat kita menanggalkan segala sisa-sisa yang terbawa dari pelajaran akademis. Kesegaran dan kesederhanaan pengungkapan adalah kelebihan utama Hortense. Seorang jenius Mozart tidak bisa diremehkan. Ia memerlukan kecerdasan dan kecermatan untuk dicerna pemain dan pendengar. Hortense, rupanya, menggabungkan warna dan corak Prancis yang pas bagi jiwa sonata ini: halus, tanpa pernik, bersih dan jernih. Kondisi yang amat memerlukan disiplin interpretasi. Lain lagi dengan sonata Schubert, D 958 dalam C minor. Di sini ia ingin membagikan sesuatu yang tidak mau ia perdebatkan. Karya Schubert yang terkenal panjang itu ia selesaikan utuh. Keunggulan Schubert ia beri pengolahan jiwa besar, jauh dari romantik cengeng, yang sering menjadi landasan keliru bagi sonata komponis zaman Romantik ini. Hortense menutup acara dengan sonata Liszt, B minor, salah satu karya besar dalam deretan repertoar piano. Pengungkapan dan penghayatan Hortense sungguh di luar dugaan. Bravura yang ia hadirkan bukan semata bravuritas, seperti sering terpancing dari pianis kaliber dunia lainnya. LISZT, dalam kebanyakan karyanya, terkenal sebagai penghibur virtous, yang dalam zamannya tiada tandingannya. Ternyata, sisi lain dari Liszt telah diungkapkan secara menakjubkan oleh Hortense. Di tangannya, sonata ini menjadi bentuk karya dengan sapuan napas besar. Ia menggunakan goresan gigantik. Dramatik mendalam ia pacu dengan lirik sehalus benang sutera -- suatu gaya virtousitas tersendiri, yang menakjubkan. Prosa dan puisi ia hadirkan dengan intensitas bunyi yang semula tidak terbayangkan. Sangat paradoksal, bahwa piano grand yang berukuran kecil dan terletak di ruangan yang penuh karpet tebal tidak membatasi kemampuannya untuk mengekspresikan kalimat-kalimat intim yang menjadi ukuran artistisitas permainannya. Hortense mulai bermain piano sejak berusia tiga tahun. Kini, dalam usia muda 29 tahun, ia menjadi profesor bidang piano pada Conservatiore Musique di Dijon, Prancis. Ia rata-rata menyelesaikan 40 konser setahun di berbagai negara. Ia menyerap sebagian besar pendidikan musik di Conservatiore National Superieure de Musique, Paris, dan memperoleh berbagai ijazah: Premier Prix de Piano, Premier Prix de Musique de Chambre, Premier Prix de Contrepoint, Premier Prix d'Harmonie, Premier Prix d 'Aceompagnement. Ia, lebih lanjut, memperdalam musik di Universitas Bloomington, Amerika Serikat, berguru pada pianis Hungaria, Sebok. Sangat menggembirakan, karena Jakarta -- dan kota-kota lain di Indonesia -- dapat menyaksikan pianis muda berkaliber tinggi yang kelak akan menakjubkan dunia dengan format permainan yang sungguh bisa diperhitungkan. Ketegaran dan kesegarannya sebagai penafsir membuatnya lebih utuh, karena sifat-sifat manusiawi yang turut memberi sinar murni padanya. Yaitu: ia adalah orang muda yang rendah hati. Dan sangat bersahaja. Bravo, Hortense! Iravati M. Sudiarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini