Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Antara Sri dan Saraswati

Topeng-topeng karya alm ida bagus gelodok dipamerkan di bentara budaya, jakarta. gelodok memproduksi 2 topeng yang sama tapi berbeda, yakni topeng yang sudah sakral dan topeng untuk dijual.

21 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Bentara Budaya, Jakarta, masih dalam kaitan Bulan Kesenian Bali (27 Februari-21 Maret 1987), Anda berkesempatan mengamati beberapa topeng buatan Almarhum Ida Bagus Gelodok. Bandingkan salah satu di antaranya dengan topeng "yang sama" bikinan baru, yang dipajang dan diual di situ. Akan terlihat sejumlah perbedaan -- mungkin halus dan tidak begitu kentara pada mata, batang hidung, garis bibir, atau sudut mulut. Anda lalu paham mengapa topeng-topeng Gelodok dicat dengan bahan tradisional yang buram, tak mengkilap, tapi tampak hidup. Dua topeng "sama" yang berbeda itu berkaitan dengan dua tata (sistem) produksi yang berbeda. Gelodok membuat topeng untuk mewujudkan watak dan tokoh yang amat mafhum, dipakai penari yang ia kenal betul, untuk pertunjukan yang ia ketahui benar setting liku-likunya. Sebuah topeng lahir dari pertemuan antara pembuat topeng, tipe watak yang harus digambarkannya, penari yang akan memakainya, dan setting topeng itu, nanti. Pertemuan yang cermat dan khidmat. Lebih-lebih topeng ini, juga nanti, diupacarai -- seperti biasanya pada karya-karya Gelodok yang dipamerkan itu. Topeng-topengnya sakral karena telah melalui upacara prayascita dan malaspas. Upacara ini menghapus noda-noda pada kayu yang mungkin ditinggalkan oleh riwayatnya yang buruk, dan noda yang disebabkan dari sikap dan perbuatan si pembuat topeng, selagi ia bekerja. Topeng-topeng Gelodok bahkan telah melalui upacara tahap kedua: ngatep (oleh Ida Bagus sendiri) dan masupati (oleh pendeta). Dengan upacara ini, topeng dihidupkan dan diangkat menjadi barang keagamaan, berisi kehidupan rohaniah. Anda pikir topeng-topeng Gelodok sangat pantas menghiasi dinding rumah gedung Anda? Sia-sia jika Anda mencoba-coba menawarnya: keluarga Ida Bagus tidak akan melepaskannya. Topeng lain -- diwarnai dengan cat modern, mengkilap -- yang Anda bandingkan dengan topeng Ida Bagus, dibuat dalam rangka produksi lam: komersial. Si pembuat tahu bahwa topengnya itu tak bakal dipakai siapa pun. Pembelinya bukan orang Bali, yang akan memajangnya di dinding. Dan si pembuat tak perlu menimbang-nimbang setting topeng dalam permainan. Dua faktor hilang dari produksi. Lagi pula, tidak ada beban moral yang berat, karena tanpa ada upacara apa-apa. Dua tata produksi menghasilkan jenis barang yang sama. Produksi kembar yang, bagaimanapun, tidak identik. Produksi komersial, karena renggang dari adat, leluasa membuat "inovasi" alias pembaruan. Di Bentara Budaya dapat dilihat, misalnya, topeng Jero Gede dan Jero Luh -- pasangan barong landung -- dalam ukuran raksasa. Anda tentu pernah pula melihat yang sebaliknya: topeng dalam ukuran mini. Lukisan-lukisan Kamasan di Bentara Budaya juga masuk dalam sistem produksi ini, dan kita telah mencatat beberapa hal baru (TEMPO, 14 Maret). Keleluasaan itu memungkinkan pula diserap hal-hal dari luar. Pejaten belajar membuat keramik dengan bentuk, bahan, dan teknik baru, yang hasilnya dapat dilihat di sana. "Pabrik patung" Ida Bagus Umbara (putra Ida Bagus Gelodok) bukan saja menghasilkan topeng-topeng "tradisional". Tapi perusahaan di Desa Mas yang mempekerjakan 500 pengrajin itu, juga menggunakan mesin-mesin penggarap kayu, menghasilkan barang-barang yang tidak dapat dikenali sebagai "barang Bali". Banyak penonton, malah, teringat pada seni Indian Meksiko. Seni lukis Tebesaya, Ubud, sejak sekitar setengah abad lalu, menyerap bukan saja bahan, teknik, dan segi-segi rupa dari luar, tetapi juga acuan (pandangan, gagasan, dan nilai-nilai) dari luar. Dan, tidak kurang penting, dapat diserap anggapan orang luar tentang identitas Bali atau suatu masyarakat di Bali. Para pelukis Bali dewasa ini tampaknya masih amat sulit untuk memberi baju kepada sosok-sosok perempuan dalam lukisan mereka, meskipun perempuan berbaju dalam kenyataan telah menjadi lazim di pulau itu, sekarang. Sekali para wisatawan mengenal sebuah desa karena patung-patungnya yang mereka anggap "primitif", maka keprimitifan ini harus terus dibuat dan dikembangkan. Meskipun sebutan "primitif" sesungguhnya amat konyol dlkaitkan dengan Desa Jasan, 15 km dari Ubud, dalam jaringan masyarakat Bali yang mempunyai tata sosial-politik yang rumit, mempunyai tulisan, apalagi di zaman sekarang! Dan jika wisatawan kulit putih mengira bahwa patung primitif itu mestinya kasar buatannya, berwarna hitam, dan tentu sudah kelihatan lekang dan tua sekarang ini, maka semua itu harus dibuat. Orang menyerap anggapan orang luar tentang identitas dirinya. Orang mengenakan identitas pinjaman. Bagi banyak orang, Dewi Sri tidak lagi memegang padi, melainkan (maafkan saya) dolar. Banyak orang mengomel tentang keburukan yang timbul dalam seni Bali dalam hasil-hasilnya dan dalam kehidupannya. Dewi Saraswati, pelindung sastra (pengetahuan) dan seni (ia membawa alat musik), agaknya, berada dalam kedudukan yang lemah, dan bersedih. Sri sedang berselisih dengan Saraswati? Kalau begitu, hanya Wisnu (suami mereka berdua dapat mendamaikan. Soalnya: cukupkah tersedia orang yang memiliki kebijaksanaan Wisnu? Sanento Yuliman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus