Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERJALANAN Menteri Keuangan Agus Martowardojo ke Tokyo, Jepang, awal Oktober lalu, berbuah manis. Nusa Tenggara Partnership BV—pemegang saham mayoritas PT Newmont Nusa Tenggara—setuju mengundurkan tenggat pembelian tujuh persen saham perusahaan tambang emas itu. Semestinya Kamis, 25 Oktober 2012, ini batas akhir bagi pemerintah untuk bertransaksi.
Di Negeri Sakura, Menteri Agus sebenarnya mengikuti penjajakan pasar alias road show atas rencana menerbitkan obligasi berdenominasi yen atau samurai bond. Toh, menurut sumber Tempo, Agus menyempatkan diri menemui perwakilan Sumitomo dan Newmont Mining Corp. Perusahaan asal Jepang dan Amerika Serikat itu merupakan pemilik Nusa Tenggara Partnership BV.
Ikut hadir dalam pertemuan terbatas itu, antara lain, Vice President Indonesia Country Manager and Corporate Development Blake Rhodes dan Presiden Direktur Newmont Nusa Tenggara Martiono Hadianto.
Ini merupakan ketiga kalinya pengunduran sales and purchase agreement alias perjanjian jual-beli Newmont. Sebelumnya, 12 Agustus lalu, tenggat diundurkan berdasarkan amendemen kedua perjanjian itu. Pergeseran batas akhir pembayaran, menjadi 25 Oktober, diteken Kepala Pusat Investasi Pemerintah Soritaon Siregar dan Blake Rhodes bersama Toru Tokuhisa, yang mewakili Nusa Tenggara Partnership BV, pada 3 Mei 2011.
Menteri Agus dan Martiono tutup mulut tentang diplomasi rahasia di Tokyo itu. ”Soal itu, saya no comment,” kata Agus kepada Tempo dalam beberapa kali kesempatan.
Pemerintah, sumber Tempo menambahkan, terpaksa minta pengunduran tenggat karena belum memiliki solusi tentang mekanisme pembelian menjelang batas akhir transaksi. Agus seperti ”mati langkah”, sejak 31 Juli lalu, ketika Mahkamah Konstitusi menolak gugatannya—bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—dalam sengketa pembelian saham Newmont. Kasus ini membuat mereka berhadapan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Mahkamah Konstitusi membuat putusan bahwa pembelian tujuh persen saham Newmont Nusa Tenggara oleh pemerintah harus melalui persetujuan Dewan. Alasannya, dana yang digunakan untuk membeli saham Newmont merupakan uang negara, yang pemakaiannya harus atas persetujuan Dewan. Meski saham dibeli melalui Pusat Investasi Pemerintah, anggaran itu tetap harus dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Wakil Ketua Komisi Energi DPR Effendi Simbolon mengkritik pemunduran tenggat. ”Atas dasar apa Menteri Keuangan menunda?” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Penundaan, menurut dia, menyebabkan pemerintah daerah kehilangan potensi pendapatan. Effendi dikenal sebagai pendukung pemerintah daerah yang disokong Grup Bakrie untuk mengambil alih saham divestasi Newmont.
NEWMONT Nusa Tenggara merupakan pemegang kontrak karya pertambangan mineral di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kontrak yang diteken pada 1986 itu akan berakhir pada 2030. Area yang dikerjakan saat ini, Tambang Batu Hijau, terletak di sebelah barat daya Pulau Sumbawa, sekitar 81 kilometer dari Kota Mataram.
Di wilayah konsesi tersebut diperkirakan terdapat cadangan tembaga sebanyak 9,106 miliar pound (4,1 juta ton), emas 9,197 juta ounce (276 juta gram), dan perak 31,325 juta ounce. Pendapatan perusahaan ini per akhir 2010 tercatat US$ 1,255 miliar (sekitar Rp 11,98 triliun) dengan laba US$ 838,8 juta (sekitar Rp 8,01 triliun).
Jumlah cadangan di Blok Elang-Dodo, ladang baru Newmont, diprediksi lebih besar. Maka perusahaan itu diperkirakan akan berproduksi hingga 90 tahun ke depan. Tak aneh bila banyak pihak tergiur untuk menguasai Newmont.
Pelepasan tujuh persen saham Newmont kali ini merupakan bagian dari kewajiban divestasi perusahaan sebesar 51 persen kepada perusahaan nasional. Proses divestasi telah digelar sejak 2010. Sebanyak 20 persennya telah dimiliki PT Pukuafu Indah milik keluarga Jusuf Merukh. Sebesar 24 persen saham dipegang PT Multi Daerah Bersaing, perusahaan patungan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa dengan PT Multicapital, anak perusahaan PT Bumi Resources Tbk dari Grup Bakrie.
Sisa tujuh persen saham yang harus ”dinasionalisasi” menjadi rebutan karena bernilai strategis. Bagi Bakrie, saham seharga US$ 246 juta atau sekitar Rp 2,34 triliun ini layak dibeli untuk mendapatkan hak menempatkan satu direktur di Newmont. Banyak pihak melihat kepentingan Bakrie ini membuat para politikus di DPR ngotot menghalangi niat pemerintah membeli tujuh persen saham Newmont. Aburizal Bakrie, pemilik Grup Bakrie, merupakan Ketua Partai Golkar.
Pemerintah punya kepentingan tak kalah strategis. Jika ikut memiliki saham, pemerintah bisa menempatkan komisaris untuk mengoptimalkan penguasaan sumber daya alam serta mengawasi pembayaran pajak, royalti, dan dividen. Agus pernah mengatakan modal untuk membeli tujuh persen saham itu akan kembali pada tahun ke-10 atau ke-11.
Pada 6 Mei 2011, Pusat Investasi Pemerintah sudah meneken perjanjian jual-beli saham bersama Nusa Tenggara Partnership BV. Tapi ganjalan dari politikus Senayan membuat perjanjian itu tak bisa dilaksanakan.
Analis pasar modal Lin Che Wei menegaskan bahwa pengambilalihan saham Newmont harus menguntungkan pemerintah pusat dan daerah. ”Jangan sampai divestasi ini seolah-olah jatuh pada pemerintah daerah, tapi ujung-ujungnya ke swasta tertentu,” katanya.
Pemerintah, menurut Che Wei, mesti bergerak cepat bila yakin bisa mengambil alih saham itu melalui Pusat Investasi Pemerintah. Sebaliknya, kalau pemerintah pesimistis mendapat restu dari Dewan, harus segera dicari alternatif. Salah satunya melalui badan usaha milik negara.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menyambut baik usul tersebut. ”Bila BUMN ditugasi, kami siap,” katanya. Dahlan yakin perusahaan negara akan mendapat banyak manfaat dari pembelian saham tersebut.
Idealnya, perusahaan pelat merah yang mengeksekusi adalah BUMN bidang keuangan yang biasa menangani masalah pendanaan. Bukan BUMN pertambangan seperti Aneka Tambang atau Timah. Alasannya, tidak ada artinya bila perusahaan tambang hanya menjadi pemilik saham minoritas.
Pengambilalihan saham Newmont bisa dilakukan Bahana atau anak usahanya. Bisa pula oleh Danareksa atau anak usahanya. Dahlan mengaku telah membicarakan hal ini dengan direksi Danareksa. Ia optimistis perusahaan itu bisa memperoleh pembiayaan. ”Uang bisa dicari. Bisa pinjam.”
Kebutuhan dana Rp 2,34 triliun untuk membeli saham Newmont dinilainya tidak jadi masalah. ”Bandingkan dengan aset BUMN, ada Rp 3.000 triliun lebih,” ujar Dahlan. Prinsipnya, ia menambahkan, proses divestasi dapat segera rampung.
Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR Zulkiflimansyah sepakat divestasi harus diselesaikan cepat demi kebaikan pemerintah pusat dan daerah, juga Newmont sendiri. ”Membuatnya berlarut hanya akan menguras modal sosial untuk hal yang tidak perlu,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Bola panas urusan Newmont, menurut Zulkiflimansyah, saat ini ada di tangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik. ”Segera buat keputusan. Mengharapkan hasil yang sempurna tentu tak relevan karena proses awalnya memang tak dipersiapkan oleh pemerintah dengan baik.”
Jero Wacik menegaskan, kebijakan membeli saham Newmont harus diputuskan pemerintah secara bulat. Bersama Menteri Agus, Jero mengaku sedang membahas persoalan ini secara intensif. Pemerintah, menurut dia, berhati-hati dan mempertimbangkan banyak hal, terutama menyangkut keamanan.
Newmont, menurut Jero, merupakan perusahaan besar yang harga sahamnya mahal. Dia khawatir bila pemerintah daerah yang membeli, padahal tidak punya dana. ”Lantas ada perusahaan yang membiayai transaksinya. Perusahaan itu tahu-tahu meminjam duit dari luar negeri,” ujarnya.
Urusan menjadi lebih runyam bila pinjaman itu diperoleh dengan menggadaikan saham ke luar negeri. ”Kabur ke luar negeri lagi saham itu,” kata Jero. Maka, menurut dia, pemerintah akan memutuskan pembelian saham Newmont secara jernih, tenang, dan tidak terburu-buru.
Retno Sulistyowati, Bernadette Christina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo