Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATAHARI baru saja pamit mundur ketika sekonvoi sedan berangkat dari Kebumen menuju Yogyakarta. Berbeda dengan suasana tamasya, wajah para penumpang konvoi itu rada cemas-cemas tegang. Pada Rabu pekan kedua Januari itu, mereka berniat menanyakan nasib uang mereka yang raib.
Uang ini "ditelan" Kavling Serasi?produk yang dijual oleh Lippo Karawaci, saudara seperusahaan Lippobank. Banyak korban yang menggunakan uang pribadi untuk membeli Serasi. Di antara mereka ada juga pengurus rumah ibadat seperti Kelenteng Kong Hwie Kiong di Kebumen atau Gereja Katolik Paroki Gombong.
Di Kebumen dan sekitarnya, Kavling Serasi dijajakan oleh Anastasia Kusmiyati. Sosok Anastasia tidak asing, karena ia pimpinan kantor cabang Lippobank Kebumen. Dengan jabatannya itu, Anastasia tak mengalami kesulitan menjual produk Serasi di Kebumen. Dalam setahun saja tak kurang dari Rp 70 miliar ia raup dari penjualan Serasi.
Handoko, satu di antara korban, ingat betul betapa gigihnya Anastasia menawarkan Serasi. Pria tinggi besar ini mengaku sempat beberapa kali menolak tawaran Anastasia. Tapi ia akhirnya luluh oleh bujukan wanita paruh baya itu. "Waktu itu dia bilang, masak saya tak percaya sama Grup Lippo, tak percaya sama Pak Mochtar Riady," Handoko bercerita.
Namun, yang membuat pengusaha plastik itu kepincut pada Serasi adalah janji pendapatan bunga 12 persen. Ketika Handoko membeli Serasi untuk pertama kalinya, sekitar Maret 2004, suku bunga deposito tak sampai 8 persen. Rekan-rekan Handoko ke Yogyakarta malam itu juga mengaku, mereka terpikat karena suku bunga yang ditawarkan Serasi jauh lebih besar ketimbang deposito.
Bunga Serasi yang mereka petik tidak sama tinggi satu dengan yang lain. Besarnya 10-12 persen bagi yang membeli Serasi pada 2004. Perbedaan tingkat bunga bukan disebabkan jangka waktu, melainkan juga soal negosiasi. "Yang gampang dibujuk, ya mungkin diberi bunga rendah," ujar Hendra, pengurus kelenteng yang membeli Serasi.
Waktu berjalan, dan para pemilik Serasi pun memetik bunga seperti yang dijanjikan. "Pokok uang biasanya diperpanjang, seperti saran Anastasia," tutur Handoko. Pembayaran bunga yang lancar melenakan para nasabah Serasi. Mereka tak banyak bertanya ketika Anastasia pindah kerja ke Bank Mayapada, Solo, pada Oktober 2004.
Apalagi Anastasia menjamin, meski ia pindah tempat kerja, uang para pemilik Serasi aman belaka. Bahkan Anastasia mengaku masih memiliki kewenangan menjual Serasi. "Tak lupa ia mengingatkan bahwa pemilik Mayapada masih bertalian keluarga dengan pemilik Lippobank," ujar seorang korban yang menolak dikutip namanya.
Menjelang tutup tahun 2004, para nasabah Serasi baru insyaf ada sesuatu yang tidak lurus. Adalah Lukito, pemegang Serasi yang pertama kali menyadari uangnya di Serasi tak bisa dicairkan. Padahal, pada 2003, Lukito tak mengalami kesulitan mencairkan pokok plus bunga Serasi.
Anastasia, yang tersudut karena terus-menerus ditagih Lukito, akhirnya datang ke Handoko. Hanya selang dua hari dari tutup tahun 2004, Anastasia mengaku ke Handoko bahwa uang milik nasabah Serasi telah ia selewengkan. Yang lebih menggetarkan Handoko adalah penjelasan Anastasia: Serasi yang dipegangnya palsu. "Waktu itu, niatnya mau diselesaikan baik-baik," ujar Handoko, menjelaskan mengapa ia tak segera menyeret Anastasia ke polisi.
Uang para nasabah Serasi itu rupanya dipinjamkan oleh Anastasia ke seorang pengusaha bernama Herry Robert, yang berdomisili di Yogyakarta. Pinjam-meminjam itu, celakanya, tanpa bukti hitam di atas putih. "Anastasia dan Herry memiliki hubungan pribadi," ujar Handoko. Anastasia dan Herry sama-sama berstatus cerai.
Pengacara Anastasia, Felix Pandiangan, menuduh Herry mengingkari janji pelunasan ke kliennya. "Sewaktu ditagih pun, Herry sempat menghilang," ujar Felix. Jumlah utang-piutang di antara mereka juga tak jelas. Anastasia menganggap Herry masih berutang sekitar Rp 50 miliar. Jumlah yang pernah dikirimkan Anastasia ke Herry mencapai Rp 75 miliar, sementara yang telah dilunasi Herry baru Rp 25 miliar.
Angka yang ditagih Anastasia berselisih jauh dengan utang yang diakui oleh Herry. Haposan Hutagalung, pengacara Herry, meyakini kliennya tinggal berutang Rp 6 miliar. Haposan menyatakan, Herry hanya pernah menerima Rp 31 miliar, dan telah melunasi Rp 25 miliar. Haposan juga membantah kliennya menipu para pembeli Serasi. "Yang berhubungan dengan korban itu Anastasia," ujar Haposan.
Setelah "pecah kongsi" dengan Herry, Anastasia mengaku dosa ke para petinggi Lippo di Jakarta. Entah atas saran siapa, Anastasia lantas mengadukan mitranya, Herry, ke Markas Besar Kepolisian, awal Januari lalu. Herry, yang merasa tak bersalah, lantas balik mengadukan Anastasia ke polisi.
Pada 15 Januari, giliran Anastasia resmi ditahan Badan Reserse Kriminal Polri. Ketika Anastasia dan Herry saling tuding, para nasabah Serasi di Kebumen mulai panik. Jumlah uang pembeli Serasi yang belum terbayar mencapai Rp 50 miliar.
Mereka mulai mendatangi kantor Lippobank Kebumen. Jawaban dari itu kantor makin kusut. "Lippobank tak mau bertanggung jawab, karena Serasi bukan produk mereka," kata Handoko. Merasa penasaran, Handoko pun menyatroni kantor pusat Lippobank Karawaci. Ia tiba di Jakarta pada 3 Januari, ketika para petinggi Lippo Karawaci masih berlibur.
Handoko hanya berhasil menemui seorang staf pemasaran Lippo Karawaci. Staf itu memberikan vonis yang sama dengan pengakuan Anastasia. "Bilyet saya dibilang palsu karena nomor digitnya hanya empat, sementara yang asli ada enam," tutur Handoko.
Keresahan Handoko dan kawan-kawannya tentu bisa berdampak buruk bagi Lippobank, setidaknya di Jawa Tengah. Maka, pertemuan pun digelar di Yogyakarta. Dua kali pertemuan, di Hotel Quality dan Mercure, berakhir tak memuaskan. Wakil Lippobank dan Lippo Karawaci tak bisa hadir bersamaan. Pertemuan ketiga pun dijadwalkan di Hotel Melia Purosani, selang empat hari kemudian.
Acara itulah yang dituju Handoko dan rekan-rekannya pada Rabu malam 12 Januari itu. Pertemuan yang dimulai pukul tujuh itu dihadiri berbarengan oleh Lippobank dan Lippo Karawaci. Dua perusahaan sedarah itu diwakili para pejabat tingginya. Jos Luhukay, direktur utama, mewakili Lippobank, dan Eddy Sindoro, Presiden Komisaris Lippo Karawaci, membawa nama perusahaan properti itu. "Saya datang karena ingin mendengarkan masalah mereka," ujar Jos.
Alih-alih mendapat kejelasan, pertemuan itu justru menambah kekecewaan para nasabah. Jos, yang mewakili Lippobank, kembali mengulangi sikap Lippo yang tak bertanggung jawab atas produk yang bukan miliknya. "Itu perbuatan oknum," ujar Jos. Pihak Lippo Karawaci juga tak mau bertanggung jawab karena Anastasia sudah mengaku memalsukan bilyet Kavling Serasi.
Para nasabah yang kecewa atas sikap cuci tangan Lippobank dan Lippo Karawaci berniat membawa masalah ini ke meja hijau. "Bagaimana kita tahu kalau itu asli atau palsu?" kata Handoko. Gugatan Handoko ada benarnya karena selama ini produk Serasi tak pernah tampil secara jelas. Hendra, korban Serasi lain, menyayangkan kenapa Lippo Karawaci tak memasang pengumuman soal Serasi asli atau palsu.
Kendati telah beredar setidaknya sejak 2001, Lippo Karawaci tak pernah mengiklankan Serasi secara terbuka. "Kami menjualnya melalui Lippo Land Club," ujar Danang Kemayan Djati, juru bicara Lippo Karawaci. Serasi baru dijelaskan panjang lebar setelah para korban Serasi di Kebumen bersuara.
Serasi diakui oleh Lippo Karawaci sebagai produk properti yang menyerupai surat utang dengan aset jaminan berupa kapling di Lippo Karawaci, Tangerang, Banten. "Ini sebenarnya teknik menjual properti saja," kata Danang. Ia menyebut Serasi tak ubahnya uang muka.
Namun, tak seperti lazimnya uang muka, Serasi bisa juga dicairkan menjadi uang. Hebatnya, Serasi memberikan bunga. Ini praktek dagang yang luar biasa aneh, karena uang muka biasanya tak mendapat bunga. "Yang ada, paling uang kita dikembalikan sebesar yang disetor," kata Adi, sebut saja begitu, korban Serasi di Kebumen. "Atau, kalau kita yang tak jadi beli kapling, uang kita dipotong."
Keberadaan bunga dan jangka waktu pencairan menjadikan Serasi tak ubahnya produk perbankan deposito. Serasi kian berbau simpanan berjangka karena ia ditawarkan hingga jauh ke ujung timur Jawa. "Teman saya di Banyuwangi juga membeli Serasi," ujar Handoko.
Danang juga mengakui Serasi beredar hingga di luar Jakarta, dan hampir semua pembeli Serasi di luar Jakarta atau Tangerang tak pernah menengok kapling yang menjadi jaminan. "Kalau niatnya memang mau menjual kapling, seharusnya Serasi ditawarkan di sekitar Jakarta saja," ujar Adi, yang mengaku dari semula hanya mengincar bunga. "Memangnya saya mau pindah ke Karawaci?" ujar Adi dengan tawa getir.
Jika melihat laporan keuangan Lippo Karawaci, tampak bahwa pembeli Serasi tak terlalu berminat membeli kapling. Laporan keuangan Lippo Karawaci per 30 September 2004 dan 2003, nilai Serasi justru melampaui nilai penjualan. Pada 2004, nilai Serasi Rp 2,14 triliun, sementara penjualan hanya Rp 1,1 triliun. Pada tahun sebelumnya, pos Serasi senilai Rp 1,36 miliar, sementara penjualan Rp 882 juta. Dan jangan lupa, nilai Serasi itu hanya 15 persen jika dikonversi menjadi harga kapling.
Dengan jenis kelamin Serasi yang serba tak jelas, tak mengherankan jika banyak yang terpeleset mengelirukan Serasi sebagai produk keuangan semacam deposito. Apalagi jika yang menawarkan adalah kepala cabang Lippobank, seperti yang terjadi di Kebumen. "Kalau yang menawarkan bukan kepala cabang, apa mungkin kami sebegitu mudah percaya?" kata Handoko berapi-api.
Seorang korban Serasi di Kebumen yang enggan dikutip namanya menuturkan, rekannya di Semarang dan Pekalongan juga membeli Serasi dari kepala cabang Lippobank setempat. Maraknya penjualan Serasi yang dilakukan oleh pegawai Lippobank tentu menimbulkan tanda tanya besar.
Jos mengaku Lippobank tak pernah menjalin kerja sama dengan Lippo Karawaci untuk menjajakan Serasi. "Tak benar jika ada perintah kepada kepala cabang untuk menjual Serasi," katanya. Ia tentu mafhum, penjualan semacam itu menabrak aturan Bank Indonesia.
Sumber Tempo di BI mengatakan, para pemeriksa dan pengawas BI sempat terhenyak ketika kasus Kebumen meledak. Yang dilakukan oleh Anastasia jelas pelanggaran bank dalam bank. Bahkan, "Kami melarang pegawai bank menjual produk yang tak jelas," ujar Ryusli Simanjuntak, Direktur Pengawasan BI. "Kalaupun mau menjual produk seperti reksadana, ada aturannya."
BI pun menurunkan tim pemeriksa, tu-tur sumber Tempo. Tentang hasilnya, Rusli, yang baru menjalani serah terima jabatan pada akhir pekan lalu, tak mau terlalu banyak berkomentar. Hal lain yang masih perlu diungkap adalah sosok Serasi yang tak jelas kelaminnya itu. Serasi lebih menyerupai deposito ketimbang produk properti, seperti yang diklaim oleh manajemen Lippo Karawaci.
Manajemen Lippo Karawaci memang menyatakan peredaran Serasi tak akan mengganggu kesehatan keuangan mereka. "Kekayaan bersih Lippo Karawaci, saat dinilai tahun lalu, tak kurang dari Rp 10 triliun," ujar Danang. Ia yakin Lippo Karawaci tak akan kesulitan menebus setiap lembar Serasi yang terjual. "Dijual Rp 2 juta saja, tanah kami pasti habis dalam sehari," katanya.
Andai yang disampaikan oleh manajemen Karawaci melalui Danang benar, toh Undang-Undang No. 10/1998 jelas-jelas menyebutkan, tak sembarang perusahaan boleh menghimpun dana dari masyarakat. Pelanggaran terhadap aturan ini biasa disebut bank gelap.
Untung bagi Lippo Karawaci, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), yang berwenang mengawasi produk keuangan, mengaku belum tahu-menahu soal Serasi. "Saya justru baru dengar dari Anda," kata Freddy Saragih, Kepala Biro Pengelolaan Investasi dan Riset Bapepam, kepada S.S. Kurniawan dari Tempo. Padahal, panitia pembangunan gereja di Gombong telah menggugat Anastasia, Lippo Karawaci, dan Lippobank.
Thomas Hadiwinata, Ari Aji H.S. (Kebumen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo