Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi
LNG Tangguh

Berita Tempo Plus

Adu Tangguh untuk Siapa

Pemerintah menanggung risiko penjualan LNG Tangguh. Pembatasan yang disepakati tidak akan banyak berarti.

7 Maret 2005 | 00.00 WIB

Adu Tangguh untuk Siapa
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH letih Direktur Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak Departemen Keuangan, Sahala Lumban Gaol, tampak kian keruh. Senin pekan lalu itu dia baru saja mengikuti rapat konsultasi pemerintah dan Panitia Anggaran DPR tentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Tapi, pertanyaan Tempo tak urung membuatnya tertegun: bagaimana kelanjutan negosiasi Proyek Gas Alam Tangguh di Papua?

"Belum ada keputusan," katanya. "Pemerintah harus berhati-hati." Lain Sahala, lain pula Iin Arifin Takhyan. Ditemui di tempat dan waktu yang sama, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Alam ini justru sumringah. "Ah, tinggal sedikit lagi, sudah ada kesesuaian (di antara perunding)," ujarnya sambil melempar senyum.

Selama tiga bulan terakhir pemerin-tah menjalani negosiasi sangat ketat dengan BP Tangguh, operator resmi ladang gas Tangguh. Tim pemerintah terdiri dari Departemen Keuangan (yang diwakili Sahala), Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi, serta Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Rencananya, perundingan itu sudah mencapai kata sepakat pada pertengahan Desember lalu. Toh, jadwal molor hingga memasuki bulan ketiga tahun ini. Mereka belum mencapai titik temu dalam satu hal: mekanisme pertanggungjawaban atas risiko penjualan LNG (liabilities).

Namun, optimisme Iin tampaknya tidak berlebihan. Selang beberapa hari dia mengungkapkan kesepakatan telah tercapai pada Selasa malam, 1 Maret. "Pekan ini juga dilaporkan ke Menteri Energi dan Menteri Keuangan," katanya kepada Tempo.

Negosiasi itu berawal dari perminta-an BP Tangguh mengenai kepastian pasokan ekspor gas. Perusahaan meminta pemerintah menanggung seluruh penalti jika mengeluarkan kebijakan yang mengurangi ekspor, sehingga mengakibatkan kerugian di pihak pembeli. Terminologi "kebijakan pemerintah" ini dikenal dengan istilah government act (GoA).

Menurut sumber Tempo, permintaan itu sempat disepakati dalam negosiasi awal antara BP Tangguh dan BP Migas, dan dituangkan dalam principles of agreement (PoA) yang ditandatangani Kepala BP Migas Rachmat Sudibjo. Ketika kesepakatan itu diajukan ke Departemen Keuangan, ternyata konsep itu malah ditolak.

Penolakan itu sangat beralasan. Ketika itu pengertian government act sangat luas, mencakup semua kebijakan, baik di level eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Jika kebijakan itu secara hukum akan langsung mempengaruhi pemenuhan komitmen ekspor, pemerintah harus membayar penalti atau klaim. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, maksimum US$ 300 juta.

Ketika kesepakatan ini bocor ke media, berbagai kalangan menentang. Mereka khawatir permintaan itu memasung pemerintah dalam mengatur kebijakan dalam negeri. Apalagi, dalam kontrak kerja sama lama, klausul government act selalu masuk dalam kategori force majeure (keadaan kahar). Artinya, kebijakan negara merupakan kondisi di luar kemampuan pihak-pihak yang berkontrak sehingga tidak bisa diganggu-gugat.

Namun, tak mudah mengubah kesepakatan awal. Dengan susah payah akhirnya perundingan dimulai kembali. Pemerintah membentuk tim antardepartemen untuk mencari alternatif solusi. Hasilnya, mereka mengajukan tiga rekomendasi: menolak sama sekali, menerima dengan berbagai batasan, atau menerima sepenuhnya. Rekomendasi ini dijadikan bahan negosiasi oleh pemerintah.

Sumber Tempo memaparkan, perubahan PoA sebenarnya sangat sulit dilakukan. Perdebatan di kalangan pemerintah juga tak terhindarkan. "Sebagian menolak, tapi ada juga yang mempertahankan kesepakatan," ujar sumber itu. Menurut dia, sebagian yang ingin bertahan berusaha menjaga nama baik pejabat tertentu yang terlibat dalam kesepakatan awal.

Tapi, niat menjaga nama baik itu memperoleh tentangan tak kalah keras. "Ini menyangkut kepentingan bangsa. Kewenangan membuat undang-undang itu adalah hak kedaulatan, tidak bisa diutak-atik," kata sumber lain. Alhasil, negosiasi berlarut-larut karena BP Tangguh juga tidak mau surut dari permintaannya.

Sumber itu mengatakan penolakan Departemen Keuangan bahkan memicu reaksi keras dari kantor pusat BP di London. Ketika Presiden BP, Gerald Peereboom, berkunjung ke Indonesia pada November lalu dan menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dugaan adanya desakan agar proyek Tangguh bisa segera direalisasi berembus kuat.

BP Tangguh menolak anggapan itu. Senior Vice President Tangguh LNG, Lukman Mahfoedz, waktu itu mengatakan kedatangan Peereboom hanya kunjungan biasa, tanpa agenda khusus. Belakangan, Peereboom menegaskan pihaknya ingin negosiasi Tangguh tidak berlarut-larut agar tahap konstruksi tidak tertunda lagi.

Sumber Tempo meramalkan pada akhirnya pemerintah akan cenderung menerima permintaan soal government act itu, meski dengan berbagai batasan. Alasannya, "Masalah ini sudah disepakati di level atas."

Untuk memulai tahap konstruksi, BP Tangguh tidak hanya perlu mengantongi PoA. Mereka juga butuh persetujuan atas rencana pengembangan (plan of development/PoD), serta perpanjangan masa kontrak. Keduanya telah memperoleh lampu hijau dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi.

Rencana pengembangan juga telah melalui proses revisi dengan negosiasi. Direktorat Jenderal Migas berhasil meyakinkan BP Tangguh untuk mengubah skema pembayaran first tranche petroleum dan menghapus pemberian insentif interest rate cost recovery (ICR), baik untuk amendemen kontrak maupun perpanjangannya.

Menurut Direktur Eksplorasi Departemen Energi, Novian M. Thoyib, kesepakatan ini merupakan "prestasi besar di tengah negosiasi yang ketat". Dilepasnya kedua poin itu oleh BP Tangguh mengundang tanda tanya. Apakah ini semacam "barter" antara pemerintah dan BP Tangguh?

Novian membantah keras. Menurut dia, revisi itu bukan "alat tukar" agar permintaan BP Tangguh mengenai risiko penjualan disetujui pemerintah. Dia mengatakan permintaan BP Tangguh sulit ditolak karena perusahaan bersikukuh seharusnya tidak menanggung penalti.

Kepala BP Migas, Rachmat Sudibjo, mengungkapkan BP Tangguh hanya meminta kepastian, jika memang terjadi keputusan pemerintah yang menghentikan ekspor LNG secara total. "Secara logika, kan tidak benar kalau kita tolak begitu saja," katanya. "Masa, orang disuruh jual gas lalu kita hentikan, tapi dia yang bayar ganti rugi?"

Lagi pula cakupan government act telah dipampatkan menjadi pengertian yang sangat sempit. Kebijakan pemerintah hanya meliputi keputusan presiden dan satu tingkat di bawahnya, yaitu keputusan menteri. Keputusan yang bertentangan dengan undang-undang, tentu saja, merupakan hal yang nyaris mustahil.

Toh, pencapaian ini ditanggapi skeptis oleh pengamat industri minyak dan gas bumi, Effendi Situmorang. "Walau sudah dibatasi, tetap saja itu tindakan berlebihan," katanya. "Kalau kemungkinannya nyaris mustahil, kenapa tidak ditiadakan saja?" Menurut mantan Direktur Manajemen Production Sharing Pertamina itu, seharusnya kesepakatan dibatasi dalam lingkup pembicaraan bisnis. "Pemerintah seharusnya tidak turut campur," ujarnya.

Kredibilitas BP pun dipertanyakan, terutama karena rekam jejaknya beberapa tahun terakhir sebetulnya kurang sedap. Dia merujuk peristiwa penjualan sepihak?tanpa sepengetahuan BP Migas?seluruh kepemilikan blok Kangean oleh BP tahun lalu. "Sayangnya, kita tidak bisa berargumen, takut karena BP adalah perusahaan besar," tuturnya.

Melunaknya sikap BP pun mengundang kecurigaannya. Ketika ditanya mengenai perubahan sikap itu, Lukman dari BP Tangguh menjawab, "Kami berupaya kompromi agar proyek ini bisa berjalan. Kami tidak kecewa (dengan hasilnya) selama kami tetap mau tanda tangan."

Dara Meutia Uning


30 Juni 2004 BP Migas mengajukan rancangan PoD Lapangan Tangguh kepada Menteri Energi. Di situ tercakup skema pembayaran first tranche petroleum (FTP) setelah pembayaran cost and recovery, serta pemberian ICR sebesar LIBOR + 0 persen.

30 Juli 2004 Menteri menyatakan dibentuk tim antardepartemen membahas jaminan pemerintah atas risiko penjualan LNG. BP Tangguh minta semua kewenangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang mempengaruhi ekspor harus diganti rugi oleh pemerintah.

Agustus 2004 Negosiasi di Direktorat Jenderal Migas. Pemerintah ingin FTP dibayar di muka dan pemberian ICR dihapus.

Desember 2004 Pemerintah dan BP Tangguh menyepakati besaran bagi hasil untuk perpanjangan kontrak.

Januari 2005 Negosiasi untuk revisi PoD dan perpanjangan kontrak mencapai titik temu. BP Tangguh setuju pembayaran FTP di muka dan penghapusan insentif ICR.

Maret 2005 Pemerintah setuju menanggung penalti jika ekspor LNG Tangguh terganggu akibat kebijakan pemerintah (government act). Klaim ditalangi lebih dulu oleh kontraktor. Setelah itu, mekanisme pembayaran kembali ditentukan berdasarkan besarnya klaim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus