Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMIR menghitung kembali pengeluaran untuk mobilnya. Pada mulanya kenaikan harga pertamax yang hampir dua kali lipat, pertengahan Desember lalu, tak terlalu dirasakannya. Tapi lama-kelamaan tangki mobilnya yang mereguk 45 liter kian cepat menguras dompet. Setiap bulan, paling tidak Amir harus mengisi lima kali tangki mobilnya?setara dengan hampir Rp 1 juta. "Kini saya memakai premium saja plus aditif," katanya.
Yang dilakukan Amir hanyalah satu dari sekian trik mengakali kenaikan harga pertamax yang selangit. Sementara itu, Tomi lebih memilih mengandangkan mobilnya dan hanya memakainya dua-tiga kali sepekan. Setidaknya dia mengurangi pengisian bahan bakar mobilnya dari lima kali menjadi hanya tiga-empat kali sebulan.
Sebelum 19 Desember 2004, harga pertamax memang cuma Rp 2.450 per liter, tapi kini jadi Rp 4.000 (naik 63 persen). Sedangkan pertamax plus naik dari Rp 2.750 menjadi Rp 4.200 (53 persen). Produsen Suzuki-lah yang kemudian dengan cerdik menangkap keresahan para pemakai pertamax dengan membuat iklan di sebuah media Ibu Kota: "Cukup dengan premium."
Pada akhirnya para pengguna kedua jenis BBM itu bertanya-tanya mengapa kenaikan harga pertamax dan pertamax plus begitu tinggi jika basis produksinya premium. Sementara sebelum kenaikan itu perbedaan harga dengan premium cuma sekitar Rp 640-940, kini menjadi Rp 1.600-1.800. Jika pun ditambah zat aditif untuk menaikkan oktan (random octane number/RON), para konsumen menghitung mestinya harga keduanya tak setinggi yang ditetapkan Pertamina.
Namun, pemerintah memang tak campur tangan dalam menentukan harga pertamax dan pertamax plus. Pada kenyataannya, para pengguna kedua jenis BBM ini memang orang berkantong tebal yang mobilnya membutuhkan bahan bakar dengan oktan lebih tinggi agar pembakarannya lebih bagus. Premium yang dijual di Indonesia memiliki oktan 88, sedangkan pertamax 92, dan pertamax plus 95. Karena itulah Pertamina mematok harga sesuai dengan harga pasar dunia, yang sekitar Rp 4.000-4.200 per liter.
Menurut Direktur Pengolahan Pertamina, Suroso Atmomartoyo, proses pengolahan keduanya pun lebih panjang ketimbang premium. Makin panjang rantai pengolahan, makin mahal biayanya. Pada tahap pertama, minyak mentah diolah menjadi naphtha. Produk bensin murni ini beroktan 65-68.
Agar mutunya meningkat, naphtha dicampur high octane mogas component (HOMC). Jika yang diinginkan premium, oktannya cukup 88. Tapi jika menginginkan pertamax, ada pengolahan lanjutan lewat proses catalytic cracking seperti yang tersedia di kilang Balongan, Jawa Barat, dan Musi, Sumatera Selatan. Jika oktannya mencapai 92 jadilah bensin tanpa timbel pertamax, dan kalau ditambah zat aditif menjadi pertamax plus.
Menurut Suroso, saat ini Pertamina malah menjual rugi alias menyubsidi konsumen kedua jenis BBM itu. Dengan harga minyak mentah US$ 51 per barel, harga jual bensin patokan pasar Singapura sekitar US$ 62 per barel atau Rp 3.600 per liter. Ditambah biaya distribusi Rp 115 per liter, bea masuk lima persen, dan berbagai pajak lain, harga jual pertamax sekarang mestinya Rp 4.488 per liter.
"Memang, ketika menaikkan pertamax dan pertamax plus pada Desember lalu, Pertamina untung karena patokan minyak mentahnya US$ 36," ujarnya. Dihitung-hitung, Pertamina baru impas jika harga minyak mentah berkisar US$ 40-42 per barel. Namun, jika bicara tanpa subsidi, kata Suroso, harga jual premium dan pertamax sebetulnya tak jauh beda, hanya selisih Rp 200 per liter.
Perhitungannya sederhana, karena premiumlah yang paling banyak menghabiskan HOMC. Setiap bulan, Pertamina membutuhkan HOMC sekitar 493 juta liter, 97 persen di antaranya mesti diimpor. Dengan konsumsi premium sampai 44 ribu kiloliter per hari, kebutuhan HOMC untuk bahan bakar ini sangat besar, berbeda dengan konsumsi pertamax dan pertamax plus yang tak sampai 4.000 kiloliter per hari. "Kalau pertamax juga mau dijual lebih murah, pemerintah harus memberikan subsidi, sama seperti pada premium," kata Suroso.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo