Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMPAI hari ini beban kerusakan ekonomi yang terjadi pada pertengahan 1997 masih terasa. Beban itu muncul setiap tahun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam bentuk pembayaran bunga obligasi rekap yang kini ngendon di sejumlah bank.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan, Mulia Nasution, mengatakan saat ini nilai obligasi rekap yang masih ada di bank sekitar Rp 422 triliun dari total obligasi domestik pemerintah Rp 629,96 triliun dan obligasi pemerintah yang dijual di pasar internasional US$ 1,4 miliar.
Bunga yang harus dibayar tahun ini mencapai Rp 64,1 triliun, di antaranya Rp 39 triliun bunga obligasi bank rekap. Bunga obligasi itu lebih besar dua kali dibandingkan dengan dana kompensasi yang disediakan pemerintah untuk mengurangi beban rakyat miskin.
Tak mengherankan jika banyak yang bertanya mengapa rakyat dikorbankan, sementara perbankan tetap bisa menikmati subsidi bunga. Ihwal obligasi rekap itu sesungguhnya untuk menyelamatkan perbankan yang kolaps akibat nasabah yang ramai-ramai menarik dananya, sebagian lagi gara-gara menumpuknya kredit macet di sejumlah bank.
Obligasi rekap ini, sebagai instrumen penyelamat, disetorkan ke perbankan sebagai ganti kredit macet yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Total ada Rp 430-an triliun obligasi rekap yang ditempatkan di perbankan.
Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Paskah Suzetta, mengakui penarikan obligasi tak mungkin dilakukan. "Pilihan itu akan membuat bank rekap bangkrut," katanya kepada Martha Warta dari Tempo. "Memang betul, bila kini obligasi itu ditarik, bank bisa kolaps," kata Direktur Utama Bank BNI, Sigit Pramono.
BNI sendiri masih menyimpan obligasi rekap Rp 37 triliun dari aset BNI yang Rp 136 triliun. "Sumbangan bunga obligasi rekap terhadap pendapatan BNI sekitar 30 persen." Memang sumbangan pendapatan itu lebih kecil dari bunga kredit. Tapi, bila obligasi itu ditarik begitu saja oleh pemerintah, sama saja dengan membangkrutkan BNI.
Kondisi yang sama juga dihadapi bank rekap lainnya. Di Bank Mandiri, obligasi rekap masih diandalkan untuk memasok pendapatan. "Saya tidak hafal angka pendapatan bunga obligasi rekap," kata Corporate Secretary Bank Mandiri, Nimrod Sitorus. Namun, dari total aset bank ini, Rp 248,1 triliun, sekitar Rp 93 triliun adalah obligasi rekap.
Jumlah itu hampir sama dengan total kredit Bank Mandiri yang mencapai Rp 94,4 triliun. Begitu pula dengan BRI dan Danamon. "Meski laba BRI masih positif, jika obligasi rekap ditarik pemegang saham minoritas akan berteriak," kata Direktur Keuangan BRI, Wayan Alit Antara.
Rata-rata pengelola bank meminta obligasi rekap di banknya jangan ditarik. Akibat penarikan ini bisa melebar, mulai dari bank yang bersangkutan kolaps hingga runtuhnya kepercayaan pemegang obligasi pemerintah, terutama investor asing. "Keadaan ini akan mengganggu pasar obligasi," kata Sudirman, anggota Dewan Pengawas Himpunan Pedagang Surat Utang Negara.
Sigit melihatnya dari sudut yang lain. "Apa pemerintah punya uang untuk membeli kembali obligasi rekap?" tuturnya. Persoalannya kembali pada kekuatan anggaran pemerintah. Langkah pembelian kembali memang tak mudah dilakukan. Pada tahun-tahun pertama, pemerintah justru harus mengeluarkan dana untuk membeli kembali obligasi rekap itu.
Melihat APBN 2005 yang besarannya sekitar Rp 397 triliun, sulit bagi pemerintah melakukan pembelian kembali obligasi rekap. Karena itu, yang paling mungkin dilakukan adalah memperpanjang masa jatuh tempo obligasi rekap, dan itu sudah dilakukan pemerintah melalui program reprofiling.
Surat utang yang jatuh tempo dalam beberapa tahun terakhir diundur hingga tahun 2020. Tapi langkah ini sebenarnya hanya memindahkan beban ke masa depan. Itu pun dengan catatan keuangan pemerintah akan menguat dan perekonomian membaik. Kalau yang terjadi sebaliknya, rakyat juga yang harus menanggung beban dalam waktu sangat lama.
Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo