Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lisbon hancur lebur. Hampir sepertiga penduduk ibu kota Portugal itu tewas. Orang-orang beragama pun bertanya: Tuhan, mengapa bencana?
Tanggal 1 November 1755. Penduduk sedang menghormati para santo di Hari Arwah, dan mereka berjemaah di gereja-gereja, ketika mendadak gempa mengguncang.
Lepas pukul 9 pagi, perabot di rumah-rumah bergetar, dan dengan segera debu dan puing bertaburan di mana-mana. Bangunan-bangunan ambrol. Dalam tempo enam menit, 30 gereja, termasuk lima katedral besar di kota Katolik itu, roboh. Ribuan anggota jemaat yang sedang mengikuti misa tertimpa reruntuhan: ribuan tewas.
Beberapa puluh lelaki mencoba menyelamatkan diri dengan meloncat ke kapal yang berlabuh di Teluk Oeiras. Beberapa puluh yang lain mencoba menaiki perahu-perahu yang tertambat di Sungai Tagus. Tapi sesuatu menyusul. “Laut datang!” terdengar pekik.
Tiba-tiba gulungan ombak setinggi enam meter menggodam kota pantai itu dengan ganas: tsunami, sebuah malapetaka gigantis yang waktu itu belum punya nama.
Tiga kali hantaman laut itu berulang. Ketika kemudian air tenang, ribuan bangkai tampak terapung, tersangkut, rusak, membusuk.
Tak lama kemudian bumi tak gempa lagi. Tapi segera datang malapetaka lain: kota terbakar. Kandil-kandil yang dinyalakan di pelbagai tempat di Hari Arwah itu terbuncang ke pelbagai sudut karena bumi bergejolak. Nyala bertebar, menjalar. Lisbon dimakan api selama lima hari.
Sekitar 60 ribu penduduk tewas: jumlah yang menakutkan buat kota yang hanya berpenghuni 270 ribu orang. Sekitar 80 persen bangunan Lisbon—salah satu permata Eropa—jadi -puing.
Di luar dan di dalam rumah ibadat, orang di abad ke-18 itu pun bertanya: “Tuhan, mengapa bencana?”
“Ketahuilah, wahai Lisbon, bahwa yang menghancurkan rumah, istana, gereja, dan biara kita, yang jadi sebab kematian yang membinasakan begitu banyak orang… adalah dosamu yang menjijikkan.”
Itu bukan jawaban Tuhan, tapi khotbah Malagrida, seorang padri Jesuit yang amat berpengaruh di Kerajaan Portugal.
Selalu demikian rupanya: bencana dianggap hukuman; manusia cacat; Tuhan adalah sebab; Tuhan tak dapat digugat.
Tapi dosa siapa yang dimaksudkan sang padri?
Entah. Sebuah khotbah dibangun sebagai retorika, bukan naskah hukum. Ia tak mengungkapkan sesuatu yang spesifik. Ia tak berniat punya sasaran yang persis. Yang penting para pendengarnya gentar, terharu, atau tergugah.
Malagrida ingin menyebarkan perasaan dosa kolektif, agar manusia yang buruk bertobat dan yang baik bertambah baik. Tapi dengan demikian Tuhan yang dicitrakannya adalah Tuhan yang tak peduli detail, buta akan nuansa, dan cuek akan perkecualian. Semua dirampat-papan—dengan akibat Tuhan tampak bukan yang mahakuasa, bukan pula yang adil.
Tapi juga bukan Tuhan yang kacau. Tuhan itu digambarkan sebagai yang mahapandai mengatur alam semesta. Desainnya tak adil, tapi rapi dan rampung. Malapetaka terjadi bukan secara acak, melainkan sudah ada dalam kalkulasi Langit.
Pandangan ini bukan cuma pandangan seorang rohaniwan (juga bukan cuma rohaniwan Katolik), tapi juga filosof dan orang awam sejak zaman kuno. Tuhan, bagi mereka ini, selalu punya alasan. Bagi Leibniz, misalnya. Pemikir kelahiran Jerman di abad ke-17 ini—sebelum bencana di Lisbon—yakin akan adanya “alasan yang cukup” untuk apa pun: bencana, durjana, kepedihan, kebahagiaan. Alasan itu buat ke-”baik”-an. Yang diciptakan Tuhan, menurut Leibniz, adalah yang terbaik dari semua dunia yang mungkin ada.
Pada Leibniz, teguh sekali pandangan positif kepada Tuhan. Ada optimisme terhadap hidup—setidaknya sampai Lisbon remuk redam. Tsunami kemudian mengguncang bukan saja kehidupan orang Portugis, tapi juga filsafat dan iman orang Eropa.
Pada 1756, Voltaire di Prancis menulis sebuah sajak panjang yang sebenarnya tak puitis, tapi tajam, berkenaan dengan malapetaka Lisbon. Poème sur le désastre de Lisbonne menembak optimisme ala Leibniz:
Leibniz tak menunjukkan kepadaku,
di semesta yang konon terbagus ini,
benarkah ada alasan yang tak terlihat
hingga keadaan kacau tak kunjung berhenti...
...dan yang tak berdosa menanggung malang.
Seperti mereka yang tak berdosa...
Cemooh terhadap iman bahwa Tuhan membuat segala hal akan jadi baik, serangan kepada optimisme otomatis itu, dilanjutkan Voltaire dalam novel pendeknya yang termasyhur, Candide. Dalam cerita yang kocak ini definisi optimisme adalah “mania untuk mengatakan bahwa semua beres ketika [kita] sebenarnya ada di neraka”.
Seperti khotbah Malagrida, pandangan Voltaire yang sinis tentang optimisme adalah sebuah polemik. Polemik adalah perang, dan perang hanya kenal hitam atau putih. Tapi setidaknya perang Voltaire membuat kita berpikir: jangan-jangan memang sejarah alam dan manusia tak punya desain apa pun. Kita tak akan tahu kenapa di Lombok dan Palu dan Donggala malapetaka itu begitu dahsyat. Jangan-jangan hidup terlontar seperti dadu.
Tapi ajaib: kita tak jadi gila.
Mungkin karena ada sesama dan harapan, ada uluran tangan dan senyum yang sederhana.
GOENAWAN MOHAMAD
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo