Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Singapura dirintis lagi mulai awal 2020.
DPR tak yakin perjanjian ekstradisi bisa memulangkan koruptor dan asetnya yang ada di Singapura.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tak mempersoalkan latihan militer Singapura di Indonesia.
KEDUTAAN Besar Republik Indonesia di Singapura kerap menjadi tempat rapat pejabat Tanah Air sejak awal 2020. Mewakili sejumlah kementerian, mereka membahas berbagai perjanjian kerja sama dengan Singapura, antara lain perjanjian ekstradisi, pertahanan atau defence cooperation agreement (DCA), dan flight information region (FIR) atau wilayah informasi penerbangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kedutaan menjadi tempat pertemuan pra-meeting dengan pemerintah Singapura,” kata Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura, Suryopratomo, Sabtu, 29 Januari lalu. Para petinggi itu datang dari Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pertahanan, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Luar Negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suryopratomo menyebutkan pembahasan kesepakatan dengan Singapura merupakan perintah dari Presiden Joko Widodo. Presiden meminta para pejabat kementerian menyelesaikan berbagai perjanjian yang tertunda sejak 2007.
Tiga perjanjian, yaitu ekstradisi, DCA, dan FIR, telah disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Singapura 15 tahun lalu. Tapi kesepakatan itu batal terlaksana. Dewan Perwakilan Rakyat ogah meratifikasi perjanjian tersebut menjadi undang-undang. DPR menilai perjanjian itu dianggap terlalu menguntungkan Singapura soal penguasaan wilayah udara.
Dalam perjanjian pertahanan, pemerintah Singapura meminta wilayah udara Indonesia menjadi tempat latihan militer. Sejak 1946, negara itu mengendalikan ruang udara di kawasan Natuna, Kepulauan Riau. Wilayah di Singapura tak mencukupi untuk latihan militer. Area itu, menurut Suryopratomo, disebut dengan wilayah Alpha 1 dan Alpha 2 Singapura.
Pertemuan pejabat dua negara digelar di kantor Kementerian Luar Negeri Singapura. Setiap pembahasan dilakukan secara bersamaan dan melibatkan perwakilan semua kementerian. Dia mencontohkan, ketika perjanjian ekstradisi dibahas, Singapura meminta kepastian soal tempat latihan militer seperti tertuang dalam perjanjian pertahanan atau DCA 2007.
Akhirnya pemerintah Indonesia mengabulkan permintaan itu. Suryopratomo menyatakan kesepakatan yang dicapai harus bermanfaat untuk kedua negara. “Tentu ada take and give,” ujar Suryopratomo. Menurut dia, pembahasan perjanjian dengan Singapura tak berbeda jauh dengan draf yang diteken pada 2007.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Cahyo Rahadian Muzhar membenarkan kabar permintaan Singapura soal perjanjian pertahanan. “Itu hak Singapura, dan mereka maunya begitu, kan?” ucapnya, Jumat, 28 Januari lalu.
Menurut Cahyo, kepentingan terbesar Indonesia adalah kesepakatan ekstradisi yang terdiri atas 19 pasal. Kedua negara dapat meminta pencarian buron dari negara peminta untuk melanjutkan proses hukum dari 31 jenis tindak pidana, di antaranya korupsi, pencucian uang, narkotik, dan terorisme. Perjanjian itu berlaku surut untuk kejahatan yang terjadi 18 tahun sebelumnya.
Perjanjian ekstradisi, FIR, DCA, serta 13 kesepakatan lain akhirnya diteken dalam pertemuan antara pemerintah Indonesia dan Singapura, Selasa, 25 Januari lalu, di The Sanchaya Resort Bintan, Kepulauan Riau. Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong ikut hadir.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjadi penanda tangan kesepakatan penataan wilayah informasi udara atau FIR. Perjanjian DCA diteken oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan perjanjian ekstradisi dibubuhi tanda tangan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly.
Budi Karya Sumadi mengatakan, berdasarkan kesepakatan penataan FIR, pemerintah Indonesia mendelegasikan pengelolaan wilayah penerbangan pada ketinggian 0-37 ribu kaki kepada Singapura. “Ketinggian di atas 37 ribu tetap dikontrol Indonesia,” ujar Budi dalam siaran pers.
Nanti akan ada kerja sama sipil dan militer soal manajemen lalu lintas penerbangan dua negara. Menurut Budi, Singapura juga diminta menyetorkan biaya jasa pelayanan penerbangan yang masuk ke Singapura dari Indonesia dan sebaliknya. Pemerintah Indonesia juga berhak mengevaluasi pelayanan navigasi penerbangan yang dilakukan Singapura.
Tiga pejabat pemerintah dan tiga anggota DPR dari partai pendukung pemerintah bercerita, masalah batas ketinggian udara untuk penerbangan sempat menjadi perbincangan. Sebab, penguasaan area udara di atas 37 ribu kaki dianggap tak menguntungkan Indonesia.
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, berpendapat serupa. Sebab, penerbangan komersial berada di bawah ketinggian 37 ribu kaki. “Bandara Changi akan makin tumbuh karena FIR di atas Kepulauan Riau dipegang oleh Singapura, bukan Indonesia,” tuturnya.
Enam sumber Tempo itu mengatakan bahwa potensi kerugian Indonesia akibat kesepakatan FIR membuat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menegur Budi Karya Sumadi. Budi tak merespons pertanyaan yang diajukan oleh Tempo. Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, hanya membaca pesan WhatsApp dan tak membalas.
Jodi Mahardi, juru bicara Luhut, mengatakan Presiden Jokowi memerintahkan Luhut, mantan Duta Besar untuk Singapura, mengoordinasi pembahasan kesepakatan kedua negara. Nanti perjanjian pertahanan, ekstradisi, dan FIR diberlakukan secara simultan dan bersamaan. “Kedua negara menyepakati entry into force (waktu pemberlakuan),” kata Jodi.
Di DPR, kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Singapura menimbulkan kasak-kusuk. Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan para legislator bertanya-tanya soal isi perjanjian ekstradisi. Menghubungi koleganya di Kementerian Hukum, ia hanya mendapatkan sejumlah poin kesepakatan. “Belum perjanjian menyeluruh.”
Pertemuan bilateral antara Indonesia dan Singapura di Bintan, Kepulauan Riau, 25 Januari 2022. BPMI Setpres/ Laily Rachev
Menurut Arsul, DPR tak bisa begitu saja meratifikasi kesepakatan ekstradisi. Sebab, perjanjian itu berkaitan dengan kesepakatan di bidang lain. Kondisi ini berbeda ketika DPR meratifikasi perjanjian bantuan timbal balik dalam perkara pidana atau mutual legal assistance dengan Rusia pada September 2021. Juga perjanjian serupa dengan Swiss pada Juli 2020.
Arsul juga menyoroti seberapa jauh perjanjian ekstradisi bisa diterapkan di Singapura. Ia mencontohkan, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Australia tak berjalan mulus. Pada 2002, Indonesia gagal membawa pulang buron kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Hendra Rahardja, yang merugikan negara Rp 2,6 triliun.
Ketika itu, Hendra mengajukan upaya hukum di Australia agar tak diekstradisi ke Indonesia. Pada Januari 2003, Hendra meninggal di Australia. “Kami ingin mendengar penjelasan dari Menteri Yasonna soal perjanjian ekstradisi ini,” ucap Arsul.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Trimedya Panjaitan, juga pesimistis perjanjian ekstradisi bisa berjalan dan aset para koruptor di Singapura bisa disita. Namun Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Cahyo Rahadian Muzhar mengklaim perjanjian ekstradisi membuat proses hukum bisa lebih maju.
Luhut Pandjaitan juga mengklaim perjanjian ekstradisi membuka ruang untuk memulangkan koruptor yang bersembunyi di Singapura. “Dengan berlakunya perjanjian ini, Indonesia akan mampu menuntaskan pelaku kejahatan di masa lampau dan siap untuk mengimplementasikan Keputusan Presiden soal Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI,” katanya.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dicecar oleh sejumlah anggota Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR dalam rapat kerja pada Kamis, 27 Januari lalu. Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi PDIP, Effendi Simbolon, mempertanyakan perjanjian di Bintan yang dianggap merugikan wilayah udara dan pertahanan Indonesia.
Kepada anggota Komisi Pertahanan, Prabowo menjelaskan semua perjanjian itu tak merugikan Indonesia. Prabowo juga menyatakan kesepakatan itu merupakan keinginan Presiden Jokowi. Ia meminta anggota Komisi Pertahanan menggelar rapat bersama para menteri yang terlibat perjanjian dua negara. “Pak Prabowo menjawab sebatas ranah pertahanan,” ujar Effendi.
Tanpa menyinggung perjanjian ekstradisi, Prabowo menyatakan perjanjian pertahanan dengan Singapura telah mempertimbangkan aspek keamanan, pertahanan, dan kepentingan nasional. Ia tak khawatir jika Singapura melakukan latihan militer di langit Indonesia. “Sudah banyak latihan bersama dengan berbagai negara,” tutur Ketua Umum Partai Gerindra itu.
DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo