Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Sebatik - Ada yang menarik dari aktivitas warga di wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, seperti di Pulau Tarakan, Pulau Nunukan, dan Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Dalam bertransaksi, mereka tak hanya menggunakan mata uang Rupiah, tapi juga dengan Ringgit—mata uang asal Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu warga pemilik warung di sekitaran Alun-alun Kota Nunukan, Kalimantan Utara, misalnya, mengatakan penggunaan dua mata uang itu adalah hal lumrah di wilayah perbatasan. Sebab, kata wanita yang tidak ingin disebutkan namanya itu, kebanyakan warga berbelanja barang dagangannya dari Malaysia. “Kami masih menerima jika ada yang bayar pakai Ringgit,” ujar wanita itu pada Rabu sore, 31 Agustus 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pulau Nunukan memang memiliki jarak yang lebih dekat dengan Malaysia dibandingkan dengan kota-kota besar di Pulau Kalimantan. Untuk ke sana hanya butuh waktu sekitar kurang lebih dua setengah jam melalui jalan darat dan laut dari Bandar Udara Internasional Juwata, Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Detailnya, perjalanan dari bandara ke Pelabuhan Tengkayu menghabiskan waktu lima belas menit menggunakan mobil. Kemudian dari pelabuhan dilanjutkan dengan perjalanan laut dengan speed boat empat mesin kurang lebih dua jam lima belas menit menuju ke Pelabuhan Lintas Batas Negara (PLBN) Liem Hie Djun di Nunukan Timur, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Pulau Nunukan.
Warga asli Desa Sei Nyamuk, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan—di Pulau Sebatik—Suryanti, menjelaskan setiap transaksi membeli sesuatu masih banyak warga menggunakan dua mata uang itu. “Masih pakai (Ringgit sebagai alat transaksi), tapi enggak seberapa, enggak kayak dulu. Tapi iya (disediakan dua mata uang itu)” ujar dia usai menukarkan uang baru di depan Bankaltara KCP Sei Nyamuk, Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, pada Kamis, 1 September 2022.
Ringgit Kerap Digunakan di Toko Besar, Rupiah di Pasar
Dalam sebulan, perempuan berusia 35 tahun itu mengaku kerap menggunakan uang Ringgit 2-3 kali untuk melakukan transaksi di toko-toko besar, sedangkan di pasar lebih sering menggunakan Rupiah. Para pendatang, kata dia, biasanya pakai Rupiah dan jarang yang pakai Ringgit. “Tapi masih ada (yang pakai Ringgit), kebanyakan toko besar bisa. Kalau pendatang mau koleksi juga bisa ditukar, kayak Rp 17.000 kan setara dengan 5 Ringgit,” tutur perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga itu.
Warga lain bernama Umar Mustafa yang berprofesi sebagai penjual ayam potong juga membenarkan bahwa masih banyak penggunaan mata uang Ringgit di wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Orang asli Makassar itu mengaku tidak mengetahui apa sebabnya, tapi sudah menjadi kebiasaan karena mungkin lokasinya dekat dengan Malaysia.
“Saya juga di sini baru. Tapi saya siapkan Ringgit dan Rupiah, karena biasa orang belanja di toko-toko pakai kedua mata uang itu. Dua-duanya diterima, di sini kan berdekatan dengan Malaysia,” ucap pria berusia 51 tahun itu.
Berbeda dengan Pulau Nunukan, Pulau Sebatik tempat Suryanti dan Umar tinggal, lebih dekat lagi dengan Malaysia. Untuk menuju ke Pulau Sebatik ini diperlukan satu jam perjalanan dari Pelabuhan PLBL Liem Hie Djung di Pulau Nunukan tadi, menggunakan speed boat empat mesin lagi menuju ke Pelabuhan Pulau Sebatik dan Malaysia dari pelabuhan bisa ditempuh dengan jalan darat sekira 30 menit.
Selanjutnya: Karena masih tahap sosialisasi, BI belum menindak penggunaan mata uang selain Rupiah.
Di salah satu warung di Pulau Sebatik, Tempo mencoba membeli beberapa minuman kaleng total harga Rp 41 ribu. Dibayar dengan uang Rp 50 ribu, dan meminta kembalian dengan uang Ringgit. “Boleh (kembaliannya Ringgit), dipakai Rp 41 ribu, jadi kembaliannya 3 Ringgit ya karena uangnya Rp 50 ribu. Untuk 3 Ringgit ini sama dengan Rp 9 ribu, jadi 1 Ringgit sama dengan Rp 3 ribu,” ujar wanita penjaga warung itu.
Penggunaan mata uang di Indonesia sebenarnya sudah diatur di Pasal 33 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, yang mewajibkan setiap transaksi di Indonesia menggunakan mata uang Rupiah. Staf Kasir Bank Indonesia Ikrar Agus Fitriady menjelaskan penggunaan dua mata uang tersebut dilakukan karena sudah menjadi tradisi di wilayah perbatasan.
“Namun, kita sebagai orang yang bekerja di Bank Indonesia tetap dan selalu menyosialisasikan agar memakai Rupiah. Sampai saat ini kita masih melakukan sosialisasi, jadi kita belum ada tindakan, karena masih tahap sosialisasi, belum ada tindakan,” tutur dia usai melakukan sosialiasi Cinta, Bangga, Paham Rupiah di SD Muhammadiyah 001, Simpang Bahagia, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kamis, 1 September 2022.
BI Pastikan Rupah Hadir di Tiap Jengkal Tanah NKRI
Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia Marlison Hakim memastikan bahwa bank sentral diamanatkan untuk memenuhi kebutuhan uang masyakat di seluruh Indonesia. “Kami memastikan rupiah harus hadir di setiap jengkal tanah NKRI termasuk daerah perbatasan ini,” kata dia di depan rumah ikonik dua negara Indonesia-Malaysia di Kampung Pancasila, Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah, Pulau Sebatik.
Meskipun di Pulau Sebatik tersebut hanya beberapa langkah sudah bisa masuk wilayah Indonesia, dia berujar, Bank Indonesia tetap harus memastikan di NKRI harus ada Rupiah. Dan kehadiran uang baru tahun emisi 2022 ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk semakin bangga, nyaman, dan percaya dengan mata uang bangsanya. “Sehingga transaksinya tetap pakai Rupiah.”
Dengan adanya pengedaran uang baru dan edukasi yang dilakukan Bank Indonesia, Marlison berharap masyarakat selalu cinta, bangga, dan paham dengan Rupiah di setiap transaksinya. ia juga mengatakan seiring berjalannya waktu penggunaan Rupiah di Pulau Sebatik semakin meningkat.
“Alhamdulillah, namun demikian tantangan kita harus jaga terus agar masyarakat tetap selalu menggunakan Rupiah di daerah perbatasan ini,” ucap Marlison.
KHORY ALFARIZI (SEBATIK)
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.