IA datang ke Indonesia di hari-hari awal masuknya modal asing.
Bagi PT Molino Pramuka, kedatangan pengusaha Chua Pho Tiong di
tahun 1969 itu tepat waktunya. Ketika itu Chua berniat menyewa
bangunan dan tanah di pabrik sepatu yang lagi sekarat itu. Pihak
Molino Pramuka yang ketika itu dipimpin oleh Dir-Ut Candra Kasih
(Can Kim Lian) lalu memutuskan menyewakan bangunan pabrik dan
tanah seluas 28.850 m2 di Cijantung, Jakarta Timur. Sisa tanah,
seluas 5 280 m2 digunakan untuk kepentinga. Pramuka.
Setahun kemudian terjalin kerjasama yang lebih erat, yakni usaha
patungan Chua dengan pihak Pramuka. Kabarnya adalah Candra
Kasih, yang aktif dalam kegiatan pramuka di Bogor, yang membawa
masuk modal asing itu. Perusahaan patungan pun terbentuk pada
1970 dengan Dir-Ut Chua Pho Tiong, pemilik 80% saham. Sedang
pihak PT Molino Pramuka, diwakili oleh Dwidjo Soedibyo
(almarhum), salah seorang pengurus Kwarnas Pramuka yang
sehari-hari bertindak se bagai direktur I PT AIT.
Sita Saja
Tapi persoalan pun tak lama kemudian timbul. Pihak Pramuka yang
mulanya dikasih janji saham 20%, oleh Chua kemudian diminta
menyetor penuh. Pihak Pramuka, yang waktu itu punya Komisaris
Utama Sri Sultan Hamengkubuwono IX, merasa bingung juga karena
tak punya uang. Maka atas anjuran Chua jua, mereka beroleh
kredit dari Hang Lung Bank Ltd. Hongkong, sebesar US$ 200.000.
Dan Sri Sultan, ketika itu Menteri Ekuin, atas permintaan Chua
telah bertandatangan sebagai penamln serta menyerahkan saham
yang 20% itu sebagai tanggungan (borg), tertanggal 17 Oktober
1970. Chua sendiri merangkap sebagai seorang direktur bank yang
mengasih kredit tersebut.
Menurut bekas Sekjen Deplu H. Mutahar, yang duduk sebagai
komisaris PT Molino Pramuka, patungan dengan orang Singapura itu
kemudian ternyata tak menghasilkan untung apa pun buat Pramuka.
"Selama PT AIT itu berdiri Pramuka belum pernah diberi
keuntungan sesen pun," katanya kepada TEMPO pekanlalu.
Mutahar sendiri baru mengetahuinya sekembali dari Roma, Italia,
seusai menjabat Dubes RI untuk Vatikan antara 1969-1973. "Waktu
saya pulang dari Itaiia, ternyata pabrik sepatu itu sudah
berubah menjadi pabrik rokok," katanya Dia lalu diminta kembali
untuk menjabat komisaris.
Pihak Pramuka sementara itu ternyata tak mampu mencicil
utangnya. Menurut Mutahar sekitar 1973, kredit jangka pendek
dengan suku bunga 11% sudah membubung menjadi US$ 70() ribu.
Mutahar pun melaporkan situasinya kepada Sri Sultan dan
menyarankan agar saham milik PT Molino Pramuka di AIT dijual
saja. "Buat saya yang paling utama adalah bagaimana
menyelamatkan Pramuka dan nama baik Sri Sultan," katanya.
Kebetulan mendapat tugas ke Hongkong dan dengan seizin Sri
Sultan, ia lalu meminta kepada Hang Lung Bank agar menyita saja
seluruh bagian saham Molino Pramuka dan membebaskannya dari
seluruh utang. "Kebetulan bank itu bersedia," katanya.
Memang dalam perjanjian kredit dengan Hang Lung Bank ada syarat
yang isinya mengatakan Kalau Molino Pramuka tak sanggup membayar
utangnya, maka llang Lung Bank bisa menyita saham yang 20% untuk
dijual. Jika hasil penjualan itu ternyata lebih dari nilai utang
dan bunganya, kelebihannya bisa dibagi dua. Tapi kalau masih
kurang, pihak Pramuka tidak dibebani untuk menambahnya. Sejak
itulah, menurut Mutahar, PT Molino Pramuka tak punya urusan lagi
dengan PT AIT.
Tapi ada pendapat lain, seperti dikemukakan Wakil Ketua Kwarnas
Pramuka, Letjen (Purn.) Kusno Utomo. Chua Pho Tiong, demikian
Kusno, mestinya "dituntut". Menurut Kusno Utomo, Chua berhasil
menjual bagian saham Pramuka setinggi US$ 700 ribu. Maka sisa
yang US$ 500 ribu itu seharusnya dikembalikan untuk Pramuka.
Dengan cara bagaimana pihak Pramuka akan menuntut Chua? "Masih
kami pelajari dulu secara matang," kata Kusno Chua Pho Tiong
memang berhasil menjual seluruh eks saham Molino Pramuka kepada
seorang bernama Sumantri di Surabaya. Perjanjian jual-beli saham
itu dilakukan berdasarkan akta notaris yang ditandatangani
Notaris Hobsopoerwanto di Jakarta, pada 14 Juli 1976.
Tapi perjanjian itu antara lain ada menyebutkan satu hal yang
menimbulkan tanda tanya juga: ". . . bahwa kenyataannya, pihak
kedua (Sumantri) telah membuat perjanjian dengan akta
Pembaharuan Hutang dan .... sebenarnya perjanjian serta
pembelian saham-saham tersebut dilakukan guna kepentingan pihak
pertama (Chua Pho Tiong)." Dengan kata lain, bisa ditafsirkan
bahwa pembelian atas nama Sumantri, yang kabarnya bernilai US$
700 ribu itu -- untuk 2000 saham prioritas dan 2000 saham biasa
-- adalah sesuatu yang proforma, kata sebuah sumber Pramuka.
Berhasil
Menanggapi bagian akta yang berisi pernyataan bersifat proforma
begitu, Notaris Hobropoerwanto menerangkan: "Isi perjanjian itu
memang begitu." Merasa tak ada sesuatu yang aneh, Notaris Hobro
dengan kalem berkata: "Kalau salah satu pihak yang membuat
perjanjian di depan notaris itu kemudian melihat akta perjanjian
itu tidak cocok, dia dapat mengajukan ke pengadilan agar
perjanjian itu dibatalkan atau ditinjau kembali."
Mengapa sampai Choa Pho Tiong, yang berdomisili di Branksome
Road, Singapura berani mengangkat nilai saham itu sampai jauh di
atas harga nominal? Sebuah sumber berpendapat, itu mungkin agar
bisa menyamai utang pihak Molino Pramuka di Hang Lung Bank. Atau
seperti diduga Kusno Utomo "supaya orang percaya bahwa nilai
saham itu tinggi, hingga Chua pun bisa menjualnya dengan harga
yang tinggi pula."
Chua Pho Tiong akhirnya memang berhasil menjual seluruh saham
kepada Sugeng Prananto, dengan jumlah modal saham sebesar Rp
1,25 milyar (US $ 2 juta). Pengusaha Singapura itu kabarnya kim
termasuk dalam lis orang-orang yang diawasi oleh pihak imigrasi.
Sementara uang sewa bangunan dan tanah Pramuka yang Rp 2,5 juta
sebulan, menurut Mutahar masih belum dilunasi Chua sampai
sekarang.
Apa yang membuat Sugeng Pranano begitu tertarik pada orang
Singapura yang berkacamata itu, entahlah. Mulai tinggal di
Indonesia pada 1973, dua tahun kemudian dia menjabat sebagai
direktur III pada PT AIT. Tapi seakan sudah diatur. Belum lagi
dua bulan bekerja sebagai GM, si Chai yang paling dipercaya itu
sempat membuat atasannya tujuh keliling. Ternyata pada 11
Januari itu juga dia terbang ke Singapura membawa sendiri wesel
bank seharga US$ 320.000 dan menyerahkan ke tangan bekas bossnya
Choa Pho Tiong. Bekas boss atau masih tetap boss?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini