Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Chua Dan Pramuka

Asal mula kerjasama antara pengusaha chua pho tiong dengan pt. molino pramuka mendirikan pt. ait (yang memproduksi rokok gold bond), pengusaha chua pho tiong menjual seluruh sahamnya kepada sugeng p. (eb)

28 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA datang ke Indonesia di hari-hari awal masuknya modal asing. Bagi PT Molino Pramuka, kedatangan pengusaha Chua Pho Tiong di tahun 1969 itu tepat waktunya. Ketika itu Chua berniat menyewa bangunan dan tanah di pabrik sepatu yang lagi sekarat itu. Pihak Molino Pramuka yang ketika itu dipimpin oleh Dir-Ut Candra Kasih (Can Kim Lian) lalu memutuskan menyewakan bangunan pabrik dan tanah seluas 28.850 m2 di Cijantung, Jakarta Timur. Sisa tanah, seluas 5 280 m2 digunakan untuk kepentinga. Pramuka. Setahun kemudian terjalin kerjasama yang lebih erat, yakni usaha patungan Chua dengan pihak Pramuka. Kabarnya adalah Candra Kasih, yang aktif dalam kegiatan pramuka di Bogor, yang membawa masuk modal asing itu. Perusahaan patungan pun terbentuk pada 1970 dengan Dir-Ut Chua Pho Tiong, pemilik 80% saham. Sedang pihak PT Molino Pramuka, diwakili oleh Dwidjo Soedibyo (almarhum), salah seorang pengurus Kwarnas Pramuka yang sehari-hari bertindak se bagai direktur I PT AIT. Sita Saja Tapi persoalan pun tak lama kemudian timbul. Pihak Pramuka yang mulanya dikasih janji saham 20%, oleh Chua kemudian diminta menyetor penuh. Pihak Pramuka, yang waktu itu punya Komisaris Utama Sri Sultan Hamengkubuwono IX, merasa bingung juga karena tak punya uang. Maka atas anjuran Chua jua, mereka beroleh kredit dari Hang Lung Bank Ltd. Hongkong, sebesar US$ 200.000. Dan Sri Sultan, ketika itu Menteri Ekuin, atas permintaan Chua telah bertandatangan sebagai penamln serta menyerahkan saham yang 20% itu sebagai tanggungan (borg), tertanggal 17 Oktober 1970. Chua sendiri merangkap sebagai seorang direktur bank yang mengasih kredit tersebut. Menurut bekas Sekjen Deplu H. Mutahar, yang duduk sebagai komisaris PT Molino Pramuka, patungan dengan orang Singapura itu kemudian ternyata tak menghasilkan untung apa pun buat Pramuka. "Selama PT AIT itu berdiri Pramuka belum pernah diberi keuntungan sesen pun," katanya kepada TEMPO pekanlalu. Mutahar sendiri baru mengetahuinya sekembali dari Roma, Italia, seusai menjabat Dubes RI untuk Vatikan antara 1969-1973. "Waktu saya pulang dari Itaiia, ternyata pabrik sepatu itu sudah berubah menjadi pabrik rokok," katanya Dia lalu diminta kembali untuk menjabat komisaris. Pihak Pramuka sementara itu ternyata tak mampu mencicil utangnya. Menurut Mutahar sekitar 1973, kredit jangka pendek dengan suku bunga 11% sudah membubung menjadi US$ 70() ribu. Mutahar pun melaporkan situasinya kepada Sri Sultan dan menyarankan agar saham milik PT Molino Pramuka di AIT dijual saja. "Buat saya yang paling utama adalah bagaimana menyelamatkan Pramuka dan nama baik Sri Sultan," katanya. Kebetulan mendapat tugas ke Hongkong dan dengan seizin Sri Sultan, ia lalu meminta kepada Hang Lung Bank agar menyita saja seluruh bagian saham Molino Pramuka dan membebaskannya dari seluruh utang. "Kebetulan bank itu bersedia," katanya. Memang dalam perjanjian kredit dengan Hang Lung Bank ada syarat yang isinya mengatakan Kalau Molino Pramuka tak sanggup membayar utangnya, maka llang Lung Bank bisa menyita saham yang 20% untuk dijual. Jika hasil penjualan itu ternyata lebih dari nilai utang dan bunganya, kelebihannya bisa dibagi dua. Tapi kalau masih kurang, pihak Pramuka tidak dibebani untuk menambahnya. Sejak itulah, menurut Mutahar, PT Molino Pramuka tak punya urusan lagi dengan PT AIT. Tapi ada pendapat lain, seperti dikemukakan Wakil Ketua Kwarnas Pramuka, Letjen (Purn.) Kusno Utomo. Chua Pho Tiong, demikian Kusno, mestinya "dituntut". Menurut Kusno Utomo, Chua berhasil menjual bagian saham Pramuka setinggi US$ 700 ribu. Maka sisa yang US$ 500 ribu itu seharusnya dikembalikan untuk Pramuka. Dengan cara bagaimana pihak Pramuka akan menuntut Chua? "Masih kami pelajari dulu secara matang," kata Kusno Chua Pho Tiong memang berhasil menjual seluruh eks saham Molino Pramuka kepada seorang bernama Sumantri di Surabaya. Perjanjian jual-beli saham itu dilakukan berdasarkan akta notaris yang ditandatangani Notaris Hobsopoerwanto di Jakarta, pada 14 Juli 1976. Tapi perjanjian itu antara lain ada menyebutkan satu hal yang menimbulkan tanda tanya juga: ". . . bahwa kenyataannya, pihak kedua (Sumantri) telah membuat perjanjian dengan akta Pembaharuan Hutang dan .... sebenarnya perjanjian serta pembelian saham-saham tersebut dilakukan guna kepentingan pihak pertama (Chua Pho Tiong)." Dengan kata lain, bisa ditafsirkan bahwa pembelian atas nama Sumantri, yang kabarnya bernilai US$ 700 ribu itu -- untuk 2000 saham prioritas dan 2000 saham biasa -- adalah sesuatu yang proforma, kata sebuah sumber Pramuka. Berhasil Menanggapi bagian akta yang berisi pernyataan bersifat proforma begitu, Notaris Hobropoerwanto menerangkan: "Isi perjanjian itu memang begitu." Merasa tak ada sesuatu yang aneh, Notaris Hobro dengan kalem berkata: "Kalau salah satu pihak yang membuat perjanjian di depan notaris itu kemudian melihat akta perjanjian itu tidak cocok, dia dapat mengajukan ke pengadilan agar perjanjian itu dibatalkan atau ditinjau kembali." Mengapa sampai Choa Pho Tiong, yang berdomisili di Branksome Road, Singapura berani mengangkat nilai saham itu sampai jauh di atas harga nominal? Sebuah sumber berpendapat, itu mungkin agar bisa menyamai utang pihak Molino Pramuka di Hang Lung Bank. Atau seperti diduga Kusno Utomo "supaya orang percaya bahwa nilai saham itu tinggi, hingga Chua pun bisa menjualnya dengan harga yang tinggi pula." Chua Pho Tiong akhirnya memang berhasil menjual seluruh saham kepada Sugeng Prananto, dengan jumlah modal saham sebesar Rp 1,25 milyar (US $ 2 juta). Pengusaha Singapura itu kabarnya kim termasuk dalam lis orang-orang yang diawasi oleh pihak imigrasi. Sementara uang sewa bangunan dan tanah Pramuka yang Rp 2,5 juta sebulan, menurut Mutahar masih belum dilunasi Chua sampai sekarang. Apa yang membuat Sugeng Pranano begitu tertarik pada orang Singapura yang berkacamata itu, entahlah. Mulai tinggal di Indonesia pada 1973, dua tahun kemudian dia menjabat sebagai direktur III pada PT AIT. Tapi seakan sudah diatur. Belum lagi dua bulan bekerja sebagai GM, si Chai yang paling dipercaya itu sempat membuat atasannya tujuh keliling. Ternyata pada 11 Januari itu juga dia terbang ke Singapura membawa sendiri wesel bank seharga US$ 320.000 dan menyerahkan ke tangan bekas bossnya Choa Pho Tiong. Bekas boss atau masih tetap boss?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus