SUGENG Prananto, Dir-Ut PT Asia Indonesia Tobacco yang
memroduksikan sigaret Gold Bond masih nampak lesu ketika ditemui
di kanrornya pekan lalu. Bukan - lantaran pabrik rokok miliknya
di Cijantung Jakarta Timur itu mundur akibat banyaknya saingan.
Tapi uang perusahaan sebanyak US$ 320.000 (Rp 201 juta) telah
dibawa lari oleh Chai Kok Sin, general manager perusahaan itu.
Bagaimana sampai Chai, orang paling dekat dengan Dir-Ut Sugeng
bisa berbuat begitu? "Saya belum bisa memberi keterangan, sebab
kasusnya sudah berada di tangan kejaksaan," kata Sugeng.
Chai Kok Sin, 44 tahun, orang Singapura kelahiran daerah Ipoh
Perak Malaysia, pada 11 Januari lalu Chai memerintahkan Saleh
Huwel, akuntan perusahaan rokok putih itu. Isi perintah: membuat
surat permohonan membeli draft (wesel bank) sebesar US$ 320.000
itu untuk dikirimkan kepada perusahaan Wellgain Trading Ltd.
Hong Kong.
Sugeng Prananto sendiri merasa perusahaan tak punya hubungan apa
pun dengan Wellgain Trading itu, dan baru mengetahui ada
pengiriman wesel bank ketika melakukan pemeriksaan pembukuan 12
April, tiga bulan setelah kejadian itu. Menurut Sunarto, manajer
personalia di PT AIT, Sugeng merasa tergerak melihat pembukuan
setelah Chai selama 3 hari berturut-turut tak masuk kerja, tanpa
kabar.
Tapi toh ada versi lain. Chai, seperti diceritakan sebuah sumber
TEMPO, mengaku instruksi pembelian wesel bank itu datang dari
Dir-Ut Sugeng secara lisan lewat aipbone. Maksudnya untuk
membayar saham Chuo Pho Tiong, kini berdomisili di Singapura.
James Bond
Siapa dia? Pada 1970 Chua Pho Tiong, pemilik PT Asia Tobacco
Singapore dengan Kwartir Nasional Pramuka, pemilik PT Molino
Pramuka, terjalin usaha patungan untuk memroduksikan sigaret
merk Gold Bond. PT Molino Pramuka sendiri mulanya adalah pabrik
sepatu, meneruskan usaha NV Molino milik Belanda yang di tahun
1964 dirampas oleh negara (lihat box).
Perusahaan patungan dengan saham 80% milik Chua dan 20% untuk
Pramuka itu pada mulanya berjalan mulus. Bahkan di tahun 1971,
ketika sebuah film yang dibintangi James Bond diputar di salah
sebuah bioskop Jakarta, PT AIT ikut meramaikan dengan sayembara
sigaret Gold Bond.
Tapi popularitas merk sigaret itu perlahan-lahan menurun, antara
lain karena rokok itu di tahun 1972 pernah menghilang sebentar
dari pasaran. Maka untuk mencari pasaran yang baru, selain tetap
memroduksikan sigaret Gold Bond, pabrik di Km 24 jalan raya
Jakarta-Bogor itu juga mengeluarkan sigaret merk Fortune,
Abdulla, Hope, Icecold dan Viscount -- yang umumnya kurang
banyak penggemarnya.
Alkisah, pada 1 Agustus 1979, setelah hampir 10 tahun beroperasi
di Indonesia, Dir-Ut Chua Pho Tiong akhirnya memutuskan untuk
menjual seluruh sahamnya kepada Sugeng Prananto. Permohonan
Sugeng agar status perusahaan PT AIT diubah dari Penanaman Modal
Asing menjadi Penanaman Modal Dalam Negeri disetujui oleh Ketua
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Barli Halim, tanpa banyak
soal.
Di bawah Sugeng Prananto, PT AIT masih tetap memroduksikan
merkmerk sigaret yang sama. Jumlah buruhnya kini sekitar 300,
dengan produksi keseluruhan hanya 8.000 box atau 4 juta
batang/bulan. Peredarannya hampir ke seluruh Indonesia dan 25%
di wilayah DKI.
Tak lama setelah itu, atas saran Chua, Sugeng Prananto meminta
Chai Kok Sin untuk menjabat sebagai general manager di PT AIT,
yang tak diubah namanya. Dalam surat yang ditandatangani Dir-Ut
PT AIT yang baru Sugeng Prananto, disebutkan syarat-syarat kerja
yang cukup menarik buat Chai: Gaji sebulan S$ 7.500 (Rp
2.175.000) ditambah 4 bulan bonus dalam setahun. Juga semua
biaya perjalanan, biaya hotel dan pengeluaran untuk hiburan dan
jamuan menjadi tanggungan perusahaan.
Di atas semua itu, Chai yang selam di Jakarta tinggal di sebuah
perumahan perusahaan, diberi kelonggaran untuk berkunjung ke
Singapura dua kali dalam sebulan atas tanggungan perusahaan.
Tapi yang paling penting agaknya adalah ini: orang Singapura itu
mendapat wewenang untuk "mengelola seluruh kegiatan perusahaan
dan melaporkannya kepada dewan direksi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini